Friday, May 31, 2013

The Invisible (6)

6

           Tepat pukul delapan, Shou dan Reiko selesai menutup kafe. Semua karyawan lainnya sudah pulang dan kini hanya tinggal mereka dengan Sharon yang masih setia menunggu di meja kafe sambil membaca majalah yang tersedia.
            “Ayo kita pergi ke atas, Sharon.” Ajak Reiko. Sharon melihat kedua teman barunya membawa bungkusan berisi camilan.
            “Ke atas?” Sharon tidak tahu masih ada ruangan lagi. Dia bahkan tidak melihat tangga di sekitarnya.
            “Ya. Ayo, cepat...” Reiko menarik Sharon bangkit dari duduknya lalu membawanya melewati pintu karyawan. Mereka melewati dapur kafe yang sudah kosong terlebih dulu sebelum melewati sebuah pintu lagi yang mengarah ke bagian belakang kafe. Tepat di samping pintu itu ada sebuah tangga besi yang membawa mereka ke atap bangunan kafe. Sharon menaiki tangga itu perlahan-lahan seraya membiasakan diri. Dia mendapat firasat Reiko dan Shou akan mengajaknya lagi ke tempat ini untuk hari-hari berikutnya.
            Atap kafe bukan tempat untuk umum, juga bukan tempat yang sering dikunjungi oleh karyawan kafe. Tempat itu adalah tempat rahasia kami. Berkat usulan Reiko yang bosan melihat atap ini tampak monoton, dia meminta bantuanku dan Shou untuk mendekorasinya. Dengan bantuan Minami yang ternyata sama ahlinya mendesain sesuatu seperti ibuku, jadilah atap yang sekarang Sharon singgahi.
            “Wow... indah sekali...” Sharon terpana melihatnya. Setiap sudut atap dihiasi pot-pot tanaman hias dan sebuah air mancur kecil di antaranya. Matanya terhipnotis oleh lampu kerlap-kerlip tepat di atas kepala mereka, membuatnya merasa seperti berada dalam suasana natal. Berkat cahaya lampu yang remang-remang itu, dia dapat melihat sebuah satu set meja bundar dengan payung merah besar terletak di tengah-tengah atap. Jika sedang tidak hujan, biasanya kami sering membawa alat musik atau stereo untuk memeriahkan suasana.
            Sharon duduk di meja itu bersama Shou dan Reiko, membuka bungkusan camilan yang berupa keripik, soda, teh hijau botol, roti yang dibeli Reiko dari minimarket sebelah dan sisa cake dari kafe.
            “Kenapa hanya kau dan ayahmu yang pindah ke sini? Ibumu tidak ikut, Sharon?” tanya Reiko setelah mereka duduk.
            “Tidak. Ibuku sudah meninggal saat aku masih kecil.” Jawab Sharon.
            “Oh, Sharon.” Reiko terkejut. “Maaf, aku turut berduka...”
   “Tidak apa. Itu sudah lama sekali berlalu.” Sharon tidak mempermasalahkannya.
            “Tapi, Sharon, kehilangan seorang ibu saat masih kecil itu sangat...” Reiko tidak dapat meneruskan. “Aku tidak dapat membayangkan jika aku kehilangan ibuku. Kau pasti seorang gadis yang kuat. Aku yakin.”
            “Ibumu meninggal karena apa, Sharon?” tanya Shou.
            “Dia mengidap kanker darah. Dia sudah berjuang semampunya, tapi...” terlintaslah bayang-bayang wajah ibunya yang terakhir dilihatnya saat masih kecil. Dia lupa hampir semua masa kecilnya dan apa yang dilakukannya bertahun-tahun lalu kecuali wajah ibunya yang tersenyum untuk terakhir kali padanya di rumah sakit. “entahlah... mungkin aku tidak sekuat yang kau katakan. Meskipun aku sudah merelakan kepergiannya, terkadang aku masih merindukannya.”
            “Memang sangat menyakitkan jika kehilangan orang tersayang kita. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang di hati kita...” kata Shou.
            “Ya, kau benar.” Sharon setuju. “Tapi, kita semua datang ke sini bukan untuk membicarakan masa laluku, bukan? Aku juga ingin tahu banyak sekali hal tentang kalian.”
            Mereka pun mulai saling bercerita. Dimulai dari Reiko yang tampaknya tidak akan pernah berhenti menanyakan Sharon tentang kampung halamannya, Shou dengan bangga memamerkan skor game-game yang dimainkannya di rumah, dan pertanyaan Sharon tentang sekolah barunya. Mereka seperti teman lama yang bertemu kembali dan tidak akan berhenti bercengkerama sampai esok pagi.
            Sambil menyimak perbincangan mereka, aku menyadari banyak sekali hal yang kulewatkan sejak aku meninggalkan ragaku. Semua orang berubah kecuali aku. Baru kusadari teman-temanku di kelas telah meninggalkan gaya lama mereka dan berubah menjadi orang baru yang tidak kuduga. Ada yang mewarnai rambut mereka seperti Shou, ada yang tadinya malu-malu dan tidak dikenali siapa pun menjadi idola sekolah, ada pula yang dulunya sangat nakal dan sering mendapat hukuman kini menjadi anak baik-baik dan calon mahasiswa universitas ternama. Baik semua perubahan kecil maupun besar itu menusukku. Aku tidak lagi merasa hebat karena tidak terlihat atau bahagia karena aku akan selalu menjadi orang yang sama. Dunia yang terus berubah perlahan-lahan menghapus keberadaanku, hingga akhirnya aku hanya bisa hidup di dalam kenangan mereka.
            Lalu, tiba-tiba kudengar Reiko berkata, “Seandainya Kai ada di sini, dia pasti senang sekali berkenalan denganmu. Dia selalu menerima orang-orang baru dengan tangan terbuka.”
            “Ya, itu sudah sifat keluarganya.” Timpal Shou. “Kau pikir siapa yang mau berteman denganku yang dulu sulit bergaul dengan yang lain selain dia?”
            Sharon membiarkan Reiko dan Shou mengenang diriku lebih lama lagi. Dia sangat terkesan dengan kekaguman dan kerinduan yang tersirat di setiap ucapan mereka tentangku. Itu membuatnya ingin sekali mengenalku secara langsung. Perlahan dia dapat membayangkan seperti apa diriku dengan kepingan-kepingan kenangan yang dikumpulkannya dari orang-orang terdekatku, memastikan tidak ada kepingan yang hilang atau terlewat.
            “Maaf, mungkin pertanyaanku ini tidak akan membuat kalian nyaman...” sela Sharon. “Saat Kai dan keluarganya dibunuh, siapa yang pertama kali menemukan jasad mereka?”
            Keheningan terjadi beberapa lama sebelum Reiko dan Shou menjawab. Berat bagi mereka untuk membayangkan malam itu. Padahal hari itu mereka berpisah denganku dan Minami di sini untuk bertemu lagi di sekolah esok pagi, tanpa mengetahui kami tidak akan pernah kembali.
            “Kalian yang menemukan mereka?” Sharon mencoba menebak karena dia tidak mendapat jawaban.
            “Bukan kami. tapi...” ujar Reiko terbata-bata yang kemudian ucapannya itu diselesaikan oleh Shou.
            “Aoi.”
            Begitu sebuah nama baru didengarnya, Sharon semakin penasaran. “Siapa dia?”
            “Dia pacar Minami.” Jawab Shou. “Entah bagaimana, dia datang ke rumah Kai malam itu dan menemukan mereka sudah tidak bernyawa di sana.”
            “Malam itu dia akan bertemu dengan Minami di dekat rumah. Namun setelah menunggu sangat lama Minami tak kunjung datang, Aoi memberanikan diri untuk datang ke rumah. Dia curiga saat menemukan pintu rumah Minami terbuka lebar pada malam hari. Dia masuk untuk memastikan mereka baik-baik saja, namun malah menemukan rumah sangat kacau seperti ada perampok memasuki rumah. Karena tidak menemukan siapa pun di lantai bawah, dia pergi ke lantai atas, mendapati mereka sudah tidak bernyawa lagi di sana...”
            “Lalu, bagaimana dengan hasil penyelidikan polisi? Kenapa pelakunya masih belum tertangkap sampai sekarang?” tanya Sharon.
           Reiko menjawab, “Polisi sempat menahan Aoi sebagai tersangka, namun mereka melepaskannya karena kurang bukti dan motif.”
          “Kenapa mereka menahannya? Apa karena dia yang pertama kali berada di tempat kejadian?” tanya Sharon.
         “Begitu polisi tahu Aoi adalah pacar Minami, mereka menaruh kecurigaan padanya. Selain menjadi orang pertama di TKP, dia juga dicurigai karena hubungan mereka tidak direstui oleh orang tua Minami...”
            “Tapi itu tidak masuk akal.” Kata Sharon. “Jika Aoi dendam karena itu, dia tidak akan membunuh Minami.”
            “Polisi juga menyelidiki orang-orang di perusahaan ayah Kai namun hasilnya nihil. Siapa pun pelakunya, dia berhasil menutupi jejaknya dengan rapi.”
            Sharon masih belum bisa menerima kesimpulan itu. Pasti masih ada petunjuk yang tersisa di rumahku yang hingga saat ini belum ditemukan oleh polisi. Dia bertekad akan mencarinya sepulangnya dari kafe ini.
            Selagi merenung, Sharon melihat wajah Reiko dan Shou berubah murung karena pertanyaan-pertanyaannya tadi. Dia menjadi merasa bersalah karena telah merusak suasana. “Maafkan aku. Kalian pasti tidak suka aku menanyakannya...”
            “Tidak apa. Kau pasti ingin tahu sejarah rumah barumu, bukan? Kami tahu kita semua pasti akan mati, tapi kematian Kai dan keluarganya datang terlalu cepat dan sangat tragis.” Jawab Reiko dengan senyuman tegar.
            “Padahal kami berempat sudah berteman sejak kecil. Kehadiran Aoi juga menambah keceriaan...” ujar Shou separuh meratap. “Yah, setidaknya kami bersenang-senang sebelum mereka benar-benar pergi...”
            “Tapi kami juga menyukaimu, Sharon.” Kata Reiko. “Hanya karena kami sering mengenang mereka bukan berarti kami tidak menerimamu. Rasanya sudah cukup lama kami tidak menerima kehadiran teman baru.”
            “Terima kasih...” jawab Sharon. Dia amat menghargai ucapan Reiko tadi. “Itu sangat berarti untukku.”

            Kehadiran mereka untuk sama lain hari ini memiliki arti yang berbeda-beda bagi mereka. Reiko senang dia mendapatkan teman perempuan lagi untuk dijadikan sahabat barunya. Dia tidak akan merasa kesepian lagi. Bagi Shou, kehadiran Sharon juga sebagai pertanda bahwa dia harus melanjutkan hidupnya. Dia ingin mengenal Sharon lebih dalam dan bersahabat dengannya. Samar-samar aku dapat menangkap kilatan aneh di matanya yang belum pernah kulihat selama 10 tahun lebih aku berteman dengannya saat dia menatap gadis itu. Rupanya daya tarik Sharon tidak hanya dirasakan olehku, dia juga dapat merasakannya. Bagi mereka ada sesuatu di dalam diri Sharon yang mengatakan kehadirannya akan mengubah segalanya, memutar balikkan yang ada, dan mengisi hari-hari mereka dengan penuh kejutan.

Thursday, May 30, 2013

Strange

We sat in the same room

Same couch we used to crash in

The clock was ticking as if it wants to racing your heart beat

The fire danced in the fireplace

While silence devouring us

It’s strange I felt we’re miles away apart

When all I had to do is reach your hand

It’s strange when I needed to yell your name

When all I had to do is whisper in your ear

When the clock striked midnight

Everything started to fadeaway

You’re pushing me away

Yet you said, “don’t leave me.”

So there I was, sitting together with you again

Letting ourselves decaying slowly

Within our beautiful minds

Wednesday, May 29, 2013

Like a Fairytale

Like Puss in Boots

I was the cat who had to clean up such mess

Like Cinderella

I was the girl who would never be exist in one night without magic

Like Blue Beard

I was a woman with a big curiosity in her head

Like Sleeping Beauty

I was the girl who was hibernating. Restless and felt no pleasure

Like Thumbelina

I was the girl who wanted to fly away from the dark to meet my prince

Like Little Red Riding Hood

I was that innocent girl who fell into the sweetest lie that has the sharpest 
tooth

Like Sinbad

I craved for adventure

Like Beauty and the Beast

All I wanted was a white rose for the rest of my life

Like Hansel and Gretel

I was attracted to sweet things

Like The Little Match Girl

I pursued my happiness only with a dim and gloomy light

Like Snow White

I was the evil queen who had no self-esteem

Like Dracula

I wished I could be like him

Like Heidi

I wanted to run freely in the mountains with you

Like Alice in Wonderland

I’d jump across river by river to get by

Like Frankenstein

I had so much ambitions

Like Town Musicians of Bremen

I wanted freedom

Like The Snow Queen

I made beautiful things dark

Like The Princess and the Pea

Little things could bother me

Like The Ugly Duckling

Wishing that someday I could be a beautiful swan like you

Like The Red Shoes

I’d dance for life til the end

Like The Little Mermaid

I’d dance for you though it was excruciating

Like the irrasional things in fairy tales

I fell for you

And since I lived in reality

We could never be as one

The Invisible (5)

5

            Sharon meninggalkan sekolah dengan wajah lesu sore itu. Setelah melihat hantu yang mengusirnya dari atap tadi siang, dia tidak bisa lagi belajar dengan fokus hingga guru sampai beberapa kali menegurnya.
            Dia menaruh tas sekolahnya di keranjang sepeda seraya membawa sepedanya keluar dari sekolah. Dia bahkan tidak sanggup mengayuh sepedanya lagi. Badannya lemas, entah karena perutnya keroncongan atau karena pengalaman besarnya hari ini. Dia tahu dia akan bertemu orang-orang baru dan tidak akan terkejut jika mereka tidak menerima keberadaannya, namun dia tidak akan pernah menduga seorang hantu akan muncul tepat di depannya, menakutinya, dan mengusirnya.
            Dia tidak tahu harus menangis atau tidak. Bahkan hantu saja tidak mau menerima keberadaannya...
            Sepanjang jalan, benaknya terus berkecamuk tanpa henti. Mana mungkin dia memberitahu ayahnya bahwa pada hari pertamanya bersekolah dia bertemu seorang hantu. Bisa-bisa ayahnya menertawakannya nanti.
            Sementara dirinya merasa kacau, aku masih bertanya-tanya. Tidak mungkin Sharon bisa melihat hantu tadi hanyalah kebetulan. Jika hanya ingin menakutinya, Amaya, gadis hantu itu tidak akan membahas Sharon di depanku secara panjang lebar. Sejak awal aku melihat Sharon, aku sudah menyadari ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Mungkin saja dia memiliki bakat mampu melihat makhluk-makhluk tak terlihat sepertiku namun dia tidak menyadarinya.
            Jika itu benar, suatu hari nanti dia pasti akan bisa melihatku.
            Dan aku menjadi sangat gelisah saat membayangkannya.
            Mendadak Sharon berhenti berjalan. Dia merasa enggan untuk pulang karena takut kesendiriannya di rumah akan semakin mengacaukannya. Namun dia tidak tahu harus pergi ke mana karena belum tahu daerah sekitar sini.
            Akan tetapi, kebingungannya terjawab saat dia menoleh ke kiri, dan melihat sebuah kafe di seberang jalan. Kafe itu terlihat nyaman suasananya dan tidak terlalu ramai. Bagian luar kafe itu memiliki pagar kayu berwarna putih berhiaskan tumbuhan-tumbuhan merambat berwarna hijau yang memberi kesan romantis. Dindingnya bermotif batu bata merah dan pintu serta jendela kacanya berkanopi merah juga. Terhipnotis oleh daya tarik kafe dan perut keroncongannya yang terus mengusiknya, Sharon memutuskan untuk mampir ke sana. Dia menaruh sepedanya di tempat parkir sepeda yang sudah tersedia.
            Saat masuk ke dalam, dia disambut oleh kehangatan suasana kafe yang lengang dan mengingatkannya dengan kafe langganannya di London. Interiornya didominasi oleh kayu walnut, dinding cokelatnya dihiasi papan menu dan promosi, poster-poster bertuliskan kata-kata mutiara, dan lemari kaca yang berisi pajangan-pajangan gelas, piring, dan perabotan keramik lainnya yang bernuansa kuno kesukaannya. Sharon sangat menyukai lantai kayunya yang sewarna dengan rambutnya.
            Sambil terus mengagumi isi kafe, dia berjalan ke konter yang memiliki etalase kaca berisi kue-kue dan roti-roti yang tampak lezat. Dia tergiur untuk memesan beberapa, apalagi menu minuman kafe menyediakan minuman kesukaannya yaitu cokelat hangat.
            “Selamat sore, kau ingin memesan apa?” seorang pemuda menyambut kehadirannya di balik konter. Sharon mengalihkan pandangannya ke pemuda ramah itu dan terpana untuk sesaat.
            Sharon berpikir dia tidak akan jatuh hati pada pemuda Jepang karena mereka bukan tipenya. Namun begitu dia melayangkan pandangannya pada pemuda di depannya ini, rasanya dia akan berubah pikiran. Pemuda jangkung ini berahang kokoh, berhidung  mancung sepertiku, bermata cokelat berbinar yang terlihat seakan-akan dia menyimpan rahasia, dan berwajah sedikit cantik. Namun tidak seperti pemuda cantik lainnya yang cenderung berpenampilan feminin, pemuda ini tetap memiliki kesan maskulinnya yang terlihat jelas. Dia mengenakan kaus oblong putih, celana jins di balik celemek kafenya, dan jam tangan hitam. Senyum cantiknya justru membuat Sharon melayang. Bagi Sharon, pemuda ini sangat cocok mewarnai rambut tebal berpotongan ala visual keinya sewarna dengan kayu walnut di sekitarnya.
            Aku sama sekali tidak heran dengan reaksi Sharon. Kira-kira seperti itulah reaksi setiap gadis jika mereka bertemu pemuda bernama Shou itu. Shou adalah anak Bibi Tomoko sekaligus sahabat karibku sejak kecil.
            “Hei, kau Sharon Nixon.” Senyum Shou melebar setelah menyadari siapa gadis yang akan dilayaninya.
            “Maaf?” Sharon mengernyitkan dahi, bingung mengapa pemuda ini bisa tahu siapa dirinya.
            “Ah, maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Shou.” Shou mengulurkan tangannya pada Sharon.
            Sharon ragu untuk membalas uluran tangan itu. Dia baru ingat berjabat tangan bukanlah budaya orang Jepang untuk berkenalan atau pun bertemu. Terakhir kali dia melakukannya tadi siang, dia mendapat sambutan yang dingin dan tatapan jijik sebagai balasannya. Akan tetapi, Shou malah melupakan kebiasaan budayanya selama sejenak dan mengulurkan tangannya untuk Sharon. Berapa orang yang pernah diperlakukan seperti ini olehnya?
            “Sha... Sharon...” dia membalas uluran tangan itu. Dia dapat merasakan kehangatan yang bersahabat yang belum pernah dirasakannya sejak dia tiba di kota ini saat Shou meremas tangannya.
            “Salam kenal. Aku putra Tomoko Kohara yang datang ke rumahmu kemarin. Maaf, ya, ibuku pasti cerewet sekali di depanmu dan ayahmu.” Kata Shou.
            “Ya...” jawab Sharon salah tingkah. Dia ingat Bibi Tomoko berkata putranya tampan, namun tidak setampan ini. “Dia membicarakan banyak hal tentangmu.”       
            “Oh, kuharap bukan sesuatu yang memalukan.” Shou terkekeh. “Ngomong-ngomong, apa kau sadar bahwa sebenarnya kita sekelas?”
            “Oh ya?” Sharon terkejut.
            “Kau pasti tidak menyadari keberadaanku. Kau terlihat sangat gugup tadi. Hari pertama sekolah memang selalu berat.” Komentar Shou. “Tapi kuharap kau senang bersekolah di sana.”
            Sharon tidak tahu harus menjawab apa untuk itu. Dia telah mengalami banyak hal di hari pertamanya.
            “Jika kau terganggu dengan sikap anak-anak di kelas kita, jangan terlalu kau pikirkan. Sejak kehilangan Kai, mereka menjadi sulit menerima anak baru di kelas.” Kata Shou.
            “Kai?” Sharon dibuat terkejut untuk kedua kalinya. “Maksudmu, Kai dulunya juga berada di kelas yang sama?”
            “Ya. Kukira kau sudah mengetahui itu dari ibuku.” Shou juga ikut kaget.
            “Memangnya, Kai seperti apa di mata mereka?” Sharon penasaran.
            Shou tersenyum sesaat karena dia jadi teringat pada diriku. “Dia anak yang menakjubkan. Dia bergaul dengan siapa pun dan ramah pada semua orang, bintang sepak bola sekolah, dan siswa populer ketiga yang digemari para gadis di sekolah kita. Bayangkan saja, dia berhasil meraih semua itu saat masih kelas 10!”
            Semua orang pasti menginginkan orang lain memiliki kesan baik tentang dirinya bila dia meninggalkan dunia ini. Hidupku hanya sebentar, aku tidak berharap orang lain akan memiliki kesan baik tentang diriku. Namun saat mendengar betapa besarnya kenangan tentangku di hatinya, aku tidak tahu harus bersikap apa. Semua orang yang kukenal termasuk Shou pasti sudah berubah selama tiga tahun ini, namun mereka tidak pernah melupakanku. Itu sudah cukup membuat arwah penasaran sepertiku menangis bahagia.
            “Saat mendapat kabar kematiannya, kami sama sekali tidak percaya. Kami malah berpikir itu adalah lelucon tidak bertanggung jawab yang disebarkan oleh anak-anak iseng.” Shou meneruskan ceritanya. “Namun begitu kami melihat jasadnya di rumah duka, kami tidak bisa berkata apa-apa...”
            Sharon menyentuh tangan Shou lagi untuk menyampaikan rasa simpatinya. “Aku turut berduka, Shou...”
            “Tidak apa. Aku yakin anak nakal itu pasti sudah beristirahat dengan tenang di dunia sana.” Jawab Shou sambil mengusap hidungnya dengan percaya diri. Tiba-tiba dia teringat sesuatu yang sangat penting yang menjadi alasan kedatangan Sharon. “Oh ya!! Kau pasti ingin memesan sesuatu, bukan? Maaf, Sharon, maaf! Aku memang pelayan yang bodoh!” Shou membungkukkan badannya berkali-kali.
            Sharon mengikik geli dibuatnya. Ternyata pemuda ini bisa ceroboh juga. “Tidak apa, Shou.”
            Sharon menyebutkan pesanannya seraya Shou mencatatnya. Selagi Shou membuat cokelat hangatnya dan mengambil pasta pesanannya, Sharon menaruh sejumlah uang di konter untuk membayar.
            Selagi menunggu, Sharon mendengar suara gemerincing lonceng kecil yang menggantung di pintu masuk kafe sebagai tanda bahwa ada pengunjung. Dia menoleh dan melihat seorang gadis seusianya masuk ke dalam. Gadis itu melepaskan syal dan mantel hitamnya, memperlihatkan seragam sekolah yang persis seperti yang dikenakannya.
            “Maaf aku baru datang, Shou! Tugas piket kelas memang menyusahkan.” Seru gadis itu sebelum betemu pandang dengan Sharon. Gadis itu pun tersenyum padanya. “Eh, kau Sharon Nixon, bukan?”
            Sharon mengangguk pelan. Gadis berwajah ceria itu mendekatinya dan memperkenalkan diri. “Aku Reiko Suzuki dari kelas 3-3. Kelasku persis berada di samping kelasmu.”
            “Halo, Reiko.” Balas Sharon.
            Reiko Suzuki. Aku juga mengenal gadis itu. Dia adalah gadis enerjik yang manis dan berambut pendek seperti lelaki karena ketomboiannya. Dia gadis yang tidak akan segan berkata jujur dan blak-blakan. Orang tuanya adalah jutawan kaya raya. Ayahku membangun perusahaan yang dimilikinya bersama ayahnya, ibunya seorang desainer mode ternama yang memiliki kafe ini. Reiko membantu ibunya mengawasi kafe ini sambil bekerja, dia jugalah yang memberikan Shou tawaran untuk bekerja paruh waktu di sini.
            Aku, Shou, dan Reiko adalah sahabat karib di sekolah. Kami bertiga hampir tidak pernah terpisahkan.
            “Senang bertemu denganmu! Aku mendengar cerita dari ayahku tentangmu dan ayahmu yang jauh-jauh datang kemari untuk membantunya. Dia sangat berterima kasih kepada kalian.” Ujar Reiko.
            “Seharusnya kamilah yang berterima kasih. Kalian meminjamkan kami rumah yang sangat bagus.” Balas Sharon. Kesan pertamanya terhadap Reiko adalah dia dapat merasakan kerendah hatian gadis itu sehingga dia merasa nyaman dengannya. Dia berpikir tidak ada salahnya menjadikan Reiko sebagai temannya di sini.
            “Kau sudah memesan sesuatu? Cake cokelat kami terkenal enak, lho...” tawar Reiko.
            “Sudah. Ngg... kurasa lain kali saja.” Sharon menjawab sungkan.
            “Kau harus datang ke sini setiap hari! Kalau kau mau, kau bisa bekerja di sini juga!” kata Reiko dengan semangat. Sharon ingin sekali menerima tawarannya. Akan tetapi, dia takut ayahnya tidak akan mengizinkannya.
            Reiko pun undur diri dari hadapan Sharon untuk mulai bekerja. Sharon tersenyum sendiri melihat gadis itu berjalan masuk ke ruang karyawan sambil bersiul riang.
            “Silakan! Selamat menikmati!” Shou muncul lagi dengan membawa segelas cokelat hangat dan  pasta pesanan Sharon di atas nampan merah.
            “Terima kasih.” Kata Sharon sebelum menyadari ada sepotong besar cake cokelat yang dibicarakan Sharon tadi ada di sebuah piring kecil putih di samping cokelat hangatnya. “Lho? Aku tidak memesan ini...”
            “Yang ini gratis dariku.” Kata Shou sambil tersenyum penuh arti. “Untuk ucapan selamat datang.”
            “Eh...” Sharon tidak menyangka hari menyebalkannya ini terhapus dengan kebaikan kecil yang semanis cake cokelat itu dari Shou. “Terima kasih, Shou...”
            “Kalau kau bisa, kau mau tinggal di kafe ini sampai nanti malam?” tanya Shou sebelum Sharon membawa nampannya ke meja terdekat.
            “Memangnya kenapa?”
            “Aku dan Reiko selesai bekerja pukul delapan nanti. Kalau kau mau, kita bisa mengobrol nanti.” ajak Shou dengan penuh harap.
            “Kedengarannya menyenangkan.” Sharon menyambut ajakan itu dengan senang hati. Ayahnya pasti akan pulang larut dan Sharon lebih memilih menghabiskan waktunya bersama teman-teman barunya daripada sendirian di rumah saja.

            Shou bersorak pelan. Dia senang gadis semanis Sharon mau menerima ajakannya. “Baiklah, sampai bertemu lagi nanti malam.”

The Invisible (4)

4

            Pelajaran berlangsung hingga sebelum jam makan siang. Semua anak bernapas lega begitu bel istirahat berbunyi. Begitu guru meninggalkan kelas, sebagian siswa ada yang keluar dari kelas untuk bermain di halaman atau bertemu teman-teman mereka yang ada di kelas lain, sebagian lagi berkumpul bersama untuk menyantap bekal makan siang yang dibawa dari rumah, ada juga yang hanya tidur atau mendengarkan musik di bangkunya.
            Semua memiliki kegiatan seru masing-masing kecuali Sharon. Sharon lupa membawa bekal. Dia ingin keluar dari kelas untuk pergi ke kantin namun enggan. Semua anak yang dilewatinya nanti pasti akan memandangnya dengan cara yang sama seperti cara anak-anak di kelas memandangnya saat ini. Dan dia tidak menyukainya. Dia tahu dia berbeda dari yang lain, namun apa itu berarti mereka bisa mengucilkannya dengan tatapan-tatapan tajam itu?
            Akhirnya dia memutuskan untuk mendekati mereka lebih dulu. Dia berdiri dan berjalan menuju kumpulan para gadis yang sedang menikmati makan siang tidak jauh di depannya. Mereka langsung menatap Sharon seakan mereka terganggu olehnya. Namun Sharon tersenyum dengan ramah seraya mengulurkan tangannya.
            “Halo. Namaku Sharon. Boleh aku bergabung dengan kalian?”
            Mereka membiarkan uluran tangan Sharon itu menggantung di udara. Sharon menarik tangannya dari mereka dengan perasaan kecewa. Sebesar itukah rasa tidak suka mereka terhadapnya?
            Tahu dia tidak diterima di kelas ini, Sharon langsung keluar dari kelas. Dia berlari di lorong meskipun dia sudah melihat papan dilarang berlari di lorong. Dia tidak peduli, dia ingin mencari suatu tempat yang bisa menjadi tempat persembunyiannya.
            Dia berlari menaiki tangga hingga ke lantai teratas sekolah. Sesampainya dia di ujung tangga, sebuah pintu besi yang mengarah ke atap gedung sekolah. Kesunyian dan angin kencang menyambutnya ketika dia membuka pintu itu. Atap sekolah yang kosong dan seperti tidak pernah dijamah oleh satu pun siswa akan menjadi tempat persembunyiannya selama jam istirahat atau jam disaat dia harus menghindari orang banyak.
            Dia mengeluarkan sesuatu dari balik saku blazernya, sepuntung rokok filter dan pemantik api. Aku tidak percaya dengan yang kulihat sekarang. Bukannya aku terkejut karena dia benar-benar merokok, melainkan karena seorang gadis sepertinya berani membawa sepuntung rokok ke area sekolah yang sangat ketat peraturannya ini.
            Dia menyalakan rokoknya dengan pemantik yang bergambar bendera Inggris itu. Asap rokok keluar dari bibir mungilnya dan menyatu dengan udara setelah hisapan pertamanya. Selama sejenak, dia duduk bersandar di pinggir atap, menikmati setiap lintingan racun di tangannya itu. Pikirannya kosong, melayang entah ke mana. Dan yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menantinya menghabiskan rokok itu.
            Sharon tahu merokok adalah kebiasaan yang sangat berbahaya dan mematikan, dan tidak seorang pun termasuk ayahnya sendiri tahu dia seorang perokok. Namun gadis ini melakukannya bukan karena ingin bergaya seperti remaja kebanyakan. Tidak akan sulit baginya untuk berhenti merokok jika dia mau. Dia melakukannya karena ingin merasakan seberapa dekatnya dia pada kematian yang telah merenggut nyawa ibunya, dan jarak yang memisahkannya dari kematian itu sendiri hanyalah rokok yang tinggal setengah batang itu. Sebagian dirinya juga berharap sang ibu saat ini melihatnya dari dunia sana dan memarahinya. Dan sebagian dirinya yang lain malah berharap malaikat maut membawanya ke dunia sana sekarang juga agar dia bisa bertemu dengan ibunya.
            Hisapan terakhirnya cukup lama dan dalam sebelum dia membuang puntung rokok itu dan menginjaknya untuk mematikan apinya. Dia berdiri dan melihat pemandangan di bawahnya, anak-anak lelaki asyik bermain sepak bola di halaman sekolah, tidak menyadari Sharon memperhatikan mereka dari atas. Dia memperhatikan pemandangan itu cukup lama, mempertanyakan dirinya sendiri kapan dia akan bisa sebebas mereka. Cukup lama dia tidak benar-benar berbicara dengan orang lain selain ayahnya.
            Disaat dia termenung, ujung pandangannya menangkap sepasang kaki milik seseorang berdiri tepat di atas pagar atap sekolah. Dia mengangkat kepalanya untuk melihat lebih jelas siapa orang yang tiba-tiba muncul begitu saja di sampingnya. Seorang gadis berseragam sepertinya dengan wajah kusut menatap kosong ke bawah seakan dia ingin terjun dari tempatnya berdiri.
            Gadis itu menyadari Sharon sedang memandangnya. Dia lalu berbalik dan menatapnya. Sharon tercekat melihat tatapan keji gadis itu padanya. Dia mengambil langkah mundur untuk menjauhi gadis yang seperti tidak memiliki aura kehidupan itu.
            “Ma... maaf, kau siapa?” tanya Sharon terbata-bata.
            “Seharusnya aku yang bertanya kau siapa. Siapa kau yang berani mencemari tempatku ini dengan rokokmu?” balas gadis itu dengan nada mengerikan dan membuat Sharon merasa tercekik.
            “Maafkan aku. Maaf...” hanya itu yang bisa Sharon ucapkan agar amarah gadis itu reda.
            Namun gadis berwajah seram itu malah meraung padanya, “Pergi kau dari sini!”
            Sharon langsung berlari meninggalkan atap. Namun aku tetap berada di tempat untuk mencari tahu siapa gadis itu. Dia bisa melihatku, terbukti dari tatapan penuh kebenciannya padaku yang hendak ingin mengusirku juga.
            “Siapa kau? Rasanya aku pernah melihatmu...” tanya gadis itu.
            Mendengar suaranya yang tiba-tiba melunak, aku jadi tahu siapa dirinya. Dia adalah hantu gadis penghuni atap sekolah yang menjadi legenda di sekolah ini. Menurut gosip yang tersebar, gadis ini adalah siswi angkatan 10 tahun lalu yang terjun dari atap ini tanpa sebab. Kabarnya dia sering menakuti para siswa dengan terjun dan menatap mereka dari jendela sekolah dengan tatapan seramnya yang diberikan pada Sharon tadi.
            Aku yang dulu tidak pernah mempercayai legenda itu kini hanya bisa tertegun saat dia memperhatikanku dari atas sampai bawah. Dari auraku, dia tahu aku seorang hantu, dan dari wajahku, dia tahu aku pernah bersekolah di sini.
            “Hmm... kurasa kau tidak mati di sekolah ini, ya.” Gadis itu mengambil kesimpulan. “Bagaimana kau bisa mati?”
            “Seseorang menembak mati aku dan keluargaku di rumah.” Jawabku enteng sebagai sesama hantu.
            “Kalau begitu, kenapa kau malah kemari bukannya menghantui rumahmu sendiri?” tanyanya. “Jangan bilang kau sedang mengikuti gadis itu.”
            “Dia sekarang menghuni rumahku. Jadi...”
            “Jadi kau menjadi seorang hantu hanya untuk menguntitnya?” gadis itu langsung menyelaku. “Untuk apa kau menguntit gadis nakal yang berusaha mencemari tempatmu dan tempatku ini?”
            “Hei, dia kan manusia. Kita sebagai hantu tidak bisa melarangnya, bukan? Aku sendiri juga tidak tahu kenapa aku membuntutinya...” aku menggaruk kepalaku kebingungan.
            “Apa karena dia bisa melihatmu?” tebak gadis itu.
            Pertanyaan itu langsung kujawab dengan yakin. “Tidak.”
            “Kalau begitu...” dia ikut bingung. “kenapa dia bisa melihatku?”
            “Hei... kau kan sering menampakkan dirimu di depan murid-murid sekolah ini.” aku memberikan jawaban yang sudah jelas.
            “Tidak. Ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Dia melihatku dan berinteraksi denganku seolah-olah aku adalah manusia. Aku yakin setelah ini dia tidak akan bercerita pada teman-temannya bahwa dia telah melihat aku di sini.” Gadis itu berpikir keras. Aura seramnya malah sudah tidak terlihat lagi karena sangat penasaran mengapa gadis asing yang diusirnya tadi memberikan kesan yang sangat berbeda dari manusia-manusia yang lain ditakuti olehnya.
            Mungkinkah alasan yang dia cari juga alasan yang sama mengapa aku mengikutinya?
            “Jika alasan kau masih bergentayangan di dunia ini bukan karena dia, lalu karena apa?” dia bertanya padaku seolah dia ingin tahu semua alasan yang dimiliki para hantu sepertinya mengapa kami enggan pergi dari dunia ini.
            “Aku ingin mencari tahu siapa pembunuhku.” Jawabku.
            “Oh, begitu...” hanya itu jawabannya.
            “Lalu, kau sendiri? Kenapa kau tidak mau pergi ke dunia sana?”
            “Aku terperangkap di sini.” Gadis itu menjawab pertanyaanku dengan nada sedih. “Aku sudah mencoba pergi ke dunia sana namun mereka tidak mau menerimaku karena waktuku belum tiba.”
            “Kalau begitu, mengapa kau melakukannya? Mengapa kau mengambil keputusan bodoh itu hingga arwahmu terkatung-katung seperti ini?” tanyaku.
            “Seperti gadis itu dengan rokoknya, aku juga ingin merasakan sesuatu.” jawabnya. “Dunia ini membuatku lelah dan tidak bisa merasakan apa pun lagi.”
            Lalu dia bercerita saat dia berdiri di ujung atap menatap ke bawah, ingin tahu bagaimana rasanya jika tubuhnya benar-benar menghantam ke tanah. Matanya terpejam untuk membayangkan bagaimana rasanya. Namun begitu dia membuka matanya, tahu-tahu dia sudah melihat jasadnya sendiri sudah berlumuran darah di atas tanah. Dia tidak tahu apakah dia harus menyesalinya atau tidak. Semuanya sudah terlambat saat dia hanya bisa menyaksikan jasadnya dibawa pergi oleh polisi dan teman-temannya menangisi kematiannya.
            “Mungkin aku mengulangi perbuatan yang sama hingga menakuti teman-temanmu karena aku ingin tahu alasan mengapa aku bisa sebodoh itu melakukannya. Apakah karena adrenalinnya, rasa sakitnya, atau perhatian yang dalam sekejap kudapatkan dari teman-temanku begitu melihat jasadmu yang mengenaskan di sana.”
            Meskipun dia sudah berulang kali mencoba, dia tidak merasakan apa pun juga. Barulah dia menyadari bahwa hatinya sudah mati lebih dulu jauh sebelum dia meloncat dari atap ini.
            “Karena luka dan goresan di hatiku yang sangat banyak, aku pun menutup diri dari dunia. Pada awalnya aku merasa senang karena tidak merasakan rasa sakit itu lagi. Namun itu hanya menjadi bumerang untukku sendiri.” Ujarnya.
            Dia menatapku lagi dengan belas kasih seraya berkata, “Maka dari itu, pergilah kau ke dunia sana selagi masih bisa. Jangan biarkan dendammu menggerogotimu perlahan-lahan. Apa masih kurang buruk bagimu dengan menjadi arwah penasaran seperti ini?”
            “Tidak bisa. Orang itu tidak hanya membunuhku, tetapi juga keluargaku. Aku harus tahu dan membalas perbuatannya.” Jawabku tegas. “Keluargaku adalah orang baik, kami tidak pernah menjahati siapa pun, aku harus tahu mengapa orang itu melakukannya.”
            Gadis itu diam sejenak mencerna ucapanku. Sebagai hantu, dia pasti dapat memahami alasanku. “Baiklah kalau itu maumu. Tapi kau sama sekali tidak menakutkan bagiku.”
            “Apa?” sebagai seorang hantu, itu adalah ejekan yang sangat menyakitkan.
            “Misalnya kau sudah menemukan siapa pembunuhmu kau ingin menuntut balas hingga dia menyesal karena sudah membunuhmu. Apa yang akan kau lakukan untuk menakutinya? Menutupi dirimu dengan selimut putih yang memiliki dua lubang di bagian mata?”
            Meskipun kata-katanya sangat pahit, harus kuakui ucapannya itu memang benar.
            Gadis itu berdecak sambil menggelengkan kepalanya. “Tampaknya kau memang membutuhkan pelajaran bagaimana caranya menjadi seorang hantu yang baik. Baiklah, mulai besok aku akan mengajarimu di sini.”
            “Apa yang membuatmu berpikir aku akan menerimanya?” aku mendelik tajam ke arahnya. Ternyata gadis ini bisa bersikap percaya diri juga.
            “Aku senang kau menanyakannya. Baiklah, akan kusebutkan keuntungan lainnya jika kau mau belajar dariku. Pertama, aku yakin kau pasti tidak akan betah menunggu gadis itu bersekolah dari pagi hingga sore. Maksudku, ayolah, kau kan hantu. Masa kau mau mengikuti pelajaran-pelajaran yang membosankan itu?  Kedua, selain kau bisa menakuti musuh-musuhmu, kau juga akan bisa mengendalikan kekuatanmu.”
            “Eh? Kekuatan?”
            “Ya, kau tahulah, menggerakkan benda-benda, menyalakan dan mematikan lampu, membanting pintu, dan masih banyak lagi.”
            Alasan keduanya membuatku mempertimbangkan tawarannya itu. Namun alasan ketiganya akan lebih membuatku tergiur.
            “Ketiga, kau akan bisa membuat dirimu terlihat.” Gadis itu mengangkat alisnya berkali-kali untuk menggodaku. “Bagaimana? Kau pasti tertarik karena ingin gadis itu melihatmu, bukan?”
            “Kenapa kau bisa tahu?” aku merasa ketahuan.
            “Alasan para hantu menguntit seorang manusia biasanya karena ada masalah yang belum terselesaikan di antara mereka atau hanya karena hantu itu menyukai si manusia.”
            Apa? Aku menyukai Sharon? Gadis ini memang seorang hantu dan bisa berkata sesukanya, namun untuk hal ini sudah jelas dia hanya mengada-ada.
            “Aku benar, bukan?” gadis itu menyeringai usil. “Lagipula, jika dia bisa melihatmu, kau juga bisa meminta bantuannya untuk menangkap pembunuhmu.”
            Mau tidak mau, aku harus mengakui lagi gadis ini ada benarnya. Aku memang membutuhkan bantuan seseorang.
            “Baiklah, aku terima tawaranmu.” Aku bersedia. “Tapi kuyakin pasti tawaranmu ini tidak gratis.”
            “Begitulah.” Jawaban gadis itu tidak dapat kumengerti. “Ada satu syarat yang harus kau lakukan jika kau ingin terus membuntutinya dan meminta bantuannya.”
            “Apa?”
            “Kau harus menjaganya.” Pintanya. “Dia sudah melakukan hal bodoh yang kulakukan hanya untuk merasakan sesuatu itu. Kau pasti bisa merasakannya, bukan?” dia melirik puntung rokok bekas milik Sharon yang kini tertiup angin kencang, membawanya pergi dari pandangan kami. Aku tidak bisa membiarkan nyawa Sharon melayang begitu saja seperti rokok itu di tangannya sendiri.

            “Terlebih lagi...” gadis itu meneruskan ucapannya. “jalan untuk mencapai tujuanmu tidak akan mudah. Jika dia tahu semuanya termasuk identitas pembunuhmu, maka dia akan berada dalam bahaya yang sangat besar. Dan disaat itulah tugasmu sebagai makhluk yang tak terlihat adalah melindunginya.”