6
Tepat
pukul delapan, Shou dan Reiko selesai menutup kafe. Semua karyawan lainnya
sudah pulang dan kini hanya tinggal mereka dengan Sharon yang masih setia
menunggu di meja kafe sambil membaca majalah yang tersedia.
“Ayo
kita pergi ke atas, Sharon.” Ajak Reiko. Sharon melihat kedua teman barunya membawa
bungkusan berisi camilan.
“Ke
atas?” Sharon tidak tahu masih ada ruangan lagi. Dia bahkan tidak melihat
tangga di sekitarnya.
“Ya.
Ayo, cepat...” Reiko menarik Sharon bangkit dari duduknya lalu membawanya
melewati pintu karyawan. Mereka melewati dapur kafe yang sudah kosong terlebih
dulu sebelum melewati sebuah pintu lagi yang mengarah ke bagian belakang kafe. Tepat
di samping pintu itu ada sebuah tangga besi yang membawa mereka ke atap bangunan
kafe. Sharon menaiki tangga itu perlahan-lahan seraya membiasakan diri. Dia
mendapat firasat Reiko dan Shou akan mengajaknya lagi ke tempat ini untuk
hari-hari berikutnya.
Atap
kafe bukan tempat untuk umum, juga bukan tempat yang sering dikunjungi oleh
karyawan kafe. Tempat itu adalah tempat rahasia kami. Berkat usulan Reiko yang
bosan melihat atap ini tampak monoton, dia meminta bantuanku dan Shou untuk
mendekorasinya. Dengan bantuan Minami yang ternyata sama ahlinya mendesain
sesuatu seperti ibuku, jadilah atap yang sekarang Sharon singgahi.
“Wow...
indah sekali...” Sharon terpana melihatnya. Setiap sudut atap dihiasi pot-pot tanaman
hias dan sebuah air mancur kecil di antaranya. Matanya terhipnotis oleh lampu
kerlap-kerlip tepat di atas kepala mereka, membuatnya merasa seperti berada
dalam suasana natal. Berkat cahaya lampu yang remang-remang itu, dia dapat
melihat sebuah satu set meja bundar dengan payung merah besar terletak di
tengah-tengah atap. Jika sedang tidak hujan, biasanya kami sering membawa alat
musik atau stereo untuk memeriahkan suasana.
Sharon
duduk di meja itu bersama Shou dan Reiko, membuka bungkusan camilan yang berupa
keripik, soda, teh hijau botol, roti yang dibeli Reiko dari minimarket sebelah
dan sisa cake dari kafe.
“Kenapa
hanya kau dan ayahmu yang pindah ke sini? Ibumu tidak ikut, Sharon?” tanya
Reiko setelah mereka duduk.
“Tidak.
Ibuku sudah meninggal saat aku masih kecil.” Jawab Sharon.
“Oh,
Sharon.” Reiko terkejut. “Maaf, aku turut berduka...”
“Tidak
apa. Itu sudah lama sekali berlalu.” Sharon tidak mempermasalahkannya.
“Tapi,
Sharon, kehilangan seorang ibu saat masih kecil itu sangat...” Reiko tidak
dapat meneruskan. “Aku tidak dapat membayangkan jika aku kehilangan ibuku. Kau
pasti seorang gadis yang kuat. Aku yakin.”
“Ibumu
meninggal karena apa, Sharon?” tanya Shou.
“Dia
mengidap kanker darah. Dia sudah berjuang semampunya, tapi...” terlintaslah
bayang-bayang wajah ibunya yang terakhir dilihatnya saat masih kecil. Dia lupa
hampir semua masa kecilnya dan apa yang dilakukannya bertahun-tahun lalu
kecuali wajah ibunya yang tersenyum untuk terakhir kali padanya di rumah sakit.
“entahlah... mungkin aku tidak sekuat yang kau katakan. Meskipun aku sudah
merelakan kepergiannya, terkadang aku masih merindukannya.”
“Memang
sangat menyakitkan jika kehilangan orang tersayang kita. Rasanya seperti ada
sesuatu yang hilang di hati kita...” kata Shou.
“Ya,
kau benar.” Sharon setuju. “Tapi, kita semua datang ke sini bukan untuk
membicarakan masa laluku, bukan? Aku juga ingin tahu banyak sekali hal tentang
kalian.”
Mereka
pun mulai saling bercerita. Dimulai dari Reiko yang tampaknya tidak akan pernah
berhenti menanyakan Sharon tentang kampung halamannya, Shou dengan bangga
memamerkan skor game-game yang dimainkannya di rumah, dan pertanyaan Sharon
tentang sekolah barunya. Mereka seperti teman lama yang bertemu kembali dan
tidak akan berhenti bercengkerama sampai esok pagi.
Sambil
menyimak perbincangan mereka, aku menyadari banyak sekali hal yang kulewatkan
sejak aku meninggalkan ragaku. Semua orang berubah kecuali aku. Baru kusadari
teman-temanku di kelas telah meninggalkan gaya lama mereka dan berubah menjadi
orang baru yang tidak kuduga. Ada yang mewarnai rambut mereka seperti Shou, ada
yang tadinya malu-malu dan tidak dikenali siapa pun menjadi idola sekolah, ada pula
yang dulunya sangat nakal dan sering mendapat hukuman kini menjadi anak
baik-baik dan calon mahasiswa universitas ternama. Baik semua perubahan kecil
maupun besar itu menusukku. Aku tidak lagi merasa hebat karena tidak terlihat
atau bahagia karena aku akan selalu menjadi orang yang sama. Dunia yang terus
berubah perlahan-lahan menghapus keberadaanku, hingga akhirnya aku hanya bisa
hidup di dalam kenangan mereka.
Lalu,
tiba-tiba kudengar Reiko berkata, “Seandainya Kai ada di sini, dia pasti senang
sekali berkenalan denganmu. Dia selalu menerima orang-orang baru dengan tangan
terbuka.”
“Ya,
itu sudah sifat keluarganya.” Timpal Shou. “Kau pikir siapa yang mau berteman
denganku yang dulu sulit bergaul dengan yang lain selain dia?”
Sharon
membiarkan Reiko dan Shou mengenang diriku lebih lama lagi. Dia sangat terkesan
dengan kekaguman dan kerinduan yang tersirat di setiap ucapan mereka tentangku.
Itu membuatnya ingin sekali mengenalku secara langsung. Perlahan dia dapat
membayangkan seperti apa diriku dengan kepingan-kepingan kenangan yang
dikumpulkannya dari orang-orang terdekatku, memastikan tidak ada kepingan yang
hilang atau terlewat.
“Maaf,
mungkin pertanyaanku ini tidak akan membuat kalian nyaman...” sela Sharon. “Saat
Kai dan keluarganya dibunuh, siapa yang pertama kali menemukan jasad mereka?”
Keheningan
terjadi beberapa lama sebelum Reiko dan Shou menjawab. Berat bagi mereka untuk
membayangkan malam itu. Padahal hari itu mereka berpisah denganku dan Minami di
sini untuk bertemu lagi di sekolah esok pagi, tanpa mengetahui kami tidak akan
pernah kembali.
“Kalian
yang menemukan mereka?” Sharon mencoba menebak karena dia tidak mendapat
jawaban.
“Bukan
kami. tapi...” ujar Reiko terbata-bata yang kemudian ucapannya itu diselesaikan
oleh Shou.
“Aoi.”
Begitu
sebuah nama baru didengarnya, Sharon semakin penasaran. “Siapa dia?”
“Dia
pacar Minami.” Jawab Shou. “Entah bagaimana, dia datang ke rumah Kai malam itu dan
menemukan mereka sudah tidak bernyawa di sana.”
“Malam
itu dia akan bertemu dengan Minami di dekat rumah. Namun setelah menunggu
sangat lama Minami tak kunjung datang, Aoi memberanikan diri untuk datang ke
rumah. Dia curiga saat menemukan pintu rumah Minami terbuka lebar pada malam
hari. Dia masuk untuk memastikan mereka baik-baik saja, namun malah menemukan
rumah sangat kacau seperti ada perampok memasuki rumah. Karena tidak menemukan
siapa pun di lantai bawah, dia pergi ke lantai atas, mendapati mereka sudah
tidak bernyawa lagi di sana...”
“Lalu,
bagaimana dengan hasil penyelidikan polisi? Kenapa pelakunya masih belum
tertangkap sampai sekarang?” tanya Sharon.
Reiko
menjawab, “Polisi sempat menahan Aoi sebagai tersangka, namun mereka melepaskannya
karena kurang bukti dan motif.”
“Kenapa
mereka menahannya? Apa karena dia yang pertama kali berada di tempat kejadian?”
tanya Sharon.
“Begitu
polisi tahu Aoi adalah pacar Minami, mereka menaruh kecurigaan padanya. Selain
menjadi orang pertama di TKP, dia juga dicurigai karena hubungan mereka tidak
direstui oleh orang tua Minami...”
“Tapi
itu tidak masuk akal.” Kata Sharon. “Jika Aoi dendam karena itu, dia tidak akan
membunuh Minami.”
“Polisi
juga menyelidiki orang-orang di perusahaan ayah Kai namun hasilnya nihil. Siapa
pun pelakunya, dia berhasil menutupi jejaknya dengan rapi.”
Sharon
masih belum bisa menerima kesimpulan itu. Pasti masih ada petunjuk yang tersisa
di rumahku yang hingga saat ini belum ditemukan oleh polisi. Dia bertekad akan mencarinya
sepulangnya dari kafe ini.
Selagi
merenung, Sharon melihat wajah Reiko dan Shou berubah murung karena
pertanyaan-pertanyaannya tadi. Dia menjadi merasa bersalah karena telah merusak
suasana. “Maafkan aku. Kalian pasti tidak suka aku menanyakannya...”
“Tidak
apa. Kau pasti ingin tahu sejarah rumah barumu, bukan? Kami tahu kita semua
pasti akan mati, tapi kematian Kai dan keluarganya datang terlalu cepat dan
sangat tragis.” Jawab Reiko dengan senyuman tegar.
“Padahal
kami berempat sudah berteman sejak kecil. Kehadiran Aoi juga menambah
keceriaan...” ujar Shou separuh meratap. “Yah, setidaknya kami bersenang-senang
sebelum mereka benar-benar pergi...”
“Tapi
kami juga menyukaimu, Sharon.” Kata Reiko. “Hanya karena kami sering mengenang
mereka bukan berarti kami tidak menerimamu. Rasanya sudah cukup lama kami tidak
menerima kehadiran teman baru.”
“Terima
kasih...” jawab Sharon. Dia amat menghargai ucapan Reiko tadi. “Itu sangat
berarti untukku.”
Kehadiran
mereka untuk sama lain hari ini memiliki arti yang berbeda-beda bagi mereka. Reiko
senang dia mendapatkan teman perempuan lagi untuk dijadikan sahabat barunya. Dia
tidak akan merasa kesepian lagi. Bagi Shou, kehadiran Sharon juga sebagai
pertanda bahwa dia harus melanjutkan hidupnya. Dia ingin mengenal Sharon lebih
dalam dan bersahabat dengannya. Samar-samar aku dapat menangkap kilatan aneh di
matanya yang belum pernah kulihat selama 10 tahun lebih aku berteman dengannya saat
dia menatap gadis itu. Rupanya daya tarik Sharon tidak hanya dirasakan olehku,
dia juga dapat merasakannya. Bagi mereka ada sesuatu di dalam diri Sharon yang
mengatakan kehadirannya akan mengubah segalanya, memutar balikkan yang ada, dan
mengisi hari-hari mereka dengan penuh kejutan.