Wednesday, August 14, 2013

The Delusion (17)

17

Pagi itu Shou keluar dari kamarnya. Ia mencium bau sedap pancake buatan Juri dari ruang makan. Pria itu selalu bangun pagi dan bertingkah layaknya dia adalah ibu Shou. Mulanya Shou merasa Juri hanyalah pengganggu di apartemennya, namun lama kelamaan dia mulai menerimanya, setelah tahu Juri ternyata adalah orang yang baik untuk diajak bicara dan bisa memasak sesuatu selain makanan microwave.

“Selamat pagi.” Sapa Juri saat melihat Shou duduk di meja makan.

Shou melihat jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi. “Tidak biasanya kau membuat sarapan sesiang ini.”

“Yah, mungkin karena aku agak mabuk dan pulang malam aku jadi kesiangan.” Jawab Juri. Dia menaruh pancake untuk Shou di depan sepupunya.

“Oh...” hanya itu jawaban Shou. Dia mengambil saus maple dari tengah meja makan lalu menuangkannya ke pancake. Dia sudah tidak sabar menyantap pancake lezat di depannya.

“Semalam aku ke apartemen Yoriko, tapi dia tidak ada disana. Aku dan Nao bertanya pada Aya dan dia juga tidak tahu kemana gadis itu pergi. Apa dia baik-baik saja?” Juri menceritakan kejadian semalam.

Mendengar itu, Shou tersedak dari pancakenya.

“Hei, hei. Kau tidak apa-apa?” tanya Juri. Ia berlari kecil ke dapur, mengambil segelas air untuk Shou. “Jangan terlalu cepat memakannya, Shou. Kau masih punya waktu seharian.”

Secara tergesa-gesa Shou meneguk air pemberian Juri. “Ya, ya. Aku tidak apa-apa. Teruskan saja ceritamu.”

Lalu Juri melanjutkan ceritanya. Dia berkata dia sempat mengobrol dengan gadis bernama Aya Goto tersebut. Gadis itu adalah sahabat Yoriko dan Juri cukup kaget ketika ia tahu gadis itu juga teman Shou dari masa SMA. Berbekal kunci cadangan yang diberikan Yoriko ke Aya, mereka memasuki apartemen Yoriko karena Nao penasaran dengan apa yang seorang gadis gotik miliki di kamarnya.

“Aku sangat terkejut saat menemukan peti mati di kamar Yoriko. Ya Tuhan, gadis itu benar-benar nyentrik...” komentar Juri soal peti mati itu.

Shou masih tetap mengunyah pancakenya dengan tenang. Entah kenapa ia tidak kaget seorang gadis seperti Yoriko memiliki peti mati di apartemennya. Mereka menemukan tengkorak manusia disana pun Shou tidak akan terkejut.

“Tapi dia memiliki banyak karya seni di buku-buku sketsanya. Aku heran kenapa dia tidak pernah menunjukkannya kepada kita.” Kata Juri.

Bagian inilah yang mengagetkan Shou. Ia baru tahu Yoriko juga bisa menggambar selain menulis. “Oh ya? Dia menggambar apa?”

“Macam-macam...” Juri mencoba mengingat. “Oh! Ada satu gambar yang membuatku tertarik. Gambarnya emosional sekali, seperti ia memiliki perasaan yang mendalam kepada orang di gambar itu. Kurasa dia seperti ingin memberikan kehidupan dan harapan terhadap siapapun yang ada di gambar itu.”

Shou jadi penasaran siapa orang beruntung yang mendapat setitik kehidupan dan harapan dari gadis yang seperti malaikat kematian itu.

“Lalu setelah itu, apa yang kalian lakukan?” tanya Shou.

“Tentu saja kami pergi dari sana untuk menjemputmu. Tapi kau sudah tidak ada di taman Yoyogi. Menurut penjaga taman disana sudah tidak ada siapa-siapa lagi malam itu. Sesampainya aku disini, aku sudah menemukanmu dalam keadaan pulas di kamarmu.” Jawab Juri jengkel karena semalam Shou sudah membuatnya khawatir.

Shou tersenyum pasrah. “Maaf... hehe... semalam aku sudah pulang duluan naik bis. Penjaga taman mengusirku...”

Juri melirik Shou curiga. Sepertinya dia sadar Shou menyimpan sesuatu. “Apa benar karena itu, Shou?”

“Ya, tentu saja karena itu! Aku juga tidak sabar menunggu kalian yang lama sekali hanya untuk mencari tahu keadaan gadis menjengkelkan itu. Sia-sia saja kan kalian pergi kesana?” Elak Shou dengan nada menyebalkan seperti biasanya agar Juri percaya.

Shou pikir elakannya sudah bagus sehingga Juri percaya, namun Juri tidak gampang dikelabui. “Kenapa aku merasakan ada yang aneh darimu? Seperti kau berubah dalam semalam.”

Bagai tertusuk pisau tepat di punggungnya, Shou menjawab pelan, “ma... maksudmu?”

“Kenapa kau jadi mendadak peduli pada Yoriko?” tanya Juri. “Aku bercerita aku pulang dalam keadaan agak mabuk tapi kau tidak peduli. Tetapi saat aku bercerita tentang Yoriko, kau malah menyuruhku meneruskan dan bertanya detailnya.”

Shou tertawa kering. Di benaknya ia sibuk mencari alasan untuk bisa menutupi apa yang sebenarnya terjadi di antara dirinya dan Yoriko semalam. “Ngg... entahlah... memangnya siapa yang tidak penasaran dengan isi kamar Yoriko?”

Juri diam sebentar, pura-pura berpikir. “Hm... biar kutebak. Oh ya, kau orangnya, Shou.”

“Tunggu.” sela Shou. “Kau bercerita dan sesuai saranmu tempo hari, aku mencoba untuk menanggapinya sambil menikmati pancakeku. Kau memintaku untuk peduli sedikit pada orang lain dan kini kau malah menyalahkanku?”

“Bukan itu maksudku, Shou.” Kata Juri. “Tapi apa yang merubahmu begitu cepat dalam semalam? Pasti ada sesuatu.”

“Aku telah berpikir. Saat aku sendirian di taman semalam, aku berpikir. Kau ada benarnya, aku harus sedikit merubah sikapku di depan orang lain.” Shou memberikan alasan selogis mungkin agar Juri percaya kepadanya.

“Hmm... begitu, ya?” walau masih sedikit tidak percaya, rasanya alasan Shou barusan bisa diterima. “Lalu apa yang membuatmu mendengar dan merenungkan kata-kataku?”

Untuk pertanyaan itu, Shou menjawab secara jujur ia sendiri tidak tahu. Mungkin karena Juri adalah pendengar yang baik? Entahlah, rasanya lebih dari itu. Melihat Shou yang diam saja, Juri dengan mudah menarik kesimpulan.

“Kurasa seseorang sudah mulai sadar kalau ternyata selama ini ia tersesat, ya...” ujar Juri dan membuat Shou bingung.

“Maksudmu?”

“Tidak, tidak apa-apa. Apa rencanamu hari ini?” Juri mengalihkan pembicaraan.

“Melakukan persiapan untuk konser. Mungkin sampai malam aku tidak akan pulang, jadi jangan tunggu aku.” Jawab Shou sambil meneruskan sarapannya. “Kau?”

“Aku akan berkemas untuk hari ini.” kata Juri. “Aku akan kembali ke Inggris besok lusa.”

Mendadak Shou jadi kehilangan nafsu makannya saat Juri mengucapkan rencana besarnya sesantai itu. “Kenapa? Katanya kau ingin tinggal disini.”

“Memang. Aku sudah mendapat persetujuan dari pihak rumah sakit tempat aku akan berkerja disini. Setelah aku mendapat kepastian, aku akan kembali ke Inggris untuk mengurus kepindahanku secara permanen. Akan membutuhkan waktu beberapa lama, tapi tidak masalah bagimu, kan?” Juri menepuk pundak Shou. Pria itu tetap santai menghabiskan pancake bagiannya.

Tidak tahu kenapa Shou jadi merasa kehilangan jika Juri benar-benar pergi ke Inggris. “Sayang sekali...”

“Kenapa? Sekembalinya dari London, aku sudah akan memiliki apartemen baru disini. Aku tidak perlu tinggal di tempatmu lagi dan mengganggumu. Harusnya kau senang, kan?” kata Juri.

Seharusnya dia senang. Tetapi bagaimana jadinya kalau Shou sudah mulai menyayangi Juri sebagai saudara? “Ngg... entahlah... itu berarti tidak akan ada yang memasakkanku sarapan lagi. Ya, kan?”

Juri tertawa pelan. “Aku yakin jawabanmu sebenarnya lebih daripada itu, Shou. Tapi tidak apa-apa, aku bisa terima.”

“Kau sudah memberitahu Yoriko?”

“Aku akan memberitahunya.” Jawab Juri.

“Dia pasti akan sangat merindukanmu.” Tanpa sadar namun sangat yakin Shou mengatakannya.

“Kenapa kau berkata begitu?” Juri dibuat heran untuk kesekian kalinya di pagi hari ini. Belum pernah sekalipun Shou bersikap seaneh ini di depannya. Ditambah lagi ketika ia menangkap sekilas ekspresi sendu yang berusaha Shou sembunyikan, seperti dia kehilangan sesuatu yang berharga.

“Entahlah... hanya perasaanku saja...” Shou hanya mengangkat bahunya.

*** 

Seperti biasanya, Yoriko langsung pergi bekerja untuk Alice Nine usai bekerja di petshop. Namun hari ini sedikit spesial karena hari ini adalah kegiatan rehearsal Alice Nine di sebuah live hall daerah Sendai.

Sebenarnya tugas Yoriko tidak terlalu banyak hari ini. Membantu di bagian setting panggung bukanlah bagian dari tugasnya. Memasuki gedung live hall, ia segera berjalan menuju ruang persiapan. Disana ia menemukan ruangan itu kosong dan dipenuhi seluruh barang-barang bawaan kelima anggota Alice Nine.

Yoriko berpikir mereka mungkin sedang berlatih di panggung. Ia pun menaruh sebungkus besar berbagai jenis burger dari Burger King pesanan Alice Nine yang dibawanya ke atas meja. Yoriko menaruh tas ranselnya di sofa dan beristirahat disana.

Baru beberapa menit ia mengambil napas, Nao memasuki ruangan dan memanggil Yoriko. “Hei! Semalam kami menunggumu di taman Yoyogi. Kenapa kau tidak datang?”

Yoriko menoleh dan gugup. Sama sekali tidak terpikirkan olehnya bagaimana dia harus menjawab pertanyaan Nao soal ini. Apa yang terjadi semalam terlalu sempurna dan masih terasa seperti mimpi untuk diceritakan. Rasanya lebih baik ia menyimpannya daripada terbanting oleh kenyataan jika semua itu hanyalah ilusi.

“Ngg... maaf... aku...” Yoriko berpikir keras mencari alasan bagus, tetapi Nao lebih dulu menyelanya.

“Semalam aku dan Juri pergi ke apartemenmu untuk memastikan kabarmu, tapi kau tidak ada disana. Memangnya kau ada dimana?” Nao duduk di seberang Yoriko dan memandangnya dengan sorot mata tajam, seolah Yoriko sedang diinterogasi.

“Aku... aku sedang lembur di petshop. Aku membutuhkan tambahan uang untuk membayar uang sewa jadi...” semoga saja Nao percaya dengan alasan Yoriko yang ini.

Pandangan Nao malah semakin tajam dan menyelidik. Tentu saja dia tidak percaya. “Tapi semalam aku bertemu Aya, dan dia tidak bilang soal kau lembur. Kau sudah pergi dari petshop sejak sore. Kau pergi kemana?”

“Aaa...” Yoriko terbata-bata, dia bukanlah gadis yang biasa berbohong, apalagi di depan salah satu teman terdekatnya. Dia mengaku pada Nao ia menyesal karena tidak bisa datang ke acara hanami mereka namun Yoriko sungguh-sungguh tidak bisa memberitahu alasannya.

“Padahal kami mengharapkan kedatanganmu, Yoriko-chan. Tapi kau tidak datang. Apa ini karena kau benci pada sakura? Kalau ya, bilang saja. Aku tidak akan marah.” Kata Nao. Sekarang pria itu terlihat sedih, seperti anak kecil yang kecewa teman bermainnya tidak bisa bermain bersamanya.

Ingin rasanya Yoriko berkata sesuatu. Tidak menutup kemungkinan Nao akan membencinya jika Yoriko menceritakan kejadian sebenarnya. “Maafkan aku, Nao... aku telah mengecewakanmu...”

“Tapi bisakah kau bilang alasannya? Aku tidak akan marah, aku berjanji.” Nao sampai membentuk tanda silang di dadanya sebagai tanda bersumpah.

Bila didesak seperti itu, Yoriko tidak bisa berkata apapun lagi. Ketika ia berusaha keras mencari kata yang tepat untuk memerbaiki suasana, tiba-tiba seseorang memasuki ruangan dan menyela pembicaraan hening mereka.

“Mungkin Yoriko sedang disuruh Avaron untuk mengantar pesanan hewan peliharaan ke tempat yang cukup jauh?” kata Shou sambil melirik Yoriko. Yoriko menyadari dari lirikan tersebut terdapat sebuah isyarat agar ia mengikuti alur yang dibuat Shou.

“Ngg... ya, aku ingin sekali memberitahu itu padamu tapi aku tidak enak padamu, Nao.” Yoriko meneruskan kebohongan putih Shou. “Ada yang memesan seekor kucing persia dan pemiliknya memintaku mengantarkannya ke daerah dekat sini. Pemesanan itu sangat mendadak, jadi...”

Dan sepertinya Nao mulai percaya pada alasan itu. “Benar begitu?”

“Terserah kau mau percaya atau tidak, Nao. Tapi itulah sebab kenapa ia tidak bisa bergabung dengan kita semalam. Kau sudah dengar darinya, kan? Kenapa kau terus memaksanya? Dia jadi semakin merasa bersalah, tahu.” Imbuh Shou sedingin es seperti biasanya. Namun Yoriko bisa merasakan pria itu sedang ingin menyelematkan Yoriko, dan dari cara Shou menatapnya tadi, mereka seolah bersepakat untuk merahasiakan hal yang terjadi di antara mereka berdua semalam.

“Maaf, Nao. Lain kali aku tidak akan mengecewakanmu lagi...” Yoriko menimpali. “Jika seandainya ada cara untuk menebus kesalahanku, aku akan melakukan apa saja.”

“Kalau begitu, kau mau datang ke acara hanami tahun depan bersama kami?” tanya Nao.

Sambil menarik napasnya dan tersenyum tulus, Yoriko menjawab, “Ya, aku berjanji.”

Shou mendekati Nao dan menjitak pelan kepalanya, “Sudah, jangan terlalu lama disini. Tora mencarimu di panggung.”

Nao pun berpamitan pada mereka sebelum keluar, meninggalkan Shou dan Yoriko berdua ke dalam situasi canggung. Yoriko tidak tahu harus berterima kasih atau tidak karena Shou telah membantunya atau mendiamkannya seperti yang biasa Shou lakukan terhadapnya.

Setelah kejadian semalam, mereka berdua sepenuhnya sadar mereka tidak akan bisa seperti dulu lagi. Keduanya telah melihat satu sama lain dengan cara yang berbeda sekarang. Tidak ada yang bisa disembunyikan lagi di antara mereka karena mereka telah menceritakan segalanya.

Jika Yoriko takut kejadian semalam hanyalah ilusi sehingga ia merahasiakannya, kenapa Shou juga turut menyembunyikannya? Shou juga tidak berkata apapun. Pria berambut cokelat itu berjalan menuju tas di dekatnya, mengambil sebotol air mineral untuk diminum.

Memerhatikan Shou, Yoriko kembali teringat semalam. Masih terbayang jelas di benak Yoriko ketika Shou memegang tangannya dan berlari bersama menyusuri taman Yoyogi yang gelap. Suara tawa Shou yang belum pernah Yoriko dengar sebelumnya masih terngiang di telinga Yoriko. Dan senyumannya... begitu hangat dan tulus... seolah hanya untuk Yoriko.

Yoriko tidak pernah menyangka semua itu terasa sangat nyata hangat. Dimana selama ini di dalam hatinya ia menganggap Shou hanyalah refleksi dari tokoh favoritnya. Refleksi yang bagaikan sebuah bayangan di dalam cermin, dingin dan tidak bisa disentuh.

Oh tidak... kenapa tiba-tiba Yoriko merasa jantungnya berdebar sangat kencang?

“Hei, bisakah kau sampaikan pada pihak kostum desainer untuk mempercepat kerja mereka? Konser kita sudah tinggal 3 hari lagi...” tidak seperti biasanya, Shou kali ini lebih sopan memberi perintah pada Yoriko.

“Tentu saja.” Yoriko menyanggupi. “Ada lagi yang ingin kau minta?”

“Sepulang rehearsal...” kata Shou pelan supaya tidak terdengar dari luar. “Kau mau makan malam bersamaku?”

Oh Tuhan... sekarang jantung Yoriko seperti ingin meledak rasanya. Ingin sekali ia menyanggupi ajakan Shou, tetapi ia tidak bisa. Orang lain telah lebih dulu mengajaknya makan malam dan tidak enak bila Yoriko memutuskan janjinya dengan orang itu begitu saja.

“Maaf, Shou...” jawab Yoriko. Dia kesal karena sudah mengecewakan orang lain dua kali hari ini. “Aku tidak bisa. Juri sudah lebih dulu mengajakku makan malam...”

“Oh... begitu, ya...” balas Shou dengan reaksi datar. “Ya sudah...”

“Maaf...” Yoriko berdiri dan mendekati Shou perlahan. “Apa kau marah? Jika acara ini untuk urusan pekerjaan, kurasa Juri akan mengerti.”

Shou tertawa pelan. “Haha... memangnya kenapa? Aku mengajakmu makan malam karena hanya untuk makan malam, bukan hal lain. Kau tidak perlu seperti itu, aku bukan Nao.”

Yoriko mencoba untuk memahami arti dari seluruh sikap yang Shou tunjukkan kepadanya. Kenapa mendadak Shou yang selalu menganggapnya tidak ada mengajaknya makan malam? Untuk apa?

Namun sebelum Yoriko bisa menanyakannya, Shou lebih dulu berpamitan. “Kau hubungi saja desainer itu. Kalau kau ingin pulang cepat, bilang saja padaku atau yang lain. Pekerjaanmu tidak banyak untuk hari ini...”

“Ngg... ya, baiklah...” jawab Yoriko seadanya dan bingung. Shou pun memberikan sebuah senyum simpul kepada Yoriko sebelum keluar dari ruangan.

Sambil menatap kosong pintu yang terbuka, Yoriko yang sedari tadi hampir tidak bisa bernapas normal pun menghela napasnya. Apa yang baru saja terjadi? Shou bersikap seolah kejadian semalam tidak pernah terjadi dan tiba-tiba pria itu mengajaknya makan malam bersama? Apakah ini bagian dari ilusinya lagi?

Mungkin tindakannya tepat, Yoriko memang harus merahasiakannya dari orang lain...

*** 

Juri dan Yoriko bertemu di Christon Cafe, restoran yang sudah menjadi langganan mereka untuk makan malam. Saat memasuki restoran, ia melihat Juri berada di meja favorit Yoriko, di dekat altar Bunda Maria.

Yoriko berharap Juri tidak akan berubah aneh seperti Shou atau sesedih Nao karena Yoriko tidak datang ke acara hanami semalam. Namun pria itu terlihat seperti biasanya. Cara duduknya dan meminum teh tetap terlihat seperti orang Inggris, sopan dan bertata krama. Setelan dan sepatu kulit tidak pernah lepas darinya, rambut cokelatnya selalu rapi. Disaat kebanyakan pria muda Jepang sepertinya berpenampilan seperti Shou, Juri nampak seperti dari masa lalu, namun tidak akan pernah monoton untuk terus dipandang.

“Maaf, aku terlambat. Perjalanan dari Sendai cukup jauh...” sapa Yoriko seraya mengecup pipi Juri sebagai salam. Mereka tidak akan pernah bisa melepaskan budaya Inggris yang telah melekat cukup lama di diri mereka.

“Tidak apa-apa. Aku juga baru datang, kok.” Jawab Juri. “Kau ingin langsung memesan?”

Yoriko menjawab ya, tentu saja. Dia telah menahan lapar sejak di stasiun Sendai tadi. Setelah mereka berdua memesan menu yang diinginkan, mereka kembali mengobrol. Sesuai dugaan Yoriko, Juri bertanya kenapa Yoriko tidak datang ke acara hanami kemarin.

“Aku harus mengantar pesanan hewan peliharaan ke pelanggan yang tinggal di Sendai.” Yoriko menggunakan alasan yang diberikan Shou secara tidak langsung kepadanya beberapa jam lalu.

Juri memicingkan matanya. Tentu saja sebagai seorang yang memahami psikologi Juri bisa merasakan kebohongan yang diucapkan Yoriko. Namun Juri tahu Yoriko bukanlah gadis pembohong, pasti ada alasan kuat Yoriko tidak memberikan jawaban sebenarnya, seperti Shou yang berkelit padanya tadi pagi.

Demi menghormati privasi Yoriko, Juri bersikap seolah ia percaya pada jawaban yang Yoriko berikan. Jika memang ada sesuatu terjadi di antara Yoriko dan Shou semalam, maka mereka pasti lebih menginginkan semua itu disimpan di antara mereka berdua saja. Itu adalah pilihan yang juga harus dihormati Juri sebagai teman dan saudara.

“Jadi, bagaimana perkembangan novelmu?” tanya Juri sambil menikmati makanan mereka yang baru saja datang.

“Begitulah...” jawab Yoriko ragu-ragu.

“Ada apa, Yoriko-chan? Ada masalah dengan tulisanmu?” Juri menyadari keraguan Yoriko.

“Tidak, kau masih tetap ingin membacanya?” Yoriko memastikan. Beberapa hari lalu Juri meminta Yoriko memberikan sebagian tulisannya untuk dibaca dan dikritik olehnya. Juri tidak sanggup menahan rasa penasarannya terhadap Spencer Williams, tokoh yang Yoriko sebut mirip dengan sepupu Juri.

“Tentu saja, tapi kalau kau keberatan...” Juri memaklumi jika Yoriko tidak mau memberikan sebagian naskahnya untuk dibaca.

“Bukan begitu.” Yoriko menyela. “Selain karena naskahnya belum selesai, aku sendiri masih belum yakin dengan tulisanku itu. Karena...”

Yoriko mencoba menjelaskan bahwa selama ia menulis fiksi dia tidak pernah teralihkan, dia selalu bisa fokus dengan apa yang ia tulis. Namun saat ia menulis cerita tentang Spencer Williams, seluruh perhatiannya teralihkan kepada Shou dan yang lain, Yoriko takut kesibukannya di dunia nyata memengaruhi tulisannya.

“Saat aku membaca lagi naskahku, aku menyadari ada banyak perbedaan dari cerita-ceritaku sebelumnya. Aku khawatir kau akan menganggapnya aneh karena jelek atau kau belum terbiasa.” Kata Yoriko.

Juri diam sejenak. Dia memotong steik salmonnya untuk dilahap. Tidak lama kemudian dia merespon ucapan Yoriko, “Tidak masalah. Aku ingin melihat perkembanganmu. Aku percaya kau bisa menulis karya yang bagus walau ada sedikit perubahan. Kau tidak usah takut, Yoriko-chan.”

Sebuah senyum harapan terukir di wajah Yoriko. “Benarkah?”

“Kita coba saja.” Juri membuat Yoriko merasa optimis. “Kau sudah memutuskan bagaimana akhir ceritanya?”

Kembali Yoriko terdiam. Akhir dari sebuah cerita sangat sakral artinya bagi Yoriko. Dia terlalu hanyut dalam khayalannya sendiri dan ia tidak ingin segala hal indah itu berakhir. Dia masih belum sanggup memutuskan bagaimana akhir cerita di antara Judy Hunters dan Spencer Williams, belum saatnya.

“Be... belum...” kata Yoriko pelan.

Juri juga sepertinya memahami apa yang dipikirkan Yoriko. “Baiklah, kau membawa naskahnya?”

Yoriko membuka tas ransel di sebelahnya dan memberikan apa yang diminta Juri. Beberapa bab dari cerita Yoriko.

“Mungkin akan makan waktu lama untuk memberi komentar tentang ceritamu, Yoriko-chan.” Kata Juri sembari menyimpan naskah itu ke dalam tasnya.

Yoriko menangkap ekspresi sendu dan tidak enak hati di wajah Juri yang tampan. “Eh? Kenapa memangnya?”

“Aku akan kembali ke Inggris untuk mengurus kepindahanku besok lusa.” Kata Juri. Yoriko nampak terkejut atas berita yang mendadak itu.

“Be... besok lusa? Kenapa kau baru bilang sekarang? Sampai kapan kau berada disana?” tanya Yoriko bingung. Apa yang bisa dia lakukan tanpa Juri? Sekarang ia sudah terbiasa oleh kehadiran pria ini. Selama ini hanya Juri-lah yang mampu memahami Yoriko lebih dari siapapun. Keberadaan Juri membuat Yoriko tidak merasa sendirian lagi.

“Aku tidak tahu. Beberapa minggu, mungkin?” Juri tidak yakin. “Ternyata banyak sekali yang harus kuurus dan akan membutuhkan waktu beberapa lama sebelum aku bisa menetap disini secara permanen.”

Yoriko kini hanya bisa menatap salad favoritnya di meja. Ia sadar kepergian Juri hanya sementara, tapi tetap saja...

“Maafkan aku, Yoriko-chan...” Juri meraih tangan Yoriko dan menggenggamnya erat. “Aku berjanji aku tidak akan pergi kemanapun lagi darimu setelah itu.”

“Yah, mau bagaimana lagi...” Yoriko tersenyum pasrah. “Aku hanya tidak menyangka kau akan pergi, aku kaget saja...”

“Kau ingin kubawakan sesuatu dari Inggris?” tawar Juri untuk menghibur sahabatnya.

“Tidak usah.” Yoriko menolak dengan halus. “Selama kau kembali dengan beberapa catatan di naskahku, aku akan senang, kok.”

“Aku berjanji akan membaca naskahmu sesibuk apapun diriku. Kau mau menungguku, kan?”

Yoriko mengangguk pasti. “Ya, tentu saja.”

“Atau begini saja.” Juri mendapat ide. “Saat aku kembali, kau bisa menjemputku di bandara. Kau mau?”

Yoriko menyambut ide itu penuh antusias. “Aku mau! Kalau perlu akan kubuat poster bertuliskan “Selamat datang kembali, Juri” dan akan kuperlihatkan selama berada di bandara!”

Mereka berdua tertawa atas usulan konyol Yoriko itu. “Ya, ya. Kau bisa membawa apapun sesuka hatimu. Buatlah aku malu di bandara, Yoriko-chan.”

“Omong-omong...” Yoriko jadi teringat Shou. “Kau sudah memberitahu Shou kau akan pergi?”

“Sudah.” Jawab Juri. “Aku yakin dia pasti senang setengah mati di belakangku setelah mendengar aku akan pergi.”

Yoriko mengingat bagaimana keadaan Shou tadi siang saat mereka bertemu. Tidak terlihat seperti orang yang baru saja bebas dari belenggu sepupunya. “Oh... begitu, ya...”

“Mulai besok aku akan mengurus keberangkatanku. Jadi malam ini adalah malam terakhir kita bertemu.” Juri merapikan peralatan makannya di atas piring dan mengelap bibirnya dengan tisu karena sudah selesai makan.

“Yaaah...” Yoriko kecewa dan langsung menginginkan malam ini berlalu lebih lambat. “Sayang sekali...”

Juri memanggil salah seorang pelayan untuk meminta tagihan makanan mereka dan berkata, “Berhubung malam sudah mulai larut dan kau juga kelelahan, akan kuantar kau menaiki taksi dari depan kafe.”


Saat mereka keluar dari restauran, hawa dingin menerpa tubuh mereka. Juri mengancingkan mantel cokelatnya dan Yoriko membungkus diri dengan jubah hitamnya lebih rapat. Mereka masih berdiri di depan pintu masuk, menunggu taksi.

“Apa masih ada yang mengganggumu, Yoriko-chan?” tanya Juri di sampingnya.

Yoriko membalas tatapan Juri yang penuh perhatian. Walaupun Yoriko hanya menganggap Juri adalah sahabatnya, Yoriko tidak akan pernah bisa terlepas dari jeratan karisma Juri yang tinggi. Terkadang saat Yoriko melihat pria ini, ia seperti melihat sesosok pria paruh baya yang memiliki banyak pengalaman seperti Robert Langdon. Namun jika ia berpaling sedikit ia akan melihat sosok seorang pemuda penuh semangat seperti Shou.

Jeratan karisma itulah yang membuat Yoriko nyaris saja meluapkan apa yang disembunyikannya sejak tadi. Juri pasti tahu Yoriko berbohong padanya mengenai kejadian kemarin, dan itu membuatnya semakin merasa bersalah. Kenapa Juri membiarkannya berbohong? Apakah pria ini marah tapi dia tidak memperlihatkannya?

Yoriko selalu bercerita segala hal ke Juri, begitu juga sebaliknya. Yoriko tidak tahan ingin menceritakan kejadian aneh tadi siang, ajakan makan malam Shou yang harus Yoriko tolak karena Juri. Namun Yoriko takut, jika ia menceritakannya, Juri mungkin akan merasa bersalah atau malah Yoriko sendiri yang akan kebingungan. Yoriko tidak terbiasa menyimpan rahasia di depan Juri, tidak akan bisa.

“Apa kau pergi ke Inggris karena kau marah padaku?” tanya Yoriko takut-takut.

Juri malah kaget Yoriko berkata seperti itu. “Tentu saja tidak, Yoriko-chan. Aku tidak marah padamu, kau bahkan tidak melakukan kesalahan apapun.”

“Tapi...” imbuh Yoriko. Apakah ia harus mengatakannya sekarang juga sebelum pria ini pergi jauh darinya dalam waktu yang cukup lama? “Jika aku memiliki kesalahan, maafkan aku. Kau mungkin berpikir aku tidak melakukan kesalahan apapun, tapi aku pasti pernah melakukannya.”

Juri tertawa pelan menanggapi kepolosan Yoriko. Bagaikan seorang kakak memperlakukan adiknya dengan lembut, Juri memeluknya. “Tentu saja. Aku akan selalu memaafkanmu.”

Yoriko berkata di pelukan Juri yang hangat. “Masih banyak yang ingin kuceritakan padamu sebelum kau pergi. Tapi...”

“Shh...” Juri melepas pelukannya dan menaruh jarinya di bibir Yoriko. “Kalau kau belum siap untuk menceritakannya sekarang, tidak apa-apa. Kau tidak perlu merasa bersalah.”

“Aku akan merindukanmu.” Yoriko kembali memeluk Juri dan terisak.

Tepat disaat ia mendengar isakan Yoriko di dadanya, Juri mendengar gemuruh dari awan hitam kota Tokyo, sebagai pertanda akan turun hujan. Tidak lama kemudian, titik-titik air mulai membasahi bumi, semua orang membuka payung dan memasang jas hujan mereka. Hujan di musim semi seakan ingin menandai awal perpisahan mereka.

Jika Juri boleh berkelakar, mungkin dewa langit atau malaikat turut iba melihat kesedihan Yoriko. Maka dari itu mereka menurunkan hujan agar Yoriko tidak menangis sendirian. London adalah kota yang memiliki curah hujan tinggi, mungkin saat ia berada disana dan hujan turun, ia akan selalu teringat Yoriko.

Juri dan Yoriko membiarkan diri mereka dibasahi oleh hujan, meski seorang penjaga pintu masuk restauran menawarkan mereka untuk kembali masuk namun mereka mengabaikannya. Juri menaruh tangannya di rambut Yoriko yang basah dan mengusapnya pelan dan berkata di telinga Yoriko, “Sudah, kau jangan menangis lagi. Dewa atau malaikat manapun pasti akan ikut bersedih bersamamu. Jangan sampai mereka mendatangkan banjir.”

“Aku tidak peduli.” Jawab Yoriko dengan suara serak. “Jika banjir datang itu berarti kau tidak akan bisa pulang ke London!”

“Tapi penduduk Tokyo akan kesusahan nantinya.” Juri melepaskan pelukan mereka. Ia melihat air mata Yoriko tersapu oleh air hujan, seakan mereka ingin menghapus tangisan Yoriko yang tidak terbendung. “Aku berjanji, saat kau pulang dan tidur nanti kau akan merasa tenang dan bahagia karena telah menghabiskan waktu bersamaku malam ini. Aku juga berjanji, bahwa saat kau bangun esok pagi, seluruh kesedihanmu malam ini akan terlupakan, senyumanmu akan membuat dewa langit memberikan sinar matahari tercerah kepada penduduk Tokyo esok hari.”

“Kehadiranmu bagaikan hawa hangat di musim semi. Bagaimana jadinya jika kau pergi?” balas Yoriko.

“Maka seseorang akan memberikan kehangatan yang sama kepadamu. Kau hanya perlu mencarinya.” Ujar Juri dengan senyuman yang menghibur hati Yoriko.

Lalu Juri melihat sebuah taksi melintas dari jauh. Ia melambaikan tangannya ke arah taksi itu dan sang supir menghentikan kendaraannya tepat di depan mereka. Pintu taksi itu terbuka lebar dan Juri menyuruh Yoriko masuk.

“Berjanjilah padaku kau akan selalu bersikap manis selama aku tidak pergi.” Juri mengacungkan jari kelingkingnya di depan Yoriko.

Yoriko menyambut jari itu dan menautkannya di jari kelingking miliknya. “Asal kau berjanji akan membawa oleh-oleh yang banyak sekembalinya kau dari London.”

Juri tertawa. “Katanya kau tidak ingin oleh-oleh.”

Yoriko mengangkat bahu cuek. “Yah, anggap saja sebagai imbalan aku menunggumu disini.”

Ketika Yoriko masuk ke dalam taksi dan pintunya menutup, ia tidak bisa melepaskan pandangannya dari Juri yang berdiri di trotoar. Hawa dingin menciptakan embun di jendela mobil seakan ingin mengaburkan pandangan Juri yang melambaikan tangannya kepada Yoriko.


Yoriko menoleh ke belakang dan membalas lambaian tangan itu. Ia terus menoleh sampai taksi berbelok di ujung jalan, ketika sosok Juri yang baik hati sudah tidak terlihat lagi.