Sunday, July 14, 2013

The Delusion (16)

16

Di hari terakhir hanami, pengunjung semakin banyak berdatangan, mengenang mekarnya bunga sakura di hari terakhirnya tahun ini. Shou dan teman-temannya berada di taman Yoyogi, duduk beralaskan karpet di bawah rindangnya pohon sakura yang besar dekat danau kecil. Tidak hanya anggota Alice Nine yang ikut. Berkat ajakan Nao dan paksaan Tora, Juri turut hadir. Tadinya mereka juga mengundang manajer mereka, tapi sayangnya ia tidak bisa ikut.

Mereka disana dari siang hingga malam, menikmati segala jenis makanan yang dibawa mereka dari rumah, kue-kue, roti, berbagai macam sushi. Juri bahkan rela bangun subuh untuk memasak masakan khas Eropa keahliannya. Irish stew, apple crumble, custard, fish and chips, dan pai blackberry. Seluruhnya dalam porsi besar sampai Shou yang tidak pernah tertarik pada masakan Juri langsung menghabiskan seluruhnya bersama teman-temannya.

Tidak lupa berkerat-kerat bir dan sake sumbangan Tora, Hiroto, dan Saga juga teh yang dibawa Juri menjadi teman mereka bersenang-senang. Mereka membawa gitar dan menyanyikan lagu bersama-sama. Diantara mereka semua, tentu saja yang paling gembira adalah Juri. Ini adalah kali pertamanya dia menghadiri hanami. Darah Jepang yang mengalir di dirinya membuatnya bergetar begitu melihat sang Sakura. Ucapan Yoriko kepadanya benar, sakura memang bunga yang agung. Selalu dinantikan, dikenang, dan memiliki banyak sekali arti.

Bagi Juri apa yang dilakukannya bersama Alice Nine adalah kenangannya bersama sakura yang akan selalu ia kenang. Namun ia ingin tahu kenangan apa yang dimiliki Yoriko bersama sakura sampai ia tidak mau bertemu lagi dengannya?

Saat Juri diajak ikut, ia juga mengajak Yoriko. Tetapi gadis itu selalu menolak. Juri bahkan memelas dan memohon-mohon padanya. Namun Yoriko dengan berat hati dan menolaknya lagi secara halus. Yoriko berkata ketidak hadirannya akan terasa lebih baik bagi pesta mereka. Namun sebaliknya, Juri dan Alice Nine merasa kehilangan...

“Kenapa Yoriko tidak datang juga, ya...” kata Nao pelan. Dari siang, pandangan matanya tidak pernah lepas dari sekitar mereka, mengharapkan kedatangan Yoriko dengan gaun hitamnya yang khas dari berbagai arah.

Nao melihat ke sampingnya, Saga sudah nyaris tumbang karena sake, Tora sibuk mencari-cari tempat makan untuk sisa makanan, Hiroto asyik dengan kameranya memotret bunga sakura pada malam hari. Juri hanya meneguk birnya dalam diam, Nao tahu pria bule itu juga mengharapkan kedatangan Yoriko. Kalau bukan karena gadis itu, mereka pasti sudah pulang dari tadi.

Sekarang sudah pukul setengah 10 malam, orang-orang sudah mulai berberes dan pulang karena sebentar lagi taman akan ditutup. Namun Arisu masih di tempat. Meski makanan sudah hampir habis, sake dan bir sudah tidak tersisa, suasana mulai sepi.

“Sudahlah... dia tidak akan datang...” Hiroto memberi saran. “Sekarang sudah malam. Bagaimana kalau kita beres-beres dan memulangkan Saga? Lihat, sebentar lagi dia akan membasahi karpetku dengan liurnya.”

“Kita tidak bisa berharap banyak. Sejak siang kita menunggunya.” Tora sudah putus asa. Yoriko tidak pernah lepas dari topik pembicaraan mereka sejak siang, berharap Yoriko datang dan ingin melihat serunya jika ia bertengkar dengan Shou. “Ayo pulang. Sebentar lagi taman akan ditutup.”

“Tapi...” Nao membantah. Harapan kecilnya masih menanti kedatangan Yoriko, dia sudah bertekad bulat akan menanti Yoriko sampai tengah malam. Tetapi sekarang baru pukul setengah 10.

“Besok kita masih ada aktivitas, Nao. Kau ingat jadwal konser kita?” Tora mengingatkan. Ia berdiri dan memanggil Hiroto untuk membantunya membereskan peralatan hanami mereka. “Kita tanyakan saja pada Yoriko kenapa ia tidak bisa datang esok hari.”

“Dari tadi siang aku terus menelepon Yoriko tapi tidak ada jawaban. Dua jam lalu, saat kucoba lagi dia mematikan handphonenya...” Juri menyahut. “Mungkin aku akan pergi ke apartemen Yoriko sepulang kita dari sini.”

“Aku ikut!” seru Nao. “Kalau kau ke apartemen Yoriko, aku ikut! Lagipula aku belum pernah kesana. Kau mau mengantar kami kesana kan, Shou?”

Shou yang ditanya tidak menjawab. Pria itu duduk menyandar di sisi lain pohon sakura, termenung melihat danau yang tenang airnya. Tidak ada satupun dari mereka bahkan Tora sahabatnya sekalipun menebak apa yang dipikirkan Shou. Dia sudah berada disana sejak satu jam yang lalu.

“Shou!” Panggil Nao untuk ketiga kalinya sebelum Shou akhirnya menoleh.

“Apa?” sahut Shou jengkel karena Nao merusak lamunannya. Nao pun menjelaskan lagi alasan kenapa ia tadi memanggilnya. Hasilnya, Shou kembali menatap danau sambil merogoh saku celananya. Meraih kunci mobilnya dan melemparkannya ke Nao.

“Pakai mobilku saja. Nanti kau jemput aku lagi disini.” Kata Shou.

“Kau tidak ingin ikut? Taman kan sebentar lagi ditutup. Masa kau masih ingin terus disini?” kata Hiroto heran.

“Seperti biasanya...” Tora hanya mengangguk paham. “Dia tidak pernah mau pergi dari sakura. Apalagi besok pagi sakura akan gugur...”

Alice Nine tahu Shou sangat menyukai bunga sakura. Mereka pernah menangkap basah Shou memanjat pohon itu karena ingin memetik bunganya pada acara hanami beberapa tahun lalu sampai dimarahi petugas taman. Mereka tidak pernah bosan menertawakan kenangan itu jika mereka teringat olehnya. Shou yang paling bersemangat dan tidak pernah kehabisan tenaga saat acara hanami, itulah Shou yang dulu.

Sekarang mereka menduga saat ini Shou memiliki caranya sendiri untuk menghormati sang sakura, yaitu duduk diam seperti orang bodoh di tengah malam.

“Sudahlah, kalian pergi saja.” kata Shou cuek seperti ia mengusir mereka semua. “Aku masih ingin berada disini. Pokoknya nanti kalian jemput saja aku.”

“Kau yakin? Disini sudah mulai sepi. Kau tidak takut itu akan membahayakan keselamatanmu?” Juri mendekati Shou dengan raut khawatir di wajahnya.

“Saat ini tingkat kriminalitas di Tokyo sedang menurun.” Kata Shou sok tahu. “Toh aku hanya membawa sedikit uang. Pergi sana!”

Jika Shou sudah bernada tinggi, itu berarti keputusan Shou tidak bisa diganggu gugat lagi. Dengan berat hati mereka pun percaya pada Shou dengan apapun yang akan dilakukannya disini saat sendirian tidak akan membahayakan dirinya. Usai berberes, mereka pun pergi.

Setelah memastikan mereka semua pergi, Shou berdiri. Suasana sunyi, sayup-sayup terdengar suara hingar bingar kota Tokyo yang tidak pernah tidur. Udara masih tetap segar dan berhawa dingin. Shou melihat ke atasnya, angin bertiup sehingga cabang-cabang pohon sakura pun turut bergoyang. Disaat itulah Shou melihat kerapuhan bunga sakura, khawatir mereka akan rontok dari tempat asalnya dan jatuh ke bumi.

Hanya di tempat inilah Shou mendapatkan ketenangan. Hanya disinilah Shou sanggup melupakan seluruh keresahannya, lupa bahwa dia memiliki kehidupan. Kalau bisa, Shou ingin terus berada disini saja.

Empat tahun ini Shou belajar bahwa sesuatu yang sangat indah itu pasti semu atau tidak abadi bahkan tidak akan pernah ia miliki. Dia juga memahami bahwa ia selalu menginginkan sesuatu yang tidak akan pernah ia miliki, memiliki sesuatu yang tidak akan pernah ia inginkan, membutuhkan sesuatu yang tidak akan pernah dibutuhkannya, dan tidak pernah menggunakan sesuatu yang ia dapatkan.

Namun tidak ada salahnya dia berharap, bukan? Meski itu tetap menyakitkan dan sia-sia. Walau teman-temannya memintanya pergi, tapi mereka tidak pernah bertanya apa yang sebenarnya Shou lakukan disini dan siapa yang benar-benar ia nantikan.

Tidak ada salahnya ia berkhayal akan kedatangan orang itu, berharap wanita itu akan mengejek kekonyolannya lagi, duduk sendirian di tengah taman yang sunyi dan gelap.

Shou menatap cahaya bulan yang terpantul di permukaan danau. Inilah pemandangan terindah, bahkan Hiroto pun tidak mungkin mendapatkannya dengan kameranya.

Sambil menyenandungkan lagunya sendiri, Shou mendapatkan sebuah ide tergila yang tercipta dari khayalannya akan kedatangan wanita itu. Wanita idamannya sejak 4 tahun lalu, yang mengubah hidupnya, mengombang-ambingkan perasaannya, dan memutar balikkan dunianya.

Shou menaruh kakinya di batang sakura yang kokoh. Perlahan ia mulai memanjat dan menapaki batangnya satu per satu. Shou merasa takjub dia masih bisa melakukannya setelah hampir 6 tahun ia tidak pernah melakukannya lagi. Ia tersenyum senang, biarlah petugas taman memergokinya lagi, ini adalah kesenangan yang tidak akan pernah didapatkan oleh penduduk Tokyo mana pun.

Ia berhenti di salah satu cabang yang dikiranya kokoh untuk menahan tubuhnya. Ia pun duduk disana, puas ia bisa meraih bunga-bunga sakura dengan ujung jemarinya, menyenandungkan tembang Sakura, dan menikmati pemandangan taman dari atas.

Tidak peduli akan hawa dingin yang menerpa tubuhnya, ia terus berada disana dan tidak akan pernah ingin turun lagi.

Shou pun kembali tenggelam di pikirannya. Dia tahu harapannya jelas tidak mungkin terwujud. Berkat dorongan teman-temannya dan sedikit ceramah psikologi dari Juri, perlahan Shou mulai menerima kenyataan. Dia mulai menerima sesuatu yang bisa diraihnya, perlahan sesuai saran mereka semua dia mulai memikirkan sosok Yoriko.

Sedikit konyol juga saat Shou memikirkannya, secara tidak langsung ia meminta gadis itu datang ke acara hanami. Sama seperti Nao yang tadi terus memandang sekitar mengharapkan kedatangan gadis gotik itu, Shou juga mengharapkan hal sama di dalam hatinya. Itulah sebabnya dia terus diam selama acara berlangsung, dia merasa semuanya tidak akan sama tanpa kehadiran Yoriko.

Mungkin dia terus bertahan disini layaknya orang idiot karena dia masih mengharapkan kedatangannya. Gadis itu tidak datang, itu berarti dia mengharapkan hal mustahil juga.

Menyadari itu, Shou tertunduk sedih. Mungkin memang seharusnya dia pulang bersama yang lain.

Tetapi nampaknya malam ini takdir berkata lain. Takdir yang tidak pernah Shou percayai kali ini menunjukkan keajaibannya. Saat ia mendengar suara seorang gadis yang sangat dikenalinya dari bawah pohon memanggil namanya.

“Shou? Apakah itu kau?” panggil Yoriko dengan suara tertahan.

Shou melihat ke bawah, menahan untuk tidak mengusap matanya, memastikan ia tidak mengantuk atau berkhayal gadis itu ada disana. Terlebih lagi Yoriko memakai dress gotik berwarna merah seperti mawar, berkuncir dua dan riasan wajahnya terlihat lebih cerah dari biasanya, di tangannya terdapat kantung berisi buah-buahan.

“Sebaiknya kau turun, Shou. Nanti kau jatuh.” Yoriko memberi nasihat. Tetapi meski dari jauh, Shou melihat ada sedikit rasa takut di mata Yoriko, rasa takut akan sesuatu.

“Tenang saja, aku sudah ahli dalam memanjat seperti ini.” jawab Shou sekenanya, memastikan dengan sikap dinginnya bahwa Yoriko di bawahnya benar-benar Yoriko. Sekarang begitu sang gadis datang, Shou malah tidak tahu harus berbuat apa.

“Shou percayalah, padaku. Turunlah... pohon sakura tidak sekuat yang kau kira.” pinta Yoriko pelan. Pelan tetapi penuh keyakinan, seolah Yoriko pernah berada di posisi Shou, memanjat pohon sakura di malam hari.

Shou berdecak kesal. Tidak ada siapapun yang bisa menurunkannya dari pohon ini kecuali kalau ia mau.

“Memangnya kenapa? Seperti kau pernah memanjat sakura saja...” tantang Shou.

Sekali lagi Yoriko berkata, “Percayalah padaku, Shou. Aku tahu rasanya...”

“Kalau kau tahu rasanya, kenapa kau tidak memanjat saja kesini? Kalau kau hanya ingin menyuruhku turun lebih baik kau pergi saja.” Shou menantang Yoriko sekali lagi.

Lalu gadis itu melakukan sesuatu yang tidak pernah Shou sangka akan dilakukan olehnya. Yoriko menapakkan kakinya di batang pohon, perlahan tapi pasti memanjatinya. Melawan rasa ketakutannya supaya bisa memenuhi permintaan Shou atas kehadirannya.

 ***

Yoriko mengecek handphonenya, 30 panggilan tidak terjawab dan 15 e-mail dari Juri, Nao, dan Tora, bertanya kapan Yoriko datang ke acara hanami mereka. Mereka sudah memberitahu lokasinya, di taman Yoyogi, tepat di bawah pohon sakura di depan sebuah danau kecil. Nao bahkan terlalu mendetil, dia sampai memberitahukan warna karpet yang mereka gunakan supaya Yoriko bisa mengenali mereka dengan mudah disana.

Sejak pagi Yoriko sudah gelisah, ingat hari inilah acaranya. Ingin sekali ia mengabaikannya, tetapi tidak bisa. Sebagian dari mereka telah memberikannya kehidupan dan bantuan supaya dia bisa memertahankan apartemen tempat tinggalnya ini, salah satu dari mereka adalah sahabat barunya, dan salah seorang lagi... adalah orang yang paling membuatnya bingung dia harus datang atau tidak.

Yoriko sengaja melupakan semua itu dengan membersihkan kandang hewan-hewan di petshop, memberi mereka makan, mengganti air seluruh akuarium, menulis, mendengarkan musik namun tidak berhasil. Satu-satunya alasan yang ia berikan hanyalah bekerja di petshop sedangkan mereka tahu Yoriko bekerja sampai sore saja. Nao hampir saja menuju kemari untuk menjemputnya kalau Yoriko tidak mencegahnya lewat e-mail tadi. Supaya mereka diam, Yoriko berkata ia akan datang tapi tidak tahu kapan.

Sekarang Yoriko semakin tidak enak hati. Bisa jadi mereka menunggunya sekarang.

“Ada apa, Yoriko-chan? Kenapa kau terlihat gelisah?” Avaron yang hari ini ada di petshop menghampirinya di meja kasir.

“Ti... tidak ada apa-apa, Avaron-san.” Jawab Yoriko bohong. Demi mengalihkan pembicaraan, Yoriko memerhatikan kedua tangan Avaron yang basah dan berkerut di jemarinya. “Anda baru saja melakukan apa?”

“Aku baru membersihkan toilet.” jawab Avaron enteng.

“Ya ampun, Avaron-san! Kenapa anda tidak beritahu aku? Aku bisa melakukannya!” Yoriko kaget mendengar atasannya membersihkan toilet sedangkan dirinya diam saja di meja kasir.

“Ah, tenang saja.” Avaron mengibaskan tangannya. “Aku sudah melakukannya selama 4 tahun sejak toko ini berdiri. Rasanya tugas ini sudah menjadi hal favoritku.”

“Lain kali bilang saja padaku, nanti kubersihkan, Avaron-san.” Ujar Yoriko.

“Baiklah, sudah cukup kau mengalihkan pembicaraan.” Potong Avaron. “Kenapa kau gelisah? Kalau tidak salah, hari ini kau harus pergi ke acara hanami, bukan? Kenapa kau tidak pulang dan bersiap-siap?”

“Giliran kerjaku belum selesai, Avaron-san.” Jawab Yoriko. “Aku tidak ingin meninggalkan anda sendirian disini...”

“Justru karena kau ada acara hari ini aku sengaja datang kemari supaya bisa menggantikanmu. Jangan sampai kau ketinggalan acara itu. Kau pasti menyesal. Mereka teman-temanmu juga, kan?” kata Avaron.

Yoriko diam dan tersenyum. Betapa beruntungnya dia memiliki atasan seperti wanita di depannya ini. Yoriko tidak akan bisa membayar seluruh kebaikan yang Avaron berikan padanya. Tidak akan pernah bisa.

“Kenapa, Avaron-san? Anda memperkerjakanku supaya anda terbantu. Kenapa anda begitu saja membiarkanku pergi bersenang-senang sedangkan anda sibuk disini?” tanya Yoriko.

“Hasil kerjamu memuaskan. Itulah caraku menghargai karyawanku. Bagaimanapun juga, ini adalah petshop milikku, yang kudirikan dengan usahaku sendiri. Aku tidak akan pernah mengabaikannya lalu menyuruh orang lain mengurusnya. Itu sama saja seperti kau memiliki anjing peliharaan tapi kau menyuruh ibumu memberi dia makan. Lagipula masih ada Aya yang akan datang satu jam lagi. Aku masih bisa bertahan sampai satu jam ke depan, Yoriko-chan.” Avaron menjawab lembut, selembut seorang ibu berbicara kepada anaknya.

“Aku ingin datang ke acara itu. Sungguh, aku ingin datang...” kata Yoriko dengan mimik sedih dan kebingungan.

“Lalu, apa yang menahanmu?”

“Sesuatu dari masa laluku. Sulit sekali melupakannya...” Yoriko kembali gelisah dan terlihat jelas saat dia menundukkan kepala dan meremas kedua tangannya.

“Lalu, apa yang membuatmu ingin sekali datang?” Avaron bertanya lagi. Kali ini dengan nada memancing, supaya Yoriko bisa memberikan jawaban sebenarnya.

“Mereka teman-temanku.” Yoriko menjawab pelan.

“Mereka hanya teman-temanmu. Kau tinggal mengirim e-mail tidak bisa datang karena sesuatu. Itu sudah cukup, bukan?” Pancing Avaron lagi. Gadis gotik ini tidak akan pernah membuatnya bosan karena kemisteriusannya.

“Tidak bisa. Mereka selalu baik padaku!” sahut Yoriko. Avaron tersenyum, bukan Yoriko namanya kalau dia tidak pernah mengingat kebaikan orang lain. Karena itulah Avaron dengan senang hati memberinya pekerjaan.

“Lagipula...” Yoriko hampir saja menyebut nama Shou, alasan terkuat mengapa Yoriko ingin sekali datang. Jika kata hatinya benar, mungkin Shou juga menunggunya disana, walau Shou tidak mengiriminya e-mail atau meneleponnya. Itu berarti Shou sangat menanti dirinya hingga tidak ingin menghubungi Yoriko karena takut Yoriko akan menolak.

“Shou, bukan?” atasannya menebak seolah ia membaca pikiran Yoriko.

“Kenapa anda bisa berpikiran begitu?” Yoriko menyatukan alisnya.

“Aku selalu mengikuti kisah cinta kalian berdua.” jawab Avaron bercanda, menggoda Yoriko sampai pipi gadis itu memerah seperti tomat.

“Entah kenapa aku merasa dia menungguku... walau ia tidak bilang secara langsung.” Kata Yoriko setengah berbisik.

“Baguslah, itu berarti kau sudah mulai memahami dirinya dan bahasanya.” Avaron memberi semangat. “Kalau itu alasan sebenarnya kau ingin datang, maka pergilah, Yoriko. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali...”

“Tapi aku pasti akan sangat mencolok disana! Anda lihat kan penampilanku sehari-hari? Mana ada orang Jepang pergi ke acara hanami dengan berpakaian seperti ingin ke acara pemakaman?” Yoriko menunjuk dirinya dari atas sampai bawah.

Avaron menahan tawa. Dia memang sedikit merasa aneh dengan penampilan Yoriko saat pertama mereka bertemu. Namun itulah jati diri Yoriko. Yoriko terlihat cantik dan nyaman dengan gaya berpakaian itu. Itulah yang membedakannya dari yang lain. Banyak pembeli yang berlangganan di petshop ini karena tertarik pada karyawannya yang berpenampilan seperti malaikat kematian namun sangat menyayangi hewan peliharaan. Sampai sekarang Avaron masih penasaran apa Yoriko tahu soal itu.

“Kalau begitu, pulanglah. Cari sesuatu yang bagus dari peti matimu. Aku sarankan kau memakai riasan wajah bernuansa merah muda supaya kau terlihat lebih cerah.” Avaron memberi saran supaya Yoriko tidak bingung lagi.

“Tapi, Avaron-san...” Yoriko hendak protes, tapi Avaron mendahuluinya.

“Tidak ada alasan lagi. Sore ini aku tidak ingin melihatmu di tempat ini. Pergilah dan bersiap-siap.” Avaron menarik Yoriko keluar dari meja kasir.

“Tapi, Avaron-san...” Yoriko masih ingin protes. Kali ini Avaron menyuruhnya diam sementara ia pergi ke belakang untuk mengambil tas Yoriko. Kemudian dia membuka pintu petshop selebar mungkin dan menyuruh Yoriko keluar.

“Pergilah. Cinta sejati tidak bisa menunggu.” Kata Avaron tersenyum lebar dan mengedipkan matanya genit. “Bisa jadi ini malam keberuntunganmu.”

Dengan pasrah Yoriko mengambil tasnya dari tangan Avaron dan keluar. Sebelum ia pergi, Yoriko bertanya pada Avaron. “Bila firasatku salah? Bagaimana kalau Shou tidak benar-benar menungguku?”

“Kalau begitu, kau boleh menyerah. Yang terpenting adalah kau sudah mencoba. Tidak ada ruginya, kan?” jawab Avaron. “Kecuali kalau dia menyakitimu, panggil saja aku dan Aya. Kita berdua akan menghajarnya.”

Yoriko tergelak. “Tidak usah repot-repot, Avaron-san. Terima kasih...”

“Aku percaya kau pasti bisa, Yoriko-chan. Kau gadis baik, pria manapun pasti gila bila mereka tidak menyukaimu.”

Pujian Avaron tadi baru saja membangkitkan semangat Yoriko.

*** 

Sesampainya di apartemen, Yoriko langsung mengacak-acak peti matinya. Mencari sesuatu yang pantas dikenakan ke acara hanami. Jam dinding apartemen Yoriko serasa berdetak sangat cepat. Waktu menunjukkan pukul 5 sore saat Yoriko mencoba dress pertamanya. Sebuah dress musim panas warna hitam, berkerah sabrina, dan tidak terlalu seram untuk digunakan ke acara hanami. Namun dia tidak terlalu cocok dengan pakaian itu.

Lalu dia mengambil dress keduanya. Panjangnya selutut dan bergaya victorian, dengan renda-renda dan detil satin di bagian roknya. Nampak elegan dan anggun untuk dilihat. Tetapi Yoriko merasa tidak cocok lagi. Dia akan menghabiskan waktunya di luar ruangan, duduk di karpet sambil memakan kue, dress ini akan terlihat sangat mencolok.

Kali ini Yoriko mencoba mengambil sebuah kemeja putih dan rok pencil hitam bernuansa victorian. Yoriko bisa menggabungkannya dengan sepatu pantofel atau sepatu sol tebalnya. Tetapi ia berpikir lagi, ini seperti ia akan pergi melamar pekerjaan. Lebih parah daripada itu.

Yoriko tidak bisa memutuskan memakai t-shirt bergambar karakter favoritnya dan celana gombrong, karena akan terkesan seperti dia enggan datang ke acara hanami. Orang Jepang selalu berpenampilan rapi dan rupawan pada acara hanami.

Yoriko pun lemas. Dia tidak memiliki pakaian yang memberikan kesan seperti itu. Ia mengabaikan dress bermotif tengkorak favoritnya, dress bergaya steam punknya juga mengalami nasib sama. Begitu juga dengan jumper dress hitamnya yang bermotif kotak-kotak putih.

Yoriko sampai berpikir apa sebaiknya dia mengenakan dress yang biasa ia gunakan ke gereja? Baru sekarang dia menyadari selera modenya ternyata sangat payah.

Yoriko pun membereskan seluruh dressnya yang dikeluarkan dari peti matinya. Saat ia mulai memasukkan satu per satu dressnya, ia menemukan sebuah kotak besar di sudut peti matinya. Kotak besar berwarna hitam yang mulai dilupakan oleh Yoriko. Yoriko mengambil kotak itu untuk mengingat isinya.

Satu set lolita dress dengan sepatu wedge. Keduanya berwarna merah yang pantas untuk dikenakan di acara hanami. Semerah mawar yang hampir layu untuk menyambut dan berpamitan pada sang sakura, tapi juga tetap bernuansa gotik agar tidak menghilangkan ciri khas Yoriko.

Yoriko tidak pernah memakai dress ini karena saat memesannya di internet, Yoriko memilih warna hitam. Ternyata tanpa sengaja ia salah memilih pilihan warna saat pemesanan. Sangat kecewa ketika ia menerima kiriman dress itu dan ia memutuskannya untuk disimpan saja.

Namun sekarang ia memutuskan untuk memakai dress itu saat ia mencobanya. Ia menguncir dua rambutnya dan mulai merias wajahnya. Ia menyapukan eyeshadow cokelat muda yang belum pernah ia gunakan secara tipis-tipis di kelopak matanya. Tidak lupa sedikit perona pipi dan polesan lipstik warna merah muda.

Yoriko memandangi dirinya cukup lama di depan cermin. Riasan wajah ini membuatnya terlihat sangat berbeda. Selama ini dia menganggap dirinya jelek dan merias wajahnya dengan nuansa gotik untuk menutupinya. Namun ia salah, ia terlihat lebih segar dan manis dari sebelumnya.

Berkat itu kepercayaan dirinya meningkat. Ia pun bergegas mengambil sepatunya dan keluar dari apartemen. Saat keluar dia terkejut. Hari sudah gelap dan waktu kini menunjukkan pukul 9 malam.

Selama itukah ia berdandan?

Yoriko pergi ke supermarket terdekat untuk membeli buah-buahan sebagai buah tangan. Dalam hatinya ia takut apakah teman-temannya sudah menganggap Yoriko tidak datang dan pergi. Dia bodoh sekali, kenapa ia membutuhkan waktu lama sekali hanya untuk mencari pakaian yang cocok berdandan?

Tetapi demi janjinya Yoriko memutuskan untuk terus berjalan. Mengikuti kata hatinya Yoriko terus melangkah. Rasa optimisnya yang berpikir mereka masih menunggunya tetap membuatnya bersemangat. Jika mereka masih ada disana, syukurlah. Jika tidak, tidak apa-apa. Setidaknya Yoriko sudah berusaha.

Taman Yoyogi hampir ditutup saat Yoriko memasukinya. Dengan alasan ia tidak akan lama, Yoriko berhasil meyakinkan petugas taman. Suasana taman sangat sunyi, menandakan orang-orang sudah pulang dari hanami. Angin malam berdesir menerpa wajah Yoriko, ia merasa angin itu seperti mengucapkan selamat tinggal pada sakura yang akan gugur malam ini. Sebagai seorang gadis gotik, Ia tidak merasa takut pada kegelapan taman yang menyelimuti. Ia terus berjalan menuju tempat yang diberitahu Nao, di bawah pohon sakura di depan danau kecil. Semakin ia mendekat ke arah yang dituju, Yoriko semakin yakin mereka semua sudah pulang. Dan ternyata benar, tidak ada siapapun lagi disana. Semuanya sudah pergi.

Yoriko berdiri diam sejenak. Melihat pohon sakura besar di depannya. Sudah lama sekali ia tidak melihatnya, ia hampir lupa akan keindahannya. Seluruh tubuhnya gemetaran saat sang sakura seperti menyapanya dengan menunjukkan keagungan sekaligus kerapuhannya, bertanya kenapa lama sekali Yoriko tidak mengunjunginya.

Perlahan Yoriko berbisik. Dengan penuh rasa penyesalan karena terlalu mementingkan ego dan membiarkan rasa ketakutannya menang ia berkata, “Maafkan aku...”

Kali ini sang sakura memberikan jawaban atas permintaan maafnya. Sang sakura yang bersinar di bawah cahaya bulan memperlihatkan sebuah bayangan di antara cabang-cabang pohonnya. Seorang sosok yang dirasa mustahil bisa berada disana, duduk diam menghadap danau. Hanya ia dan sang sakuralah yang sepertinya tahu apa yang ada di pikirannya.

Untuk memastikan itu bukanlah sekadar khayalannya, Yoriko berjalan mendekat. Matanya melebar saat melihat orang itu nyata. Semakin terasa nyata saat Yoriko memanggil namanya.

“Shou? Apakah itu kau?”

*** 

Hanya ada kecanggungan di antara mereka saat Yoriko berhasil meraih cabang pohon dan duduk di sebelah Shou. Walau berat badan Yoriko dan Shou masih bisa membuat cabang itu bertahan, hanya tinggal masalah waktu sampai cabang itu berderak patah dan membuat mereka jatuh ke tanah.

Namun itulah yang membuat mereka berdebar. Mereka berdua tidak bisa menduga apa yang akan terjadi bila itu benar-benar menjadi nyata.

Yoriko menaruh bungkus buah-buahan yang dibawanya di antara mereka. Ia membuka bungkusan itu dan mengeluarkan sebuah jeruk. Ia menawarkannya pada Shou, “Kau mau?”

“Tidak, terima kasih.” Jawab Shou sungkan. Kenapa gadis ini sama sekali tidak kaget atau apa? Shou memanjat pohon sakura di taman kota malam-malam. Semua orang pasti akan mempertanyakan kewarasannya.

Karena penasaran setengah mati, Shou akhirnya bertanya juga. “Kau tidak kaget tiba-tiba menemukan aku bertengger disini? Kau tidak berpikir aku gila atau semacamnya?”

Yoriko memandang Shou. “Kau juga tidak berpikir aku sama gilanya sepertimu dengan mengikutimu memanjat pohon ini?”

Shou tertawa. Ternyata mereka sama gilanya. “Nao tadi menantimu. Kau tidak kunjung datang. Kenapa?”

Lucu sekali. Ucapan Shou barusan malah terdengar seperti Shou yang menanti dirinya. “Maaf, aku...”

“Tidak usah dijelaskan.” Potong Shou. “Yang penting kau datang. Yah, walau kau sedikit terlambat...”

Yoriko tersenyum lembut. “Kenapa kau tidak ikut pulang bersama yang lain?”

“Entahlah...” Shou mendongak dan melihat sekumpulan bunga sakura yang rindang di atas mereka. “Kurasa aku ingin berpamitan dengan mereka lebih dulu...”

“Karena ini hari terakhir mereka berada disini tahun ini? Sebesar itukah rasa kagummu pada bunga sakura?” Yoriko takjub.

“Sejak kecil aku menyukai bunga sakura. Keluargaku bahkan menanam pohonnya sebesar ini di halaman rumah supaya kami tidak usah berdesak-desakan di taman kota saat hanami.” Shou bercerita. “Ibuku berkata sakura memiliki banyak arti. Sebuah simbol musim semi, kesederhanaan, kepolosan...”

“Dan kematian...” Yoriko melanjutkan. Mereka pun hening sejenak.

“Oh ya, itu kan kata favoritmu.” Kata Shou sedikit sarkastik, tidak pernah tahu sakura juga memiliki arti semenyakitkan itu.

“Kau pernah membaca sejarah tentang perang di Teluk Leyte, Filipina? Saat itu ada argumen di pihak Jepang tentang meluncurkan pesawat dan kapal perang medan perang, dimana akan menyebabkan bahaya besar jika mereka tetap melakukannya. Para pilot melukis sisi pesawat mereka dengan gambar sakura sebelum meluncur ke misi bunuh diri itu, ada juga yang bahkan membawa cabang pohon sakura bersama mereka saat menjalankan misi. Mereka pun beranggapan bahwa kelopak sakura yang gugur melambangkan pengorbanan para tentara yang gugur di misi itu demi rasa hormat mereka pada sang Kaisar. Pemerintah juga mendorong para rakyat untuk percaya bahwa jiwa mereka yang telah gugur akan berreinkarnasi di dalam bunga itu...” cerita Yoriko.

Shou sekarang merasa bersalah karena saat masih sekolah dia kurang memerhatikan pelajaran sejarah Jepang.

“Setiap orang Jepang pasti punya kenangan tersendiri tentang bunga sakura, aku yakin itu.” balas Shou. “Makanya acara hanami menjadi tradisi, bukan?”

Sebelum Yoriko berucap, Shou menahannya lebih dulu, “Dan jangan cerita padaku soal sejarah hanami. Aku jadi merasa seperti orang bodoh disini.”

Yoriko terkikik. “Baiklah, kau memang benar soal itu. Setiap orang juga pasti akan kagum saat mereka melihat sakura secara langsung.”

“Masa?” Lirik Shou. “Nampaknya hanya kau yang tidak termasuk. Kenapa?”

“Kenapa memangnya? Itu urusanku, seperti yang kau bilang kemarin. Kau tidak perlu tahu.” Yoriko memalingkan wajahnya.

“Kemarin kau berkata dengan lantang tidak akan datang kemari karena benci sakura. Tapi sekarang kau malah duduk di sini bersamaku menceramahiku tentang sakura bagi sejarah Jepang. Siapapun akan penasaran dengan sikapmu, Yoriko.”

Yoriko kaget. Seingatnya, ini adalah pertama kalinya Shou menyebut namanya. “Kau benar-benar ingin tahu? Kenapa? Kau tidak seperti Shou yang kukenal, tidak pernah peduli pada orang lain kecuali dirimu sendiri.”

“Memangnya aku seburuk itu?” sela Shou. “Menurutmu aku seburuk itu?”

Yoriko terkesiap. Tidak berpikir Shou akan bereaksi seperti itu. Terlihat jelas di rasa bersalah di wajah Shou bila Yoriko menjawab ya, namun Yoriko pasti berbohong jika menjawab tidak. “Sejujurnya ya, aku menganggapmu begitu. Tapi aku tidak pernah tahu alasannya.”

“Dulu aku tidak seperti itu, kau tahu?” dari cara Shou mengucapkannya, dia ingin sekali meyakinkan Yoriko bahwa dulu ia tidak seperti itu. “Aku bahkan dianggap terlalu ikut campur urusan orang lain karena aku terlalu peduli.”

“Jadi, karena itukah kau berubah menjadi tidak peduli?”

Shou berpura-pura berpikir, “Bagaimana kalau begini? Aku akan memberitahu jawabannya kalau kau bercerita terus terang padaku mengapa kau benci sakura?”

Yoriko tertawa kering, “Belum cukup adil bagiku. Teman-teman satu bandmu mungkin tahu penyebab masalah kepribadianmu. Tapi aku, tidak ada satupun yang pernah mendengar ceritaku.”

“Mereka mungkin tahu penyebabnya, tapi mereka belum mendengar cerita sebenarnya. Lagipula disini hanya ada aku dan sakura. Rahasiamu aman bersama kami.” Shou meyakinkan Yoriko dengan senyuman khas yang tidak pernah ia perlihatkan lagi selama 4 tahun.

“Oh, baiklah. Toh kau juga akan menertawakannya nanti...” Yoriko menyerah dan mulai bercerita. “Kau pasti tahu aku dari panti asuhan, bukan?”

Shou mengangguk. Seorang gadis cilik tangguh yang berhasil bertahan dari kejamnya dunia dengan menjadi seorang seniman. Itu bisa menjadi cerita yang bagus.

“Saat itu aku masih berumur 8 tahun. Di halaman belakang panti asuhanku, ada sebuah pohon sakura besar ditanam di sudut pekarangan. Patut kuberitahu halaman itu selalu menjadi tempat bermain anak-anak panti asuhan setiap sore. Saat musim semi tiba dan sakura mulai bermekaran, semua anak mengaguminya.” Kata Yoriko.

Yoriko bukanlah salah satu anak yang suka bermain di halaman belakang setiap sore. Entah karena keanehannya atau ketidak mampuannya dalam bergaul, Yoriko dikucilkan dari teman-temannya. Kepolosan Yoriko sering menjadi bahan lelucon anak-anak yang lebih tua darinya, karena Yoriko lebih suka membaca buku dan membicarakan tentang dongeng-dongeng ia malah dianggap aneh dan diejek, rambut Yoriko yang dulunya panjang sering ditarik oleh teman-temannya, kaki Yoriko disandung dengan sengaja oleh mereka saat makan malam sampai makanan yang Yoriko bawa tumpah.

Yoriko terhipnotis keindahan bunga sakura itu dari jendela perpustakaan. Ia segera berlari keluar, ingin melihat lebih dekat bunga itu. Ia ingin sekali memetik satu bunga itu supaya ia bisa menyimpannya di balik tempat tidurnya. Karena terlalu tinggi untuk diraih, Yoriko nekat memanjati pohon itu.

Anak-anak yang menyaksikan aksi Yoriko, menyuruhnya turun dan mengejeknya lagi. Mereka melempari Yoriko batu supaya Yoriko turun. Namun Yoriko tidak peduli. Yoriko terus memanjat dan ketika ia sampai di cabang terdekat, dia bergerak ke cabang itu dan meraih tangannya untuk memetik bunganya.

“Sayangnya sakura tidak berpihak padaku. Karena cabang itu tidak sanggup menahan beban tubuhku, cabang itu pun berderak dan patah. Membuatku jatuh ke tanah bersamanya...” ujar Yoriko pelan. Hatinya masih sedikit sakit mengingat kejadian itu. “Teman-temanku menertawaiku, membiarkanku begitu saja terbaring menangis di tanah.”

“Tidak ada satupun dari mereka menolongmu?” tanya Shou terkejut dan kesal. Ia pun semakin kesal saat Yoriko menggelengkan kepala.

“Aku menderita patah tulang di tangan kiriku. Tidak itu saja, orang-orang panti asuhan menghukumku karena telah merusak pohon sakura itu. Gara-gara itu aku semakin diasingkan, tidak hanya teman-teman yang menganggapku aneh semenjak itu, para pengurus pun berpikiran sama.” Yoriko melanjutkan ceritanya.

“Mereka sudah bosan mengurus kami, kurasa. Mengurus banyak anak nakal adalah pekerjaan yang tidak mudah. Aku bisa memahami itu.”

Shou terkesima. Masa kecil Yoriko ternyata tidak jauh berbeda darinya. Demi meraih keinginan kecilnya, gadis ini mendapatkan patah tulang. Dia jadi sedikit menyesal karena selama ini selalu memberontak dari orang tuanya karena hal yang mungkin dianggap kecil bagi Yoriko.

“Membutuhkan waktu sekitar 10 tahun lebih untukku menertawakan kejadian itu bila aku teringat. Mereka benar, aku memang aneh...” Yoriko hanya mengangkat bahu. “Oke, sekarang giliranmu. Kau harus menepati janjimu.”

Shou tertawa pasrah. Ia beringsut ke arah Yoriko seakan dia ingin Yoriko saja yang mendengar ceritanya. Ia pun mulai bercerita tentang segalanya yang mengganjal di hatinya selama 4 tahun ini. “Aku mencintai orang yang salah.”

Dalam sekejap Yoriko diam mendengar pernyataan Shou. Meski Yoriko sudah tahu siapa yang Shou maksud, ia ingin mendengar secara langsung curahan hati Shou dari hatinya yang sudah tertutup selama 4 tahun.

“Mungkin setelah ini kau akan menyebutku pengecut atau menyedihkan, tapi tidak masalah.” Ucap Shou sebelum memulai ceritanya. “Empat tahun lalu, tidak kuduga aku akan jatuh cinta pada wanita ini. Dia cerewet, menyebalkan, selalu membuatku ingin membenturkan kepalaku ke dinding karena sikapnya yang terlalu serius. Tapi aku tidak bisa menolaknya, pada akhirnya aku menyukainya juga.”

Sayangnya, wanita itu sudah dimiliki orang lain. Tentu saja wanita itu hanya menganggapnya salah satu sahabatnya dan dia tidak bisa menerima Shou. Walau pria yang memilikinya mempunyai banyak kesalahan, wanita itu selalu memaafkannya dan tidak pernah mengkhianatinya.

“Anehnya, justru karena itulah aku semakin mencintainya. Karena dia tidak pernah berkhianat pada pria itu. Aku berusaha melupakannya dengan berkonsentrasi pada bandku yang mulai memasuki manajemen rekaman. Lucunya yang membantuku memasuki manajemen itu adalah dia, sebagai permintaan maafnya terhadapku.” Kata Shou setengah kebingungan. “Maksudku, kesuksesan bandku tentu saja adalah keinginan utamaku. Tapi aku tidak menyangka prosesnya bisa seaneh itu...”

Yoriko paham. Sedingin dan sekejam apapun manusia, anehnya dia pasti pernah merasakan jatuh cinta seperti ini. Cinta tidak terbalaskan atau cinta yang terluka, yang membuat mereka menutup hati supaya tidak merasakan rasa sakit itu lagi.

“Kalau kau ingin tahu siapa wanita itu, kau mengenalnya. Dia atasanmu, Avaron Yutaka.” Akhirnya Shou bisa menyebutkan nama Avaron dengan nama belakang barunya.

“Oh...” Yoriko berpura-pura kaget. “Lalu... sekarang apa kau masih mencintainya?”

“Sebagian kecil diriku masih mencintainya. Tapi aku harus melupakannya, bukan? Sayangnya sulit untuk dilakukan, mengingat terkadang dia masih berada di dekatku dan terus memberikan kebaikannya padaku.” Imbuh Shou. “Dia membuatku kacau.”

Yoriko tidak mampu berkata apapun. Shou pasti tidak pernah selancar ini membicarakan masalahnya di depan orang lain termasuk teman-temannya. Yoriko tidak ingin salah kata bisa menghancurkan kepercayaan Shou terhadapnya.

“Sedikit lagi aku bisa meraihnya, kau tahu?” kata Shou bernada putus asa. “Sedikit lagi aku pasti bisa memilikinya. Tinggal sedikit lagi... sama seperti bunga sakura yang sedikit lagi bisa kau raih.”

Kembali keheningan mengisi kekosongan di antara mereka. Desir angin malam semakin kencang dan merasuki tulang. Yoriko merapatkan jubah yang menyelimuti tubuhnya dan butuh beberapa menit untuk akhirnya berkata, “Sepertinya kita harus turun...”

Shou tidak merespon ucapan Yoriko. Pikiran Shou kembali menerawang ke arah yang tidak menentu. Ternyata bukan hanya takdir yang membuat mereka duduk bersama di pohon ini, nasib mereka juga. Selama ini Shou berpikir dialah yang paling menderita, namun Yoriko pernah mengalami yang lebih menyakitkan. Gadis ini telah membuka lebar-lebar matanya.

Merasa diabaikan, Yoriko pun mendapat sebuah ide bagus. “Bagaimana kalau begini? Aku akan memetik salah satu bunga sakura sebagai bukti kalau sebenarnya kita bisa mendapatkan apa yang kita mau?”

“Huh? Maksudnya?” Shou menyipitkan matanya, tidak mengerti.

“Ya, kalau aku berhasil memetiknya, kau akan tenang karena artinya kau tahu kau bisa mendapatkan ‘sakura’mu!” Yoriko bergerak lebih jauh menuju cabang yang lebih rapuh untuk memetiknya.

“Jangan! Kau gila, ya? Nanti kau bisa jatuh!” Shou melarang Yoriko. Dia menarik tangan Yoriko agar gadis itu tidak bergerak lebih jauh lagi.

“Lepaskan aku, sedikit lagi aku bisa meraihnya!” Yoriko merentangkan tangan satunya lagi, sejengkal lagi Yoriko bisa meraih bunga sakura itu dan dia tidak akan melepaskan kesempatan itu.

Karena tarikan Shou dan Yoriko yang tidak mau diam, gadis itu akhirnya kehilangan keseimbangannya. Oleng, Yoriko pun jatuh, gadis itu menjerit ketakutan. Teringat bayang-bayang masa lalunya dimana jatuh dari pohon agung ini sangat menyakitkan, ia hampir menangis dan pasrah.

Tetapi sebuah tangan memegangi tangan Yoriko supaya tidak jatuh untuk kedua kalinya. Tangan yang sangat erat memeganginya, berjuang agar Yoriko tidak merasakan rasa sakit itu lagi.

“Bertahanlah, Yoriko...” kata Shou meringis. Sementara tangan kanannya memegangi tangan Yoriko, tangan kirinya memegangi batang pohon agar mereka bisa bertumpu. “Kau bisa kan memanjat lagi pelan-pelan?”

“Ti... tidak bisa! Aku tidak bisa!” jerit Yoriko panik. Ia mulai menangis. Sekarang terlihat jelas ketakutan di mata Yoriko atas traumanya. “Jangan coba-coba kau lepaskan tanganmu, Shou!”

“Aku tidak akan melepaskanmu tapi aku butuh kau untuk tetap tenang.” Shou meringis kesakitan karena kedua tangannya tidak akan mampu bertahan lama. “Kau bisa, Yoriko. Gunakan tanganmu yang satu lagi, raihlah cabang di depanmu. Kau pasti bisa.”

“Aku tidak bisa, Shou...” tangisan Yoriko semakin keras. “Kumohon, jangan lepaskan aku...”

Yoriko bisa mendengar tawa itu lagi. Tawa mengejek dari anak-anak yang tidak menyukainya, semakin keras Yoriko menangis semakin jelas tawa itu terdengar. Yoriko berusaha keras mengusir bayang-bayang itu.

“Kau tidak sendirian sekarang, Yoriko.” Suara Shou yang menenangkan kini membuat Yoriko perlahan berhenti menangis. “Kalau kau jatuh, aku pun jatuh. Kau tidak perlu takut.”

“Tapi...” Yoriko melihat ke bawah. Mereka ternyata cukup jauh dari tanah.

“Shh... tenanglah. Kalau aku berkata aku tidak akan melepaskanmu, aku bersungguh-sungguh.” Shou mencoba tersenyum. Walau tangannya terasa semakin sakit dan mulai kesemutan. Perlahan pegangan tangan mereka merenggang, kini Yoriko menggunakan kedua tangannya agar tidak bisa lepas dari Shou.

Tiba-tiba mereka mendengar suara cabang pohon berderak. Waktu mereka sudah habis.

“Sh... Shou...” kata Yoriko ketakutan. Ia menatap Shou lekat-lekat, mereka saling berpandangan. Yoriko mendapatkan sedikit keberanian dari mata Shou, mereka pasrah sekarang.

Cabang pohon itu akhirnya patah. Mereka pun jatuh ke tanah. Saat mereka berada di tanah, Yoriko menutup matanya. Rasanya memang tidak sesakit dulu, tapi apa yang akan terjadi jika ia membuka matanya? Disaat sama Yoriko merasakan seluruh tubuhnya dengan erat dipeluk seseorang. Orang itu berada di atas tubuhnya sekarang.

“Yoriko, kau tidak apa-apa?” ia mendengar Shou berbisik di telinganya. Berkat suara bisikan itu, Yoriko mau membuka matanya. Yang terlihat di depannya adalah wajah Shou yang tersenyum kepadanya.

Dengan suara bergetar, Yoriko menjawab, “Ya... aku tidak apa-apa... kurasa...”

“Sudah kubilang aku tidak akan membiarkanmu jatuh sendirian, kan?”

Shou benar. Padahal bisa saja tadi ia membiarkan Yoriko jatuh sendirian dan menertawakannya, tetapi Shou tidak melakukannya. Hampir saja Yoriko kembali menangis, menangis bahagia.

“Kau bisa saja membiarkanku jatuh sendirian... kenapa kau melakukannya?” tanya Yoriko lirih.

“Aku ingin membuktikannya kepadamu dan diriku sendiri, kalau kita bisa mengalahkan rasa takut jika kita hadapi bersama-sama.” Shou bangkit dan duduk di samping Yoriko. Ia menarik Yoriko untuk ikut bangun.

Mereka mengambil napas sejenak dan menenangkan diri. Menatap cabang sakura yang sudah patah di depan mereka. “Pohon ini milik kota. Mereka pasti akan memberi kita denda...” kata Yoriko.

Shou tertawa. Sempat saja Yoriko memikirkan hal itu. “Tapi hasilnya sepadan. Kau bisa melupakan traumamu itu, bukan?”

Yoriko diam dan berpikir. Ia tersenyum lebar. “Ya. Bagaimana denganmu?”

Shou memasang ekspresi cuek dan mengangkat bahunya. “Ya, kurasa... kurasa kita harus berterima kasih pada badan gemukmu yang berhasil membuat kita jatuh.”

Yoriko mulai kesal karena sifat asli Shou muncul. “Aku tidak gemuk!”

“Aaa... kebanyakan cewek pasti akan berkata begitu. Apalagi gaunmu yang menyebalkan itu semakin memberati tubuhmu saja.” Shou tetap mengejek Yoriko.

“Sudah kubilang aku tidak gemuk!” Yoriko memukul keras lengan Shou sampai pria itu menjerit kesakitan.

“Sial.” Shou mengusap lengannya. “Ini lebih sakit daripada jatuh dari pohon, tahu!”

“Aku tidak peduli.” Yoriko menirukan gaya bicara Shou dan menjulurkan lidahnya.

Shou hendak membalas Yoriko, tetapi suara petugas taman yang berteriak tidak jauh dari mereka membuat mereka berhenti. “Hei, siapa disana!? Apa kalian tidak tahu taman sudah tutup!?”

“Kalau petugas itu menemukan kita disini, kita pasti ditahan.” Kata Yoriko panik. “Kita harus bagaimana?”

“Kalau tidak salah, dia hanya bertugas sendirian malam ini. Jadi pintu taman tidak ada yang menjaga bila dia mencari kita. Satu-satunya cara kita adalah...” Shou dan Yoriko saling berpandangan dan memiliki satu pikiran.


“LARIIII!!!” seru mereka bersamaan. Shou memegangi tangan Yoriko dan berlari bersama dengan lepas dan bahagia dari sebelumnya. Gelak tawa mereka menggema di taman yang sunyi, sebagai tanda bahwa mereka telah meninggalkan seluruh beban mereka di sana.

Sunday, July 7, 2013

The Delusion (15)

15

“Apa yang sedang kau gambar, Yoriko-chan?” Hitomu tiba-tiba muncul dari belakang Yoriko yang sedang menggambar sesuatu di buku sketsanya.

Meski agak kaget karena kemunculan Hitomu, Yoriko menjawab. “Aku menggambar seseorang...”

Mereka berada di balkon apartemen Yoriko yang sempit. Yoriko sering menghabiskan waktunya di tempat ini sambil menggambar atau menulis. Walaupun balkon apartemen itu tidak sebagus milik apartemen Shou, pemandangan balkon milik Yoriko jauh lebih menarik. Menghadap ke sebuah taman kecil nan indah yang biasa dikunjungi oleh penghuni apartemen Yoriko. Taman itu cukup ramai di sore hari, dimana anak-anak kecil sering bermain sepeda, sepatu roda, petak umpet, bahkan hanya untuk duduk-duduk di bangku sambil menikmati es krim.

Yoriko yang masih menikmati masa cutinya lebih sering menghabiskan waktunya di apartemen untuk menulis atau menggambar seperti ini.

Hitomu duduk di lantai tepat di samping Yoriko. Dia melirik lagi gambar Yoriko. Seorang pria yang wajahnya tidak terlihat karena rambutnya yang unik sedang menatap sebuah pohon sakura yang berguguran bersama seekor kucing di sampingnya.

“Siapa dia?” tanya Hitomu lagi. “Jangan-jangan dia Shou?”

Yoriko membenarkan tebakan Hitomu. “Memangnya siapa lagi?”

Hitomu tersenyum karena benar. “Kenapa kau menggambar orang itu? Lalu, kenapa ada kucing juga disana?”

“Entahlah...” jawab Yoriko. “Saat aku menggambar kucing itu, gambar ini terasa benar saja. Seakan pria yang ada di gambar ini membutuhkan kucing itu sebagai temannya... Kau mengerti, kan?”

Hitomu mengangguk pelan. Dia memerhatikan lagi gambar Yoriko. Gambar itu terasa sangat sedih dan menyimpan banyak kegalauan disana. Shou yang ada di gambar itu terlihat kesepian dan tidak rela jika sakura itu gugur.

“Kenapa dia terlihat begitu sedih?” tanya Hitomu lagi.

Mendengar pertanyaan itu, Yoriko melihat lagi gambarnya. Memang benar, sosok yang Yoriko gambarkan terlihat sangat sedih dan kesepian karena suatu hal. “Aku juga tidak tahu... Aku hanya menggambarkan apa yang terakhir kali kuperhatikan darinya.”

“Aku melihat seorang pria yang tersesat, terombang-ambing di lautan manusia yang dia pikir dia mengenal mereka semua. Dia bisa saja berlayar ke tepi agar tidak termakan oleh badai, tapi...” Lidah Yoriko tertahan. Apa yang ia gambarkan tentang Shou barusan hampir sama dengan apa yang ia deskripsikan tentang Spencer Williams di novelnya.

Bersama Shou beberapa minggu ini ternyata juga mengombang-ambingkan dunia imajinasinya sendiri. Dimana dia harus bisa bertahan bahwa orang yang ditemuinya setiap hari bukanlah pria sempurna di dalam imajinasinya. Yoriko tidak bisa memaksa kehendaknya pada Shou sama seperti ia bisa menentukan takdir Spencer Williams di novelnya. Tidak, yang menentukan takdir Shou dan Yoriko di dunia ini adalah Tuhan, tetapi Yoriko masih bingung mengapa Tuhan menakdirkan mereka seperti itu.

Yoriko tidak tahu harus senang atau sedih saat bertemu dengan orang itu. Dia tidak tahu harus benci atau memasrahkan diri terperosok lebih dalam ke lubang imajinasinya setiap kali melihat Shou bertingkah seperti Spencer. Setiap kali Yoriko melihat kelakuan menjengkelkan Shou yang sebenarnya rapuh di baliknya, membuat perasaan Yoriko terhadap entah kepada salah satu dari mereka semakin dalam.

“Apakah salah terlalu lama hidup di dunia kita sendiri, Hitomu?” Pertanyaan Yoriko barusan seperti mengharapkan jawaban yang sungguh-sungguh dari Hitomu.

Membutuhkan waktu sejenak sebelum Hitomu menjawab, “Tidak, tidak ada yang salah. Mungkin dunia nyata akan menganggap kita aneh karena terlalu lama berdiam diri di dunia kita. Tidak ada yang salah dengan itu. Tetapi, menurutku, ada baiknya juga kalau kita bersosialisasi dengan mereka yang di dunia nyata untuk menjaga kewarasan kita.”

“Aku hampir jatuh cinta pada 2 orang pria disaat yang bersamaan karena terlalu lama hidup di duniaku...” Yoriko mengaku. Tangannya yang memegang pensil terus mengarsir gambar buatannya. “Biasanya aku selalu objektif dalam menulis. Aku nyaman hidup di duniaku sendiri. Aku selalu menulis karakterku dengan lancar karena mereka tidak memiliki hubungan denganku di dunia nyata. Namun sejak aku bertemu dengan Shou yang mirip sekali dengan Spencer...”

“Jatuh cinta? Apa kau yakin?” Hitomu memastikan. “Mungkin perasaan itu hanyalah rasa kagummu karena mereka memiliki sesuatu yang kau sukai?”

“Katakan padaku, apa menurutmu arti cinta dan apa yang akan orang lakukan jika ia sedang mencintai orang lain?” Yoriko bertanya.

Hitomu sedikit menertawakan pertanyaan Yoriko. “Kau seperti anak kecil yang baru belajar tentang cinta saja...”

“Tidak...” Yoriko menjawab. “Aku hanya ingin tahu apa itu cinta bagi orang lain.”

“Cinta itu...” Hitomu berusaha mencari kata yang tepat untuk mengungkapkannya. “Adalah sesuatu yang bisa membuatmu bertingkah konyol. Kau membeli cokelat yang seharusnya bisa kau makan sendirian, kau membeli bunga yang kau tahu pasti akan layu beberapa hari kemudian, kau menulis puisi dan menyanyikan lagu-lagu cinta karena kau teringat oleh orang yang kau cintai. Menurutku semua itu konyol dan aneh... tapi nyata...”

Sekarang giliran Yoriko yang tertawa. Tidak menyangka pandangan sahabatnya mengenai cinta ternyata selucu itu. “Lalu?”

“Namun, cinta memiliki kekuatan yang hebat. Ketika kau sudah memiliki orang yang kau cintai, kau melakukan apapun agar kau bisa terus bersamanya dan membahagiakannya. Hanya dengan pelukan dan bisikan semangat darinya kau bisa bertahan hidup. Tapi, jika kau tidak memiliki orang yang kau cintai, yang kau rasakan hanyalah... kekosongan...”

“Walau kau tahu kau tidak akan bisa memilikinya, kau terus bertumpu padanya. Kau terus berharap sia-sia dia akan melihatmu walau sedikit saja. Disaat itulah dirimu mulai terombang-ambing, antara harus merelakan atau bertahan. Keduanya terasa menyakitkan...”

“Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah...” Yoriko menambahkan. “Berada di antara keduanya...”

Hitomu mengangguk setuju.

“Hei, bagaimana kalau kita menyakiti orang yang kita cintai?” Yoriko bertanya sekali lagi. Kali ini dia menatap Hitomu lekat-lekat, seolah Hitomu adalah salah satu orang yang berarti baginya. “Apa yang seharusnya kita lakukan?”

Hitomu tidak memberikan jawabannya. “Entahlah. Kau bagaimana? Bagaimana jika seandainya kau menyakiti orang yang kau cintai?”

Yoriko menghela napas. Yoriko tidak tahu apakah dia pernah menyakiti orang lain atau tidak. Tetapi dia pasti pernah melakukannya tanpa ia sadari. Dia jadi teringat pada Aya yang sudah tidak ia temui selama beberapa hari karena cutinya. Aya juga beberapa kali mengetuk pintu apartemennya, menanyakan kabar Yoriko yang tidak kunjung keluar dari apartemen dan mengkhawatirkannya.

“Mungkin aku akan menjauh darinya. Aku sudah menyakitinya, akan semakin terasa menyakitkan bila aku terus berada di dekatnya. Terkadang mencintai seseorang berarti kita harus menjauh darinya...” Yoriko mengambil kesimpulan.

“Kau tidak akan meminta maaf padanya?”

“Maaf memang menyelesaikan segalanya, Hitomu...” kata Yoriko. “Tetapi itu tidak akan menyembuhkan bekas luka yang telah kita torehkan padanya...”

“Sekarang kau lebih terdengar berpengalaman dari sebelumnya...” Hitomu juga ikut mengambil kesimpulan.

Yoriko hanya diam. Dia meneruskan lagi menggambarnya yang hampir selesai. Sedikit goresan lagi lalu ia membubuhkan tanda tangannya di bagian bawah sketsa itu.

“Selesai.” Yoriko tersenyum puas melihat hasil gambarnya. Dia memberikannya pada Hitomu. “Bagaimana menurutmu?”

“Mengagumkan...” Hitomu menilai hasil gambar Yoriko. “Tetapi ada sesuatu yang berubah dari gambar ini yang tidak kulihat sebelumnya, Yoriko-chan...”

“Apa?”

Hitomu menatap sosok Shou Kohara yang menatap pohon sakura itu bersama kucingnya. “Ada sedikit harapan di dirinya yang menyedihkan. Kaulah yang memberinya harapan, Yoriko-chan. Seharusnya dia berterima kasih padamu.”

Yoriko mengambil gambarnya kembali dan menjawab. “Aku tidak perlu dia berterima kasih padaku. Aku hanya ingin dia menganggapku ada.”

*** 

Tiga hari kemudian Yoriko kembali ke aktivitasnya seperti biasa. Ditemani sepeda pemberian Avaron, dia pergi ke petshop untuk bekerja.

Cuaca pagi itu cukup cerah saat ia mengayuh sepedanya melintasi jalur sepeda. Banyak orang mulai berlalu-lalang dengan sepeda mereka yang berwarna-warni. Beberapa dari mereka sedikit memperhatikan penampilan Yoriko yang seperti biasanya. Dress, stocking, dan sepatu hitam tidak pernah lepas darinya. Hari ini dia sengaja menguncir dua rambutnya sebagai tanda untuk sebuah awal baru, dia ingin melupakan seluruh kerisauannya beberapa hari ini.

Yoriko tahu dia akan datang terlalu pagi bila dia sudah sampai di petshop sekarang. Maka ia berhenti di depan sebuah toko buku, ia memarkir sepedanya di tempat yang sudah tersedia dan mengambil tas ranselnya yang penuh akan pin-pin dan gantungan kunci bernuansa gotik dari keranjang sepeda sebelum masuk ke toko.

Suasana toko buku cukup lengang, dia tidak perlu terlalu lama mengantri di kasir atau berdesakan di lorong saat ia mencari buku. Yoriko langsung menuju ke lorong bagian novel, mencari apabila ada novel baru baik yang berbahasa Jepang atau berbahasa Inggris. Di antara rak buku impor dia menemukan buku terbaru dari seri Blue Bloods Saga karangan Melissa De La Cruz.

Setelah ia mengambilnya, dia beralih ke buku-buku lain. Ternyata ada juga buku yang tidak disegel plastik. Pilihannya jatuh pada buku karangan Maureen McGowan untuk dibaca. Dia mengambil novel tersebut dan membawanya ke sofa yang letaknya tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Dia membaca sekilas sinopsis buku yang berjudul Sleeping Beauty: The Vampire Slayer itu. Baru mencapai bab pertama, dia sudah dibuat kagum oleh adegan sang penyihir jahat penguasa dunia vampir mengutuk puteri kerajaan yang baru lahir. Seakan Yoriko berada di antara para tokoh itu, turut merasa panik dan ketakutan menyaksikan kejahatan sang penyihir.

Disaat itulah Yoriko merasa, disitulah tempat ia seharusnya berada. Di antara buku-buku, berdiam diri untuk membacanya. Tidak ada satu manusia pun yang mengganggunya bersenang-senang di dunia fantasinya. Dia jadi teringat masa itu. Masa dimana ia benar-benar sendirian tanpa seorang pun teman di dekatnya, dan satu-satunya sahabat terbaik yang ia miliki hanyalah buku-buku di rak perpustakaan panti asuhannya yang hampir tidak pernah disentuh oleh anak-anak lain. Mereka seperti memanggil nama Yoriko, memintanya membaca mereka, berjanji mereka akan memberikan sesuatu yang sangat indah untuk Yoriko.

Dan mereka benar, bersama mereka Yoriko pergi kemana saja. Menaklukkan naga untuk menyelamatkan sang putri di menara, menambal awan dengan lelehan permata dan berlian warna-warni supaya awan-awan itu tidak runtuh, pergi menyusuri dasar terdalam sebuah danau dan menemukan sebuah peradaban kecil disana, sampai bertarung dengan Chimera, monster legendaris yang katanya adalah makhluk terkuat di bumi.

Selama ini tidak satu pun unsur dari kehidupan nyatanya mencampuri dunia imajinasinya. Yoriko bahkan pernah memutuskan tidak ingin kembali ke dunia nyata karena di dunia nyata ia sendirian, tidak memiliki orang tua. Dia merasakan saat aneh itu, saat dimana kehidupan di atas kertas yang ia ciptakan terasa lebih ramah daripada kehidupan nyata, dan dia lebih memilih hidup disana.

Satu-satunya keajaiban yang dia rasakan adalah dia masih tetap waras sampai sekarang.

Tahu buku yang dibacanya sekarang ternyata bagus, Yoriko memutuskan membeli buku itu juga. Ia membawa kedua buku itu ke kasir untuk dibayar. Namun dalam perjalanannya menuju kasir, dia melewati rak majalah dan ujung matanya menangkap sesuatu disana.

Sebuah majalah visual kei. Menakjubkan ternyata genre itu memiliki nama sendiri di Jepang karena di luar negeri visual kei masih digolongkan ke dalam genre gotik. Yoriko tertarik pada orang yang menjadi sampul di majalah itu. Disana, orang itu terlihat baik-baik saja. Tanpa beban, seakan kesempurnaan hanyalah yang ia miliki di dirinya. Senyumannya begitu tulus dan ramah kepada siapapun yang melihatnya. Headline majalah itu membicarakan tentang dirinya dan persiapan konser berikutnya.

“Hei, Shou...” Sapa Yoriko pelan pada orang di sampul majalah itu. “Apa kabar?”

Jika buku memiliki kemampuan untuk memanggil siapapun yang ia kehendaki untuk membacanya, majalah ini juga memiliki kemampuan itu. Mengikuti panggilan majalah itu, Yoriko mengambilnya.

Dan berkat ‘permintaan’ majalah itu, Yoriko juga ikut membayarnya di kasir, berjanji dia akan membacanya nanti di petshop.

*** 

Juri turun dari bis umum yang ditumpanginya menuju petshop tempat Yoriko bekerja. Sebelum kesana Juri baru saja melihat rumah sakit tempat praktik barunya yang terletak beberapa kilometer dari petshop. Juri merasa rumah sakit itu lokasinya cukup strategis dan lingkungan kerjanya nyaman, kemungkinan besar dia akan mengambil tempat itu sesudah ia menyelesaikan urusan kepindahannya.

Tetapi sebelum menyelesaikan semua itu, dia menyempatkan dirinya mengunjungi sahabat barunya. Dia penasaran bagaimana seorang Yoriko bisa bekerja di sebuah petshop. Dari halte bis, Juri menyusuri trotoar yang padat sejauh 200 meter dan berhenti di depan pintu petshop.

Dari jendela petshop yang dihiasi oleh poster promosi produk dan barang-barang display, Juri melihat Yoriko berada di balik meja kasir, tidak menyadari Juri sedang mengamatinya dari luar. Gadis itu sedang membaca sebuah majalah dengan sangat serius. Sangat serius sampai Juri berpikir majalah yang dibacanya itu mungkin majalah fiksi ilmiah yang biasa Juri baca dengan dahi mengerut.

Juri memutuskan membuka pintu petshop dan bunyi lonceng di atas pintu berbunyi menyadarkan Yoriko dari keseriusannya, menemukan Juri kini berdiri di depannya.

“Hei, Juri!” Sapa Yoriko sedikit terkejut karena tidak menyangka Juri akan datang hari ini.

“Hei...” Balas Juri. Dia bertingkah seperti tidak tahu apa-apa. “Kau tidak sadar daritadi aku berdiri di depan pintu masuk?”

“Oh ya?” Yoriko tambah kaget. Dia menjelaskan alasannya dengan gagap. “Maaf, aku tadi...”

“Memangnya apa yang kau baca?” Juri mengambil majalah yang Yoriko baca tadi dari gadis itu.

“Eh... Jangan!!” Cegah Yoriko walaupun terlambat, Juri sudah lebih dulu tahu artikel apa yang sedang dibaca Yoriko. Tentang Alice Nine, band Shou Kohara.

“Pantas kau sampai tidak menyadari kedatanganku.” Juri memanggut paham. Hanya Shou-lah yang bisa mengambil alih perhatian Yoriko di dunia nyata.

“Aku hanya penasaran, oke? Aku kebetulan melihat majalah itu saat aku membeli buku novel baru dan...” Yoriko mencari kata yang tepat untuk menjelaskan. “Ya, setelah itu aku membelinya.”

“Aku baru tahu kau juga tertarik pada Shou sebagai seorang artis.” Juri sepertinya tidak mau tahu alasan Yoriko membeli majalah tersebut. Dia lebih tertarik dengan apa yang Yoriko pikirkan dari artikel tentang Shou di sana. “Dia terlihat tampan juga disini. Tidak disangka orang ini adalah orang yang setiap pagi berebutan kamar mandi denganku dan sering mengoceh tidak jelas.”

Yoriko merasa ketahuan. “Bukan tentang dirinya sebagai artis yang membuatku tertarik. Tapi, tidak sepenuhnya begitu...”

Juri melepaskan pandangannya dari majalah dan menatap Yoriko lekat-lekat, mencari jawaban. “Kalau begitu apa? Jangan sampai instingku sebagai seorang detektif terpancing dan memaksamu menguak motifmu, Yoriko-chan...”

“Kau terlalu banyak membaca Sherlock Holmes, ya?” Yoriko enggan menanggapi candaan Juri.

“Kalau begitu beritahu aku sebelum aku mengeluarkan lelucon lainku yang membosankan...” Juri terkekeh, senang dia berhasil memancing Yoriko.

“Dia...” Sekarang Yoriko berusaha mencari kata yang tepat agar terdengar realistis dan mudah.

Juri mengerutkan dahinya. Tampaknya ini akan lebih sulit daripada memahami istilah sains.

“Dia hidup di dunianya sendiri. Dunia dimana dia terlihat sempurna dan semua orang memujanya. Semuanya terasa lebih mudah jika dia menjadi seorang artis, bukan? Keistimewaan, pujian, uang, ketenaran, menciptakan musik sesuai keinginannya...” kata Yoriko. “Tetapi kita semua tahu Shou tidak terlihat bahagia meski dia memiliki segalanya. Itu karena... dia sadar semua itu hanyalah ilusi dan suatu hari nanti dia akan kehilangannya. Mungkin dia menyesal dia lebih memilih karirnya daripada mengejar sesuatu yang sangat berarti baginya dan terjebak disana...”

“Aku pernah mendengar dari Shou, dia merasa separuh hidupnya hilang demi manajamen yang mengurus bandnya.” Juri membenarkan pendapat Yoriko.

“Walaupun dia selalu dekat dengan teman-temannya, dia memisahkan diri, Juri. Aku bisa melihat itu selama aku bekerja untuk mereka.” Yoriko meneruskan.

“Makanya dia lebih memilih menyibukkan diri dengan karirnya. Dia berpikir menjadi dirinya sendiri masih belum cukup...” Juri mengambil kesimpulan. “Tetapi jika ia sadar kalau semua itu tidak abadi atau hanya ilusi, kenapa dia tidak mencoba keluar dari sana?”

“Karena semua itu indah, Juri.” Jawab Yoriko. “Terkadang dunia yang kau ciptakan sendiri terasa jauh lebih indah daripada dunia tempat kau berada sekarang. Dia akan terus berpegang pada khayalan itu, supaya ia tidak terluka lagi. Itu bukan sepenuhnya kesalahannya karena dunia nyata memang kejam...”

Juri tersenyum mendengar jawaban Yoriko. Dia merasa takjub Yoriko bisa mengetahui semua itu melalui majalah saja. Juri mengangkat tangannya, menyentuh wajah Yoriko seraya berkata, “Kau benar, dia tidak jauh berbeda darimu...”

“Tetapi apa yang ada di duniaku tidak membuatku menderita, Juri... Meski aku sadar semua itu hanyalah ilusi dan tidak akan pernah menjadi nyata...” Yoriko berusaha mengelak.

“Tetapi semua itu tetap indah, bukan?” Juri sudah tahu. “Makanya kau bertahan di dalamnya.”

“Memang... Tetapi vampir, pangeran tampan, puteri duyung, kerajaan yang damai, menara misterius di tengah hutan memang tidak nyata, tetapi mereka tidak pernah menyakitiku.” Ujar Yoriko. “Namun pujian, ketenaran, uang... semua itu nyata. Mereka berlidah manis tetapi... Memiliki gigi yang sangat tajam. Mereka bisa melukai Shou kapanpun mereka mau...”

“Nampaknya kau juga mengalami apa yang Shou alami...” kata Juri. “Spencer Williams dan Shou Kohara...”

Yoriko terkesiap. Juri benar. Wujud Spencer Williams memang tidak nyata dan ketika Yoriko dihadapkan oleh Shou Kohara, Yoriko menahan diri dari orang itu. Yoriko mencoba bertahan supaya dia tidak tersakiti oleh fakta bahwa Shou Kohara tidaklah sesempurna Spencer Williams.

“Apa pendapatmu, Juri?” tanya Yoriko dengan pandangan kosong. “Apakah aku jatuh cinta padanya? Pada Shou Kohara?”

“Terlalu cepat untuk itu, bisa jadi kau hanya mengaguminya karena dia mirip dengan karakter buatanmu. Tetapi kau bisa mencari tahu dengan cara mendekatinya...” Juri memberi saran.

“Bagaimana caranya aku bisa mendekatinya bila dia terus menutup diri di dunianya?” Yoriko bingung.

“Mudah.” Juri mengambil sebuah permen dari mangkok kaca di atas meja kasir yang diperuntukkan kepada para tamu. “Pertama-tama, kau harus keluar dulu dari duniamu.”

***

Nao baru saja memasuki gedung kantor redaksi majalah tempat mereka akan melakukan pemotretan untuk artikel tentang mereka pada edisi majalah itu bulan depan bersama Shou. Dia melepas kacamata hitamnya sebelum ia memasuki sebuah ruangan tertutup. Ruang rias dan kostum untuknya dan Shou.

Tidak ada siapapun di ruangan kecuali Shou yang sedang bermain PSP di kursi meja rias. Rupanya dia sudah selesai bersiap-siap.

“Aku tadi melihat mobilmu di tempat parkir. Kenapa kau tidak menjemputku di rumah supaya kita bisa bersama kesini?” Tanya Nao. Ia menaruh ranselnya ke sofa di dekatnya, melepas jaket dan mengganti pakaiannya dengan properti yang sudah disiapkan.

Tanpa melepaskan pandangannya dari game yang ia mainkan, Shou menjawab, “Aku kesiangan. Maaf.”

Nao hanya memutar mata sambil memaklumi. Bukan Shou namanya kalau dia tidak pernah kesiangan. Tetapi beberapa hari ini dia sedikit berubah karena Juri. “Katanya kau bisa berangkat lebih pagi karena ada Juri...”

“Oh, dia sudah pergi dari tadi pagi. Jadi dia tidak menggangguku sama sekali.” Jawab Shou cuek.

“Dia pasti bersama Yoriko lagi. Dan kau tidak peduli lagi dia pergi kemana?”

“Tidak. Terakhir dia menghabiskan waktu bersama Yoriko mereka bermain game Amnesia. Aku tidak akan kaget kalau Juri pulang dan bercerita mereka baru saja dari Disneyland. Toh sebentar lagi wanita aneh itu akan datang dan menjadi pembantu kita. Jadi, untuk apa aku peduli?” Jawab Shou tanpa mengurangi sedikit pun rasa cuek di nada bicaranya.

“Amnesia? Mereka bermain game itu?” Nao kaget dan tercengang. “Kau yakin mereka bermain game itu? Shou, kau benar-benar harus mencoba lebih terbuka dengan orang-orang yang berani memainkan game itu! Apa mereka menamatkan gamenya?”

“Haha...” Shou tertawa sarkastik. “Masih banyak gamer amnesia di dunia ini yang bisa kuajak berteman. Dan ya, dengan bangganya mereka bercerita telah menamatkan game itu.”

“Aku harus bertanya pada Juri atau Yoriko bagaimana mereka bisa menyelesaikan game itu.” ucap Nao mantap. “Ah! Undang saja Juri ke acara hanami kita besok!”

Hening. Tidak ada jawaban dari Shou yang artinya ia tidak setuju. Hanya ada suara efek dari game Smackdown di PSP Shou.

“Ayolah, begitu-begitu dia juga orang Jepang, kan? Dia belum pernah ke acara hanami.” Nao memelas. “Kalau kau tidak setuju, biar kuundang dia saja sendiri.”

“Terserah kau saja.” jawab Shou setengah kesal. Dia senang teman-temannya selalu ramah pada orang lain, tetapi lain ceritanya kalau mereka menjadi terlalu ramah dan mengundang orang asing ke acara yang sudah menjadi tradisi mereka setiap tahun.

Tahu Shou sedang kesal, Nao membiarkan sahabatnya sendiri lebih dulu bersama gamenya. Selesai mengganti bajunya, dia duduk di meja rias sebelah Shou untuk merapikan diri.

Tepat setelah itu, Nao mendengar pintu ruangan mereka dibuka oleh seseorang. Masuklah seorang gadis berpakaian serba hitam yang sudah sangat ia kenal.

“Apa aku terlambat? Sesi pemotretannya belum dimulai, kan?” Yoriko kelihatan panik, takut ia terlambat. Sebenarnya Yoriko cukup bersemangat saat dia tahu harus menemani Shou dan Nao pemotretan di studio. Yoriko belum pernah melihat bagaimana sesi pemotretan di studio sebelumnya, dan sebagai orang yang menyukai fotografi, dia ingin tahu semuanya.

“Tenang saja.” kata Nao ramah. “Kau bantu saja aku bersiap-siap. Sebentar lagi dimulai.”

Yoriko menaruh tas dan jubahnya di atas sofa. Kemudian ia melihat sebuah tumpukan besar berisi pakaian-pakaian yang tidak terlipat, peralatan make up, dan sepatu berceceran di dekatnya. Yoriko penasaran siapa orang yang berperilaku jorok disini.

“Oh, itu milikku.” Shou menyadari Yoriko sedang mengamati barang-barang miliknya yang sengaja dibiarkan berantakan. Dengan nada mengejek dan bertingkah seperti bos besar, Shou berkata, “Jangan lupa kau bereskan sebelum kami selesai pemotretan.”

“Aku asistenmu, Shou. Bukan pelayan atau pesuruhmu.” Protes Yoriko jengkel.

“Kata ‘asisten’ hanya istilah yang lebih lembut untuk ‘pelayan’ dan ‘pesuruh’. Lagipula antara kau harus membereskan itu atau kau kupecat. Terserah kau saja.” kata Shou tanpa merasa bersalah sedikit pun. Gadis ini harus diberi balasan atas perlakuannya terhadap pakaian Shou yang dikenakan Yoriko kemarin di apartemennya tanpa izin.

Mendengar ia akan dipecat, Yoriko hanya bisa pasrah. Dengan enggan ia menyanggupi perintah Shou. “Baiklah, Yang Mulia, akan segera saya bereskan.”

*** 

Sesi pemotretan berlangsung dengan lancar. Tema pemotretan mereka cukup sederhana. Mereka berpakaian kasual dan maskulin dengan latar belakang foto yang putih. Properti mereka juga tidak terlalu banyak, hanya sebuah sofa putih yang panjang dan sedikit improvisasi dari gaya foto sudah membuat hasilnya menakjubkan.

Yoriko berlari kecil dari ruang persiapan ke studio. Dia buru-buru menyelesaikan tugasnya membereskan barang-barang Shou karena tidak ingin kehilangan momen prosesi pemotretan ini. Dia bersyukur saat ia memasuki ruangan, ternyata pemotretannya masih belum selesai.

Seorang wanita yang sepertinya salah satu petugas dari prosesi ini menghampiri Yoriko. Dari penampilannya yang semi-formal tapi juga eksentrik, Yoriko menebak dia adalah salah satu editor majalah. Creative editor, mungkin?

“Anda siapa?” sapa wanita itu ramah.

“Aku Yoriko Ishihara. Aku asisten Alice Nine...” Yoriko mengulurkan tangannya dengan ramah kepada wanita itu. Dia selalu bersikap ramah pada siapapun dari industri penerbitan, karena merekalah yang akan membantu Yoriko menerbitkan bukunya suatu hari nanti.

Wanita itu membalas uluran tangan Yoriko dengan ramah juga. “Oh, senang berkenalan dengan anda. Aku Atsuko. Aku pemimpin redaksi majalah ini, sebenarnya aku kesini hanya ingin mengamati sesi pemotretan. Band Alice Nine cukup besar namanya, jadi kami merasa beruntung bisa memanggil salah dua dari mereka untuk melakukan wawancara.”

Yoriko tiba-tiba menjadi gugup. Dia berkenalan dengan seorang pemimpin redaksi! Ini benar-benar sesuatu yang keren baginya. Biasanya pemimpin redaksi selalu sibuk dan tidak pernah basa-basi. Ini pasti karena Yoriko menyebut dirinya sebagai asisten Alice Nine.

“Pemotretannya sederhana juga. Kupikir karena mereka beraliran visual kei propertinya akan...” kata Yoriko pelan. “sedikit lebih ramai, mungkin?”

“Mereka beraliran oshare kei, lebih tepatnya. Oshare kei penampilannya lebih berwarna daripada visual kei seperti Gazette, misalnya. Cara berpakaian mereka sudah kasual dan berwarna, itu sudah cukup mencerminkan gaya mereka di band...” Atsuko menjelaskan konsep pemotretan mereka.

“Oh...” Yoriko mengamati bagaimana Shou dan Nao difoto. Mereka berdua sedang duduk di sofa dengan pengarahan dari penata gaya. Sang penata gaya hanya meminta mereka duduk santai dan memberikan senyum kepada kamera.

Tidak lupa Yoriko mengamati kamera yang digunakan sang fotografer. Canon EOS 550D seperti miliknya dengan wireless trigger untuk mengendalikan lampu-lampu di studio. Dari apa yang Yoriko pelajari dari fotografi, pemotretan menggunakan top light, dimana sumber cahaya berasal dari lampu atas dan menggunakan payung untuk meredam cahayanya supaya tidak menghasilkan kesan kasar di kulit model.

Setelah beberapa kali pengambilan foto, penataan lampu kembali diubah. Kali ini posisi cahaya dari sudut kanan di depan Shou dan Nao. Yoriko suka penataan cahaya seperti ini, menciptakan ‘dimensi’ pada wajah mereka supaya mereka terlihat sempurna.

“Kalau kuperhatikan dari tadi, kau suka fotografi, ya?” Atsuko menebak.

“Ya, begitulah.” Jawab Yoriko malu-malu. “Jujur, aku sedikit bersemangat saat aku diberi kesempatan mengikuti sesi pemotretan ini.”

“Aku selalu takjub dengan hasil para fotografer dalam menciptakan foto-foto mereka. Padahal mereka hanya bermodalkan cahaya, kamera, dan lensa yang bagus. Tetapi hasilnya selalu sempurna.” Kata Atsuko kagum.

“Ya, mereka memang selalu terlihat sempurna.” Kata Yoriko. Terlalu sempurna sampai fans mereka memuja-muja mereka setengah mati. Yoriko pernah mendengar kasus dari Honoka Ikeda, resepsionis yang bekerja di lobi kantor PSC mengenai tindakan para penggemar di internet. Banyak dari mereka yang menciptakan keributan sendiri tanpa sebab yang jelas.

Padahal apa yang mereka perebutkan disini, sedang berusaha menyenangkan mereka dengan berpose bahagia di depan kamera. Menjadi seorang artis memang tidak semudah yang orang lain pikirkan.

Untuk kesekian kalinya Yoriko dihadapkan oleh kenyataan bahwa orang di depannya sama sekali berbeda dari tokoh ciptaannya. Spencer Williams tidak akan pernah mau seperti ini, menjadi sorotan media. Spencer adalah pria yang lebih menyukai aksi, ia memegang senjata di tangan, bukannya mic. Spencer seharusnya berada di TKP atau meja kerjanya di kepolisian, menyelidiki kasus, bukannya di panggung gemerlap penuh akan penggemar yang mengelukan namanya. Spencer akan selalu menolak diwawancarai di sela ia sedang mengerjakan kasus.

Dalam sekejap Yoriko akhirnya tahu mengapa ia ditakdirkan bertemu dengan Shou Kohara. Tuhan ingin menyadarkannya agar ia lebih bisa memahami dunia nyata dan perasaan orang lain. CaraNya memang membingungkan dan aneh, tetapi akhirnya Yoriko memahami maksudNya!

“Mereka adalah salah satu artis yang bekerja keras, kami sangat mengagumi itu.” kata Atsuko.

Kemudian dengan segenap keberaniannya yang terkumpul cepat, Yoriko berkata, “Kalau tidak salah, perusahaan anda juga menerbitkan buku selain majalah, bukan?”

“Ya, benar sekali.” Dengan bangga Atsuko menjawab. “Mengapa anda tertarik?”

“Begini...” Yoriko menceritakannya perlahan supaya ia tidak meledak, “Aku sedang menulis dan sebentar lagi karyaku akan selesai. Aku berencana akan menerbitkannya...”

“Hmm... Boleh juga...” Atsuko kelihatannya tertarik. “Anda menulis tentang apa?”

Tahu pemimpin redaksi di depannya ini tertarik, Yoriko semakin bersemangat. “Fiksi. Tentang kriminal tetapi juga sedikit dibumbui oleh roman.”

“Kalau begitu...” Atsuko mengambil sesuatu dari balik blazernya. Sebuah kartu nama. “Ini kartu namaku. Kalau kau sudah siap dengan karyamu, silakan datang saja lagi kemari. Kita lihat nanti bersama apa karyamu cocok diterbitkan oleh kami atau tidak.”

“Te... terima kasih, Atsuko-san!” Tanpa Yoriko sadari dia berteriak kesenangan dan membungkukkan badannya berkali-kali di depan Atsuko sampai orang-orang di sekitar mereka menoleh, termasuk Shou dan Nao yang tadi masih sibuk difoto.

“Eh... Maaf...” Yoriko jadi tidak enak pada mereka semua, kini giliran ia membungkuk pada mereka sebagai permintaan maaf.

Atsuko tergelak pelan melihat kepolosan Yoriko. Ia memanggil asistennya yang berdiri tidak jauh darinya. Seorang gadis seusia Yoriko yang berpenampilan sangat dewasa. “Ai, kau temani Yoriko-san sampai pemotretan ini selesai.”

Ai yang diminta menganggukkan kepalanya. “Baik, Atsuko-san.”

“Ya sudah. Aku harus kembali ke ruanganku.” Atsuko berpamitan sambil menahan tawa. “Jangan membuat keributan lagi disini, ya. Hihi...”

Yoriko langsung merasa canggung. Ia menyesal dan berkali-kali mengatai dirinya bodoh karena membuat kesan pertamanya dengan seorang pemimpin redaksi sekonyol ini.

*** 

“Ada apa denganmu tadi, Yoriko-chan?” tanya Nao ketika mereka sudah selesai pemotretan dan kembali ke ruang persiapan. “Kenapa kau tiba-tiba berteriak pada pemimpin redaksi majalah ini?”

“Oh, kau juga tahu dia pemimpin redaksi?” Yoriko sedikit kaget. “Ya, tadi dia memberiku kartu namanya kalau aku ingin membawa karyaku ke redaksi ini. Mereka juga menerbitkan buku novel, bukan?”

“Haha...” Nao paham. “Pantas saja kau senang. Tidak ada salahnya kau membawa karyamu kemari, mereka terbuka untuk berbagai genre tulisan.”

“Tapi lucu juga ya, pemimpin redaksi yang sangat sibuk bisa meluangkan waktunya mengobrol denganku...” Yoriko masih bertanya-tanya.

“Kau tidak lihat penampilanmu, Yoriko? Kau terlihat seperti salah satu model majalahnya. Kalau seandainya kau sedikit anggun atau bersikap seperti seorang model, kau pasti akan ditarik menjadi modelnya juga.” Nao menunjuk penampilan Yoriko dari atas sampai bawah. “Ini majalah gotik visual kei, Yoriko-chan...”

Yoriko baru sadar. Pantas saja Atsuko sangat ramah padanya tadi. “Memangnya menurutmu aku tidak seperti model?”

“Yoriko-chan, kau bergaya seperti itu karena itulah dirimu. Bukannya model yang bergaya seperti itu demi pekerjaan. Kau seharusnya bangga.” Ujar Nao seraya tersenyum.

“Aw... Terima kasih...” Yoriko tersipu dan merendahkan tubuhnya memberi hormat kepada Nao.

“Oh ya, Yoriko-chan. Kau masih ingat besok adalah hari hanami kita? Kau pasti datang, kan?” Nao mengingatkannya.

Perasaan Yoriko yang tadinya riang tiba-tiba hilang dan perutnya terasa mulas. Mereka masih ingat mengajaknya pergi hanami? “A... aku...”

“Ayolah, Yoriko. Datang saja... Kumohon... Tora dan yang lain pasti juga mengharapkanmu datang...” Nao menarik tangan Yoriko dan memelas.

Bukannya Yoriko tidak mau pergi, tetapi ia tidak siap. Berhadapan dengan sakura mengingatkannya pada traumanya di masa kecil. Sakuralah yang menentukan hidupnya, Sakuralah yang membuatnya tenggelam di dunia gotik yang suram. Dia sudah sangat nyaman di dunia itu, dan ia tidak mau bertemu dengan Sakura lalu mengubah semua itu.

“Kurasa aku tidak bisa, Nao... Maaf... Tadi pagi Aya bilang dia juga ikut acara hanami bersama teman-teman kuliahnya dan mau tidak mau aku harus mengisi giliran kerjanya...” Yoriko terpaksa berbohong.

Nao menghela napas kecewa. “Yaah... Mengapa begitu? Padahal pasti seru kalau kau datang... Baiklah, sampai giliran kerjamu selesai kami akan tunggu kau disana!”

“Apa!?”

“Ya, acara hanami ini akan terasa biasa saja tanpa kehadiranmu, Yoriko. Kami ingin kau datang, kau harus datang! Sampai jumpa besok, Yoriko-chan!” kata Nao gigih. Tanpa bertanya atau berkata apapun lagi pada Yoriko, ia mengganti pakaian, menghapus riasan wajahnya, dan berkemas pergi dari ruangan.

Yoriko termangu melihat betapa optimisnya Nao yang menginginkan kehadiran Yoriko disana. Yoriko tidak tahu harus berkata apa lagi, dia tidak mau mematahkan semangat Nao dengan berkata dia sungguh tidak akan datang dan tidak sanggup datang. Kenangan bersama Sakura masih melekat terlalu kuat di hatinya.

“Kau benar-benar pembohong yang payah...” Tiba-tiba suara ketus Shou menyahuti lamunan Yoriko. “Dia juga payah, percaya pada kebohonganmu begitu saja.”

Yoriko mulai kesal. Orang ini boleh ikut campur dan mengatai urusan hidupnya, tetapi untuk soal ini, Yoriko ingin orang lain menjauhinya, termasuk Shou. “Itu bukan urusanmu. Pokoknya aku tidak akan datang. Jangan ceritakan pada Nao, karena kau akan menyakitinya.”

“Hah, dia bukan anak kecil lagi.” Shou tidak peduli. Kata-katanya selalu saja mengalir sedingin air es. “Terserah aku mau cerita atau tidak.”

“Apa maumu, Shou Kohara? Kau tidak berhak ikut campur urusanku.”

Shou diam saja. Dia memasukkan barang-barangnya ke dalam ranselnya. Sebelum beranjak keluar, ia berkata pada Yoriko. “Justru kau yang seperti anak kecil. Aku dan teman-temanku tidak pernah mau tahu urusanmu itu. Tetapi kau malah mengaitkannya dan bersikap tidak profesional.”

Yoriko menjadi sewot. “Apa maksudmu? Aku tidak profesional? Kalau tidak salah itu hanyalah undangan biasa dan aku berhak menolak. Kau tidak berhak berkata seperti itu padaku tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku.”

Shou kembali diam. Dia memandang tajam Yoriko, seakan ia ingin menyusupi apa yang Yoriko sembunyikan di balik tatapan matanya yang memandang Shou marah. “Hanya karena kau takut pada sesuatu bukan berarti kau bisa terus sembunyi tanpa menghadapinya... Kupikir dengan penampilanmu itu kau bisa menghadapinya seperti seorang gadis gotik yang menyukai kegelapan. Seharusnya kau malu pada kostum anehmu itu.”

Setelah Shou pergi, Yoriko tidak bisa berkata apapun lagi. Belum pernah ada seorang pun berkata setajam dan sekeras itu padanya. Yoriko berusaha memulihkan dirinya dari kritikan pedas Shou kepadanya dan mencoba mengartikan maksud Shou dan semua itu.


Mungkin kata Aya benar, Shou benar-benar menginginkan Yoriko datang ke acara hanaminya...