Monday, December 9, 2013

The Delusion (24)

24

                Tidak terasa berbulan-bulan telah berlalu. Musim semi penuh kenangan manis itu perlahan tergantikan oleh bulan-bulan penuh kekosongan. Dia menyadarinya dari perubahan suasana yang dirasakannya. Ketika bunga dan pepohonan mulai tumbuh, orang-orang menanggalkan mantel tebal mereka, es-es di jalanan mencair, musim flu telah lewat, dan kini tidak terasa olehnya semua itu berganti lagi. Namun tidak lama kemudian, dilihatnya pepohonan mulai meranggas, hawa dingin bertiup kencang mengundang kegalauan, langit pun kelam, orang-orang mulai mengenakan mantelnya lagi. Barulah ia sadar kini ia tengah berada di musim gugur.
                Meskipun hari dan bulan terus berganti, waktu tetap tidak bisa mengikis perasaannya. Walaupun orang silih berganti berusaha mengisi kehidupannya, tidak ada yang mampu mengisi kekosongannya. Berkaleng-kaleng bir ia habiskan namun kesedihannya tidak tertelan bersama minuman keras itu. Dia memisahkan diri dari dunia nyata, seperti orang gila di dalam lubang kesengsaraan. Seperti mesin yang terprogram, dia tetap menjalankan aktifitasnya seperti biasa. Namun satu pun tidak akan ada yang diingatnya saat ia pulang pada tengah malam dan berbaring di ranjangnya.
                Siang ini dia duduk di sofa bersama tabletnya, mencari sesuatu yang tidak jelas di internet. Samar-samar terdengar celotehan teman-teman bandnya tidak jauh darinya. Mereka terlihat bahagia sejauh ini. Baginya itu adalah satu hal yang melegakan.
                “Hei, Shou.” Hiroto melemparkan bantal kecil yang mengenai wajahnya, membuatnya berpaling untuk sesaat.
                “Apa?”
                “Kau ingin memakai kostum apa untuk tahun ini?” tanya Nao.
                “Kostum?” Shou mengerutkan dahi. “Kostum apa?”
                “Kau lupa minggu depan adalah Halloween?” mereka terkejut Shou lupa pada hari menyenangkan itu. “Ayolah, teman! Kau tahu itu salah satu hari kesukaanmu!”
                Halloween? Ya, dia ingat dulu dia sangat antusias pada hari itu. Dia rela menghabiskan uangnya sebanyak apapun demi kostum dan perlengkapannya setiap tahun. Tetapi sekarang, seperti raga yang tak berjiwa, dia tidak bisa sesemangat dulu.
                “Bagaimana kalau pahlawan super adalah tema kita tahun ini?” Tora mengusulkan.
                “Kalau begitu, aku ingin menjadi Spiderman!” Nao mengangkat tangannya tinggi-tinggi seperti anak kecil. Shou tidak bisa menahan senyumnya, Nao memang seperti itu setiap Halloween. Kalau bukan karena keempat temannya, dia bisa saja ikut bersama anak kecil meminta permen dari pintu ke pintu.
                “Aku terpikir untuk menjadi Iron Man, kalau bisa...” Saga menimbang-nimbang. “Thor atau Loki juga boleh...”
                “Menurut kalian kalau aku menjadi Deadpool bagaimana? Aku suka gayanya.” Kata Tora.
                “Kurasa aku ingin menjadi Hawkeye saja.” kata Hiroto.
                Shou diam saja mendengar mereka sibuk mendiskusikan kostum apa yang cocok untuk mereka kenakan selama beberapa lama hingga kelamaan ia ikut tertarik. Jika ia harus mengenakan kostum pahlawan super, dia bisa menjadi Dr. Strange. Tokoh itu sangat mirip dirinya, sombong dan dingin karena kesuksesannya yang sangat besar sebagai seorang dokter ternama namun kehilangan orang-orang yang disayanginya. Dokter itu mendapat kecelakaan dan berusaha keras mencari penyembuhnya sebelum bertemu penyihir yang dulu pernah menyelamatkannya saat dia masih kecil.
                “Dr. Strange? Pilihan yang bagus.” Tora mengangguk setuju. Dia sepertinya juga tahu cerita tentang tokoh itu.
                “Ya, jika kalian memaksaku memakai kostum. Tetapi aku tidak mau menyelenggarakan pestanya seperti dulu.” Shou memberi syarat.
                “Tenang saja. Kau tidak perlu menyelenggarakan pesta karena kita telah diundang.”
                “Ke pesta siapa?”
                Keempat temannya saling bertatapan beberapa lama, tampak ragu. Namun mereka menjawab juga, “Petshop Avaron akan mengadakan pesta halloween. Dia, Aya, dan Yoriko mengundang kita berlima untuk datang.”
                Seketika, sebuah pisau seolah menikamnya dengan tajam dari belakang saat sahabatnya mengingatkannya pada seseorang di petshop yang menjadi sumber kesedihannya. Namun entah mengapa ia tersenyum. Meskipun hatinya terluka, dia selalu tersenyum jika teringat gadis itu. Dia juga teringat Halloween pasti merupakan hari kesukaannya dan penasaran kira-kira gadis itu akan mengenakan kostum apa. Bagaimana kabarnya? Rasanya seperti berabad-abad dia tidak berbicara dengannya lagi. Terakhir kali mereka berbicara, kata-kata yang terlontar darinya hanya menyakiti gadis itu.
                “Tapi jika kau tidak ingin datang, tidak apa. Kami mengerti...” Saga memahami makna keheningan Shou. Namun Tora menyela, “Tidak. Tidak seru jika hanya berempat. Bukan Alice Nine namanya kalau tidak berlima. Dia harus ikut ke pesta itu atau kita tidak datang sama sekali.”
                Shou dapat memahami tuntutan Tora itu. Sahabatnya menginginkan dirinya melepaskan bebannya, menghadapi ketakutannya, dan menyelesaikan masalahnya. Dia malu untuk datang ke sana, dia tidak tahu harus menaruh mukanya di mana begitu ia bertemu gadis itu. Bagaimana jika gadis itu telah ceria dan tiba-tiba luka di hatinya kembali terbuka karena melihatnya.
                “Kau harus menghadapinya, Shou. Berapa lama lagi kau harus mengulur waktu?” desak Tora. “Cepat atau lambat, kalian harus berbicara lagi.”
                Shou mendesah pelan. Tora benar, dia harus bisa mengatasi masalahnya. Bagaimanapun juga, perasaan itu masih ada. Dia merindukan gadis itu, dia harus bertemu dan mendengar suara gadis itu lagi. Lalu dia akan mengakui perasaannya dengan secuil harga dirinya yang tersisa.

*** 

                “Halloween!!! Aku senang sekali Halloween!” seru Aya yang datang dengan membawa sekeranjang besar hiasan Halloween untuk dipajang di toko.
                Yoriko hanya tersenyum melihat keantusiasan sahabatnya jelang Halloween. Dia sedang merangkai satu set kerangka manusia yang telah dimilikinya selama 3 tahun di antara koleksi perlengkapan gotiknya untuk dipajang di jendela toko. Avaron sangat berterima kasih padanya karena dia ahli menghias tokonya menjadi seram dan gotik ini. Yoriko mengambil tema Petshop of Horrors. Suasana petshop akan diubah seperti petshop milik tokoh Count D di anime itu. Dia akan menambah tirai-tirai, memberikan nuansa oriental dan gotik, dia juga akan menghias kandang-kandang hewan dengan ornamen cantik, dan dia akan membakar dupa dengan wewangian seperti yang biasa dilakukan Count D untuk menampakkan wujud sesungguhnya hewan-hewan peliharaannya.
                “Jadi, kau akan menjadi siapa untuk hari H nanti?” tanya Aya sambil mengeluarkan hiasan-hiasan yang dibawanya di atas meja.
                “Kurasa aku akan menjadi Kuchisake Onna.” Jawab Yoriko sehingga Aya langsung berpaling terkejut.
                “Kuchisake Onna? Tidak kusangka!” pasti membutuhkan usaha keras untuk berdandan seperti hantu perempuan bermulut sobek itu. Tetapi ini Yoriko, dia pasti bisa melakukannya dengan baik.
                “Tapi, kali ini, aku akan sedikit kreatif dan membuat latar belakang untuk tokohku.” Kata Yoriko bangga. Dia akan mengenakan kostum pengantin wanita putih dengan kerudung kain layaknya pengantin wanita pada umumnya. Ceritanya, Kuchisake Onna itu dibunuh oleh kekasihnya menjelang hari pernikahan mereka.
                “Kau harus membuat kerudung itu menutupi wajahmu. Orang-orang akan berpikir kau berkostum sebagai seorang pengantin sehingga mereka akan mengira kau cantik, tapi mereka akan langsung terbirit-birit begitu membukanya!” Aya menambahkan usul.
                Yoriko tertawa. Itu sebuah usul yang sangat bagus. Setelah itu, tiba-tiba Aya langsung mendekatinya dengan raut serius. “Sungguh, Yoriko. Dari mana kau mendapat ide seperti itu? Jangan-jangan kau masih...”
                “Tidak, aku sudah membaik, Aya.” Elak Yoriko. “Ini tidak ada hubungannya dengan apapun.”
                “Benarkah? Aku masih khawatir, kau tahu. Kau masih tampak cukup kacau beberapa bulan ini...” tanya Aya prihatin.
                “Aku baik-baik saja, Aya. Tidak ada yang kututupi dan tidak ada yang kusimpan, sungguh.” Yoriko meyakinkannya. Memang benar dia sudah mulai membaik dan kembali menjalani hidupnya, namun dia tidak bisa melupakannya. Dia sudah melapangkan dadanya untuk memaafkan apapun yang diucapkan pria itu padanya tempo hari, tetapi dia masih terus mengingatnya. Terkadang ucapannya itu membangunkannya di tengah malam, terkadang dia juga menangis beberapa saat sebelum kembali tertidur. Masih ada pula beberapa kenangan manis bersama pria itu yang sanggup membuatnya tersenyum. Dia tidak ingin melupakan kenangan baik dan buruk itu, karena hanya kenangan itulah satu-satunya bukti bahwa mereka dulu pernah mengenal satu sama lain.
                “Bagus kalau begitu. Karena aku dan Avaron-san mengundang dia dan teman-temannya ke pesta kita!” seru Aya senang.
                “Apa!?”
                “Lho, kupikir kau sudah membaik...” kata Aya. “Jadi tidak masalah kan kalau dia datang...”
                “Bukan begitu...” Yoriko menjadi panik sendiri. Jika mereka bertemu bagaimana jadinya Yoriko? Akan ditaruh mana mukanya? Orang itu pasti akan jijik melihat wajahnya, apalagi dia akan menjadi Kuchisake Onna nanti!
                “Bagaimanapun juga, Yoriko. Kau harus menghadapinya juga. Tidak ada salahnya kan kalian bertemu untuk sekadar basa-basi? Kalau kau tidak ingin melihatnya, kau bisa menemani tamu lainnya atau membantuku saja. Jangan perlihatkan kelemahanmu di depannya!” Aya meyakinkannya.
                Ucapan Aya ada benarnya. Dia tidak bisa terus lari dari masalahnya. Pada akhirnya akan tiba saatnya dimana dia harus menghadapinya dan mengatasinya. Ini hanya pesta Halloween, tidak ada hal aneh yang akan terjadi, bukan?
                Di samping itu, dia merindukan pria itu. Walaupun dia mendengarkan lagu orang itu berkali-kali karena ingin mendengar suaranya saja, rasanya masih belum cukup. Meskipun dia sering melihat wajahnya terpampang di poster yang menempel di jalanan, dia masih belum puas. Dia ingin pria itu ada di hadapannya, dia ingin merasakan sentuhannya. Tidak masalah pria itu akan mencaci makinya, dia bisa melakukan itu sepuasnya, selama dia bisa mendengar suaranya lagi. Tidak masalah di pesta nanti dia hanya bisa memandangnya dari jauh, selama dia bisa melihatnya lagi. Memastikan dia baik-baik saja dan meneruskan hidupnya seperti yang dia lakukan.

                Lalu dengan secuil keberaniannya yang masih tersisa, dia akan meminta maaf pada pria itu karena telah mengacaukan kehidupannya dengan melakukan hal terburuk yang pernah dia lakukan padanya; mencintainya.