16
Di hari
terakhir hanami, pengunjung semakin banyak berdatangan, mengenang mekarnya
bunga sakura di hari terakhirnya tahun ini. Shou dan teman-temannya berada di
taman Yoyogi, duduk beralaskan karpet di bawah rindangnya pohon sakura yang
besar dekat danau kecil. Tidak hanya anggota Alice Nine yang ikut. Berkat ajakan
Nao dan paksaan Tora, Juri turut hadir. Tadinya mereka juga mengundang manajer
mereka, tapi sayangnya ia tidak bisa ikut.
Mereka disana
dari siang hingga malam, menikmati segala jenis makanan yang dibawa mereka dari
rumah, kue-kue, roti, berbagai macam sushi. Juri bahkan rela bangun subuh untuk
memasak masakan khas Eropa keahliannya. Irish stew, apple crumble, custard, fish and chips, dan pai blackberry.
Seluruhnya dalam porsi besar sampai Shou yang tidak pernah tertarik pada
masakan Juri langsung menghabiskan seluruhnya bersama teman-temannya.
Tidak lupa
berkerat-kerat bir dan sake sumbangan Tora, Hiroto, dan Saga juga teh yang
dibawa Juri menjadi teman mereka bersenang-senang. Mereka membawa gitar dan
menyanyikan lagu bersama-sama. Diantara mereka semua, tentu saja yang paling
gembira adalah Juri. Ini adalah kali pertamanya dia menghadiri hanami. Darah
Jepang yang mengalir di dirinya membuatnya bergetar begitu melihat sang Sakura.
Ucapan Yoriko kepadanya benar, sakura memang bunga yang agung. Selalu
dinantikan, dikenang, dan memiliki banyak sekali arti.
Bagi Juri apa
yang dilakukannya bersama Alice Nine adalah kenangannya bersama sakura yang
akan selalu ia kenang. Namun ia ingin tahu kenangan apa yang dimiliki Yoriko
bersama sakura sampai ia tidak mau bertemu lagi dengannya?
Saat Juri
diajak ikut, ia juga mengajak Yoriko. Tetapi gadis itu selalu menolak. Juri
bahkan memelas dan memohon-mohon padanya. Namun Yoriko dengan berat hati dan
menolaknya lagi secara halus. Yoriko berkata ketidak hadirannya akan terasa
lebih baik bagi pesta mereka. Namun sebaliknya, Juri dan Alice Nine merasa
kehilangan...
“Kenapa
Yoriko tidak datang juga, ya...” kata Nao pelan. Dari siang, pandangan matanya
tidak pernah lepas dari sekitar mereka, mengharapkan kedatangan Yoriko dengan
gaun hitamnya yang khas dari berbagai arah.
Nao melihat
ke sampingnya, Saga sudah nyaris tumbang karena sake, Tora sibuk mencari-cari
tempat makan untuk sisa makanan, Hiroto asyik dengan kameranya memotret bunga
sakura pada malam hari. Juri hanya meneguk birnya dalam diam, Nao tahu pria
bule itu juga mengharapkan kedatangan Yoriko. Kalau bukan karena gadis itu,
mereka pasti sudah pulang dari tadi.
Sekarang
sudah pukul setengah 10 malam, orang-orang sudah mulai berberes dan pulang
karena sebentar lagi taman akan ditutup. Namun Arisu masih di tempat. Meski
makanan sudah hampir habis, sake dan bir sudah tidak tersisa, suasana mulai
sepi.
“Sudahlah... dia
tidak akan datang...” Hiroto memberi saran. “Sekarang sudah malam. Bagaimana
kalau kita beres-beres dan memulangkan Saga? Lihat, sebentar lagi dia akan
membasahi karpetku dengan liurnya.”
“Kita tidak
bisa berharap banyak. Sejak siang kita menunggunya.” Tora sudah putus asa.
Yoriko tidak pernah lepas dari topik pembicaraan mereka sejak siang, berharap
Yoriko datang dan ingin melihat serunya jika ia bertengkar dengan Shou. “Ayo
pulang. Sebentar lagi taman akan ditutup.”
“Tapi...” Nao
membantah. Harapan kecilnya masih menanti kedatangan Yoriko, dia sudah bertekad
bulat akan menanti Yoriko sampai tengah malam. Tetapi sekarang baru pukul
setengah 10.
“Besok kita
masih ada aktivitas, Nao. Kau ingat jadwal konser kita?” Tora mengingatkan. Ia
berdiri dan memanggil Hiroto untuk membantunya membereskan peralatan hanami
mereka. “Kita tanyakan saja pada Yoriko kenapa ia tidak bisa datang esok hari.”
“Dari tadi
siang aku terus menelepon Yoriko tapi tidak ada jawaban. Dua jam lalu, saat
kucoba lagi dia mematikan handphonenya...” Juri menyahut. “Mungkin aku akan
pergi ke apartemen Yoriko sepulang kita dari sini.”
“Aku ikut!”
seru Nao. “Kalau kau ke apartemen Yoriko, aku ikut! Lagipula aku belum pernah
kesana. Kau mau mengantar kami kesana kan, Shou?”
Shou yang
ditanya tidak menjawab. Pria itu duduk menyandar di sisi lain pohon sakura,
termenung melihat danau yang tenang airnya. Tidak ada satupun dari mereka
bahkan Tora sahabatnya sekalipun menebak apa yang dipikirkan Shou. Dia sudah
berada disana sejak satu jam yang lalu.
“Shou!”
Panggil Nao untuk ketiga kalinya sebelum Shou akhirnya menoleh.
“Apa?” sahut
Shou jengkel karena Nao merusak lamunannya. Nao pun menjelaskan lagi alasan
kenapa ia tadi memanggilnya. Hasilnya, Shou kembali menatap danau sambil
merogoh saku celananya. Meraih kunci mobilnya dan melemparkannya ke Nao.
“Pakai
mobilku saja. Nanti kau jemput aku lagi disini.” Kata Shou.
“Kau tidak
ingin ikut? Taman kan sebentar lagi ditutup. Masa kau masih ingin terus
disini?” kata Hiroto heran.
“Seperti
biasanya...” Tora hanya mengangguk paham. “Dia tidak pernah mau pergi dari
sakura. Apalagi besok pagi sakura akan gugur...”
Alice Nine
tahu Shou sangat menyukai bunga sakura. Mereka pernah menangkap basah Shou
memanjat pohon itu karena ingin memetik bunganya pada acara hanami beberapa
tahun lalu sampai dimarahi petugas taman. Mereka tidak pernah bosan
menertawakan kenangan itu jika mereka teringat olehnya. Shou yang paling
bersemangat dan tidak pernah kehabisan tenaga saat acara hanami, itulah Shou
yang dulu.
Sekarang
mereka menduga saat ini Shou memiliki caranya sendiri untuk menghormati sang
sakura, yaitu duduk diam seperti orang bodoh di tengah malam.
“Sudahlah,
kalian pergi saja.” kata Shou cuek seperti ia mengusir mereka semua. “Aku masih
ingin berada disini. Pokoknya nanti kalian jemput saja aku.”
“Kau yakin?
Disini sudah mulai sepi. Kau tidak takut itu akan membahayakan keselamatanmu?”
Juri mendekati Shou dengan raut khawatir di wajahnya.
“Saat ini
tingkat kriminalitas di Tokyo sedang menurun.” Kata Shou sok tahu. “Toh aku
hanya membawa sedikit uang. Pergi sana!”
Jika Shou
sudah bernada tinggi, itu berarti keputusan Shou tidak bisa diganggu gugat
lagi. Dengan berat hati mereka pun percaya pada Shou dengan apapun yang akan
dilakukannya disini saat sendirian tidak akan membahayakan dirinya. Usai
berberes, mereka pun pergi.
Setelah
memastikan mereka semua pergi, Shou berdiri. Suasana sunyi, sayup-sayup
terdengar suara hingar bingar kota Tokyo yang tidak pernah tidur. Udara masih
tetap segar dan berhawa dingin. Shou melihat ke atasnya, angin bertiup sehingga
cabang-cabang pohon sakura pun turut bergoyang. Disaat itulah Shou melihat
kerapuhan bunga sakura, khawatir mereka akan rontok dari tempat asalnya dan
jatuh ke bumi.
Hanya di
tempat inilah Shou mendapatkan ketenangan. Hanya disinilah Shou sanggup
melupakan seluruh keresahannya, lupa bahwa dia memiliki kehidupan. Kalau bisa,
Shou ingin terus berada disini saja.
Empat tahun
ini Shou belajar bahwa sesuatu yang sangat indah itu pasti semu atau tidak
abadi bahkan tidak akan pernah ia miliki. Dia juga memahami bahwa ia selalu
menginginkan sesuatu yang tidak akan pernah ia miliki, memiliki sesuatu yang
tidak akan pernah ia inginkan, membutuhkan sesuatu yang tidak akan pernah
dibutuhkannya, dan tidak pernah menggunakan sesuatu yang ia dapatkan.
Namun tidak
ada salahnya dia berharap, bukan? Meski itu tetap menyakitkan dan sia-sia. Walau
teman-temannya memintanya pergi, tapi mereka tidak pernah bertanya apa yang
sebenarnya Shou lakukan disini dan siapa yang benar-benar ia nantikan.
Tidak ada salahnya
ia berkhayal akan kedatangan orang itu, berharap wanita itu akan mengejek kekonyolannya
lagi, duduk sendirian di tengah taman yang sunyi dan gelap.
Shou menatap
cahaya bulan yang terpantul di permukaan danau. Inilah pemandangan terindah,
bahkan Hiroto pun tidak mungkin mendapatkannya dengan kameranya.
Sambil
menyenandungkan lagunya sendiri, Shou mendapatkan sebuah ide tergila yang
tercipta dari khayalannya akan kedatangan wanita itu. Wanita idamannya sejak 4
tahun lalu, yang mengubah hidupnya, mengombang-ambingkan perasaannya, dan
memutar balikkan dunianya.
Shou menaruh
kakinya di batang sakura yang kokoh. Perlahan ia mulai memanjat dan menapaki
batangnya satu per satu. Shou merasa takjub dia masih bisa melakukannya setelah
hampir 6 tahun ia tidak pernah melakukannya lagi. Ia tersenyum senang, biarlah
petugas taman memergokinya lagi, ini adalah kesenangan yang tidak akan pernah
didapatkan oleh penduduk Tokyo mana pun.
Ia berhenti
di salah satu cabang yang dikiranya kokoh untuk menahan tubuhnya. Ia pun duduk
disana, puas ia bisa meraih bunga-bunga sakura dengan ujung jemarinya,
menyenandungkan tembang Sakura, dan menikmati pemandangan taman dari atas.
Tidak peduli
akan hawa dingin yang menerpa tubuhnya, ia terus berada disana dan tidak akan
pernah ingin turun lagi.
Shou pun
kembali tenggelam di pikirannya. Dia tahu harapannya jelas tidak mungkin
terwujud. Berkat dorongan teman-temannya dan sedikit ceramah psikologi dari
Juri, perlahan Shou mulai menerima kenyataan. Dia mulai menerima sesuatu yang
bisa diraihnya, perlahan sesuai saran mereka semua dia mulai memikirkan sosok
Yoriko.
Sedikit
konyol juga saat Shou memikirkannya, secara tidak langsung ia meminta gadis itu
datang ke acara hanami. Sama seperti Nao yang tadi terus memandang sekitar
mengharapkan kedatangan gadis gotik itu, Shou juga mengharapkan hal sama di
dalam hatinya. Itulah sebabnya dia terus diam selama acara berlangsung, dia
merasa semuanya tidak akan sama tanpa kehadiran Yoriko.
Mungkin dia
terus bertahan disini layaknya orang idiot karena dia masih mengharapkan
kedatangannya. Gadis itu tidak datang, itu berarti dia mengharapkan hal
mustahil juga.
Menyadari itu,
Shou tertunduk sedih. Mungkin memang seharusnya dia pulang bersama yang lain.
Tetapi
nampaknya malam ini takdir berkata lain. Takdir yang tidak pernah Shou percayai
kali ini menunjukkan keajaibannya. Saat ia mendengar suara seorang gadis yang
sangat dikenalinya dari bawah pohon memanggil namanya.
“Shou? Apakah
itu kau?” panggil Yoriko dengan suara tertahan.
Shou melihat
ke bawah, menahan untuk tidak mengusap matanya, memastikan ia tidak mengantuk
atau berkhayal gadis itu ada disana. Terlebih lagi Yoriko memakai dress gotik
berwarna merah seperti mawar, berkuncir dua dan riasan wajahnya terlihat lebih
cerah dari biasanya, di tangannya terdapat kantung berisi buah-buahan.
“Sebaiknya
kau turun, Shou. Nanti kau jatuh.” Yoriko memberi nasihat. Tetapi meski dari
jauh, Shou melihat ada sedikit rasa takut di mata Yoriko, rasa takut akan
sesuatu.
“Tenang saja,
aku sudah ahli dalam memanjat seperti ini.” jawab Shou sekenanya, memastikan
dengan sikap dinginnya bahwa Yoriko di bawahnya benar-benar Yoriko. Sekarang
begitu sang gadis datang, Shou malah tidak tahu harus berbuat apa.
“Shou
percayalah, padaku. Turunlah... pohon sakura tidak sekuat yang kau kira.” pinta
Yoriko pelan. Pelan tetapi penuh keyakinan, seolah Yoriko pernah berada di
posisi Shou, memanjat pohon sakura di malam hari.
Shou berdecak
kesal. Tidak ada siapapun yang bisa menurunkannya dari pohon ini kecuali kalau
ia mau.
“Memangnya
kenapa? Seperti kau pernah memanjat sakura saja...” tantang Shou.
Sekali lagi
Yoriko berkata, “Percayalah padaku, Shou. Aku tahu rasanya...”
“Kalau kau
tahu rasanya, kenapa kau tidak memanjat saja kesini? Kalau kau hanya ingin
menyuruhku turun lebih baik kau pergi saja.” Shou menantang Yoriko sekali lagi.
Lalu gadis
itu melakukan sesuatu yang tidak pernah Shou sangka akan dilakukan olehnya. Yoriko
menapakkan kakinya di batang pohon, perlahan tapi pasti memanjatinya. Melawan
rasa ketakutannya supaya bisa memenuhi permintaan Shou atas kehadirannya.
Yoriko mengecek
handphonenya, 30 panggilan tidak terjawab dan 15 e-mail dari Juri, Nao, dan
Tora, bertanya kapan Yoriko datang ke acara hanami mereka. Mereka sudah
memberitahu lokasinya, di taman Yoyogi, tepat di bawah pohon sakura di depan
sebuah danau kecil. Nao bahkan terlalu mendetil, dia sampai memberitahukan
warna karpet yang mereka gunakan supaya Yoriko bisa mengenali mereka dengan
mudah disana.
Sejak pagi
Yoriko sudah gelisah, ingat hari inilah acaranya. Ingin sekali ia
mengabaikannya, tetapi tidak bisa. Sebagian dari mereka telah memberikannya
kehidupan dan bantuan supaya dia bisa memertahankan apartemen tempat tinggalnya
ini, salah satu dari mereka adalah sahabat barunya, dan salah seorang lagi...
adalah orang yang paling membuatnya bingung dia harus datang atau tidak.
Yoriko
sengaja melupakan semua itu dengan membersihkan kandang hewan-hewan di petshop,
memberi mereka makan, mengganti air seluruh akuarium, menulis, mendengarkan
musik namun tidak berhasil. Satu-satunya alasan yang ia berikan hanyalah bekerja
di petshop sedangkan mereka tahu Yoriko bekerja sampai sore saja. Nao hampir
saja menuju kemari untuk menjemputnya kalau Yoriko tidak mencegahnya lewat
e-mail tadi. Supaya mereka diam, Yoriko berkata ia akan datang tapi tidak tahu
kapan.
Sekarang Yoriko
semakin tidak enak hati. Bisa jadi mereka menunggunya sekarang.
“Ada apa,
Yoriko-chan? Kenapa kau terlihat gelisah?” Avaron yang hari ini ada di petshop
menghampirinya di meja kasir.
“Ti... tidak
ada apa-apa, Avaron-san.” Jawab Yoriko bohong. Demi mengalihkan pembicaraan,
Yoriko memerhatikan kedua tangan Avaron yang basah dan berkerut di jemarinya.
“Anda baru saja melakukan apa?”
“Aku baru
membersihkan toilet.” jawab Avaron enteng.
“Ya ampun,
Avaron-san! Kenapa anda tidak beritahu aku? Aku bisa melakukannya!” Yoriko
kaget mendengar atasannya membersihkan toilet sedangkan dirinya diam saja di
meja kasir.
“Ah, tenang
saja.” Avaron mengibaskan tangannya. “Aku sudah melakukannya selama 4 tahun
sejak toko ini berdiri. Rasanya tugas ini sudah menjadi hal favoritku.”
“Lain kali
bilang saja padaku, nanti kubersihkan, Avaron-san.” Ujar Yoriko.
“Baiklah,
sudah cukup kau mengalihkan pembicaraan.” Potong Avaron. “Kenapa kau gelisah?
Kalau tidak salah, hari ini kau harus pergi ke acara hanami, bukan? Kenapa kau
tidak pulang dan bersiap-siap?”
“Giliran
kerjaku belum selesai, Avaron-san.” Jawab Yoriko. “Aku tidak ingin meninggalkan
anda sendirian disini...”
“Justru
karena kau ada acara hari ini aku sengaja datang kemari supaya bisa
menggantikanmu. Jangan sampai kau ketinggalan acara itu. Kau pasti menyesal.
Mereka teman-temanmu juga, kan?” kata Avaron.
Yoriko diam
dan tersenyum. Betapa beruntungnya dia memiliki atasan seperti wanita di
depannya ini. Yoriko tidak akan bisa membayar seluruh kebaikan yang Avaron
berikan padanya. Tidak akan pernah bisa.
“Kenapa,
Avaron-san? Anda memperkerjakanku supaya anda terbantu. Kenapa anda begitu saja
membiarkanku pergi bersenang-senang sedangkan anda sibuk disini?” tanya Yoriko.
“Hasil
kerjamu memuaskan. Itulah caraku menghargai karyawanku. Bagaimanapun juga, ini
adalah petshop milikku, yang kudirikan dengan usahaku sendiri. Aku tidak akan
pernah mengabaikannya lalu menyuruh orang lain mengurusnya. Itu sama saja
seperti kau memiliki anjing peliharaan tapi kau menyuruh ibumu memberi dia
makan. Lagipula masih ada Aya yang akan datang satu jam lagi. Aku masih bisa
bertahan sampai satu jam ke depan, Yoriko-chan.” Avaron menjawab lembut,
selembut seorang ibu berbicara kepada anaknya.
“Aku ingin
datang ke acara itu. Sungguh, aku ingin datang...” kata Yoriko dengan mimik
sedih dan kebingungan.
“Lalu, apa
yang menahanmu?”
“Sesuatu dari
masa laluku. Sulit sekali melupakannya...” Yoriko kembali gelisah dan terlihat
jelas saat dia menundukkan kepala dan meremas kedua tangannya.
“Lalu, apa
yang membuatmu ingin sekali datang?” Avaron bertanya lagi. Kali ini dengan nada
memancing, supaya Yoriko bisa memberikan jawaban sebenarnya.
“Mereka
teman-temanku.” Yoriko menjawab pelan.
“Mereka hanya
teman-temanmu. Kau tinggal mengirim e-mail tidak bisa datang karena sesuatu.
Itu sudah cukup, bukan?” Pancing Avaron lagi. Gadis gotik ini tidak akan pernah
membuatnya bosan karena kemisteriusannya.
“Tidak bisa.
Mereka selalu baik padaku!” sahut Yoriko. Avaron tersenyum, bukan Yoriko namanya
kalau dia tidak pernah mengingat kebaikan orang lain. Karena itulah Avaron
dengan senang hati memberinya pekerjaan.
“Lagipula...”
Yoriko hampir saja menyebut nama Shou, alasan terkuat mengapa Yoriko ingin
sekali datang. Jika kata hatinya benar, mungkin Shou juga menunggunya disana,
walau Shou tidak mengiriminya e-mail atau meneleponnya. Itu berarti Shou sangat
menanti dirinya hingga tidak ingin menghubungi Yoriko karena takut Yoriko akan
menolak.
“Shou,
bukan?” atasannya menebak seolah ia membaca pikiran Yoriko.
“Kenapa anda
bisa berpikiran begitu?” Yoriko menyatukan alisnya.
“Aku selalu
mengikuti kisah cinta kalian berdua.” jawab Avaron bercanda, menggoda Yoriko
sampai pipi gadis itu memerah seperti tomat.
“Entah kenapa
aku merasa dia menungguku... walau ia tidak bilang secara langsung.” Kata
Yoriko setengah berbisik.
“Baguslah,
itu berarti kau sudah mulai memahami dirinya dan bahasanya.” Avaron memberi
semangat. “Kalau itu alasan sebenarnya kau ingin datang, maka pergilah, Yoriko.
Kesempatan ini tidak akan datang dua kali...”
“Tapi aku
pasti akan sangat mencolok disana! Anda lihat kan penampilanku sehari-hari?
Mana ada orang Jepang pergi ke acara hanami dengan berpakaian seperti ingin ke
acara pemakaman?” Yoriko menunjuk dirinya dari atas sampai bawah.
Avaron
menahan tawa. Dia memang sedikit merasa aneh dengan penampilan Yoriko saat
pertama mereka bertemu. Namun itulah jati diri Yoriko. Yoriko terlihat cantik
dan nyaman dengan gaya berpakaian itu. Itulah yang membedakannya dari yang
lain. Banyak pembeli yang berlangganan di petshop ini karena tertarik pada
karyawannya yang berpenampilan seperti malaikat kematian namun sangat
menyayangi hewan peliharaan. Sampai sekarang Avaron masih penasaran apa Yoriko
tahu soal itu.
“Kalau
begitu, pulanglah. Cari sesuatu yang bagus dari peti matimu. Aku sarankan kau
memakai riasan wajah bernuansa merah muda supaya kau terlihat lebih cerah.” Avaron
memberi saran supaya Yoriko tidak bingung lagi.
“Tapi,
Avaron-san...” Yoriko hendak protes, tapi Avaron mendahuluinya.
“Tidak ada
alasan lagi. Sore ini aku tidak ingin melihatmu di tempat ini. Pergilah dan
bersiap-siap.” Avaron menarik Yoriko keluar dari meja kasir.
“Tapi,
Avaron-san...” Yoriko masih ingin protes. Kali ini Avaron menyuruhnya diam
sementara ia pergi ke belakang untuk mengambil tas Yoriko. Kemudian dia membuka
pintu petshop selebar mungkin dan menyuruh Yoriko keluar.
“Pergilah.
Cinta sejati tidak bisa menunggu.” Kata Avaron tersenyum lebar dan mengedipkan
matanya genit. “Bisa jadi ini malam keberuntunganmu.”
Dengan pasrah
Yoriko mengambil tasnya dari tangan Avaron dan keluar. Sebelum ia pergi, Yoriko
bertanya pada Avaron. “Bila firasatku salah? Bagaimana kalau Shou tidak
benar-benar menungguku?”
“Kalau
begitu, kau boleh menyerah. Yang terpenting adalah kau sudah mencoba. Tidak ada
ruginya, kan?” jawab Avaron. “Kecuali kalau dia menyakitimu, panggil saja aku
dan Aya. Kita berdua akan menghajarnya.”
Yoriko
tergelak. “Tidak usah repot-repot, Avaron-san. Terima kasih...”
“Aku percaya
kau pasti bisa, Yoriko-chan. Kau gadis baik, pria manapun pasti gila bila
mereka tidak menyukaimu.”
Pujian Avaron
tadi baru saja membangkitkan semangat Yoriko.
Sesampainya
di apartemen, Yoriko langsung mengacak-acak peti matinya. Mencari sesuatu yang
pantas dikenakan ke acara hanami. Jam dinding apartemen Yoriko serasa berdetak
sangat cepat. Waktu menunjukkan pukul 5 sore saat Yoriko mencoba dress
pertamanya. Sebuah dress musim panas warna hitam, berkerah sabrina, dan tidak
terlalu seram untuk digunakan ke acara hanami. Namun dia tidak terlalu cocok
dengan pakaian itu.
Lalu dia
mengambil dress keduanya. Panjangnya selutut dan bergaya victorian, dengan
renda-renda dan detil satin di bagian roknya. Nampak elegan dan anggun untuk
dilihat. Tetapi Yoriko merasa tidak cocok lagi. Dia akan menghabiskan waktunya di
luar ruangan, duduk di karpet sambil memakan kue, dress ini akan terlihat
sangat mencolok.
Kali ini
Yoriko mencoba mengambil sebuah kemeja putih dan rok pencil hitam bernuansa
victorian. Yoriko bisa menggabungkannya dengan sepatu pantofel atau sepatu sol
tebalnya. Tetapi ia berpikir lagi, ini seperti ia akan pergi melamar pekerjaan.
Lebih parah daripada itu.
Yoriko tidak
bisa memutuskan memakai t-shirt bergambar karakter favoritnya dan celana gombrong,
karena akan terkesan seperti dia enggan datang ke acara hanami. Orang Jepang
selalu berpenampilan rapi dan rupawan pada acara hanami.
Yoriko pun
lemas. Dia tidak memiliki pakaian yang memberikan kesan seperti itu. Ia
mengabaikan dress bermotif tengkorak favoritnya, dress bergaya steam punknya
juga mengalami nasib sama. Begitu juga dengan jumper dress hitamnya yang
bermotif kotak-kotak putih.
Yoriko sampai
berpikir apa sebaiknya dia mengenakan dress yang biasa ia gunakan ke gereja?
Baru sekarang dia menyadari selera modenya ternyata sangat payah.
Yoriko pun membereskan
seluruh dressnya yang dikeluarkan dari peti matinya. Saat ia mulai memasukkan
satu per satu dressnya, ia menemukan sebuah kotak besar di sudut peti matinya. Kotak
besar berwarna hitam yang mulai dilupakan oleh Yoriko. Yoriko mengambil kotak
itu untuk mengingat isinya.
Satu set
lolita dress dengan sepatu wedge. Keduanya berwarna merah yang pantas untuk
dikenakan di acara hanami. Semerah mawar yang hampir layu untuk menyambut dan
berpamitan pada sang sakura, tapi juga tetap bernuansa gotik agar tidak menghilangkan
ciri khas Yoriko.
Yoriko tidak
pernah memakai dress ini karena saat memesannya di internet, Yoriko memilih
warna hitam. Ternyata tanpa sengaja ia salah memilih pilihan warna saat
pemesanan. Sangat kecewa ketika ia menerima kiriman dress itu dan ia
memutuskannya untuk disimpan saja.
Namun
sekarang ia memutuskan untuk memakai dress itu saat ia mencobanya. Ia menguncir
dua rambutnya dan mulai merias wajahnya. Ia menyapukan eyeshadow cokelat muda
yang belum pernah ia gunakan secara tipis-tipis di kelopak matanya. Tidak lupa
sedikit perona pipi dan polesan lipstik warna merah muda.
Yoriko
memandangi dirinya cukup lama di depan cermin. Riasan wajah ini membuatnya
terlihat sangat berbeda. Selama ini dia menganggap dirinya jelek dan merias
wajahnya dengan nuansa gotik untuk menutupinya. Namun ia salah, ia terlihat
lebih segar dan manis dari sebelumnya.
Berkat itu
kepercayaan dirinya meningkat. Ia pun bergegas mengambil sepatunya dan keluar
dari apartemen. Saat keluar dia terkejut. Hari sudah gelap dan waktu kini
menunjukkan pukul 9 malam.
Selama itukah
ia berdandan?
Yoriko pergi
ke supermarket terdekat untuk membeli buah-buahan sebagai buah tangan. Dalam
hatinya ia takut apakah teman-temannya sudah menganggap Yoriko tidak datang dan
pergi. Dia bodoh sekali, kenapa ia membutuhkan waktu lama sekali hanya untuk mencari
pakaian yang cocok berdandan?
Tetapi demi
janjinya Yoriko memutuskan untuk terus berjalan. Mengikuti kata hatinya Yoriko
terus melangkah. Rasa optimisnya yang berpikir mereka masih menunggunya tetap
membuatnya bersemangat. Jika mereka masih ada disana, syukurlah. Jika tidak,
tidak apa-apa. Setidaknya Yoriko sudah berusaha.
Taman Yoyogi
hampir ditutup saat Yoriko memasukinya. Dengan alasan ia tidak akan lama,
Yoriko berhasil meyakinkan petugas taman. Suasana taman sangat sunyi,
menandakan orang-orang sudah pulang dari hanami. Angin malam berdesir menerpa
wajah Yoriko, ia merasa angin itu seperti mengucapkan selamat tinggal pada
sakura yang akan gugur malam ini. Sebagai seorang gadis gotik, Ia tidak merasa
takut pada kegelapan taman yang menyelimuti. Ia terus berjalan menuju tempat
yang diberitahu Nao, di bawah pohon sakura di depan danau kecil. Semakin ia
mendekat ke arah yang dituju, Yoriko semakin yakin mereka semua sudah pulang.
Dan ternyata benar, tidak ada siapapun lagi disana. Semuanya sudah pergi.
Yoriko
berdiri diam sejenak. Melihat pohon sakura besar di depannya. Sudah lama sekali
ia tidak melihatnya, ia hampir lupa akan keindahannya. Seluruh tubuhnya
gemetaran saat sang sakura seperti menyapanya dengan menunjukkan keagungan
sekaligus kerapuhannya, bertanya kenapa lama sekali Yoriko tidak
mengunjunginya.
Perlahan
Yoriko berbisik. Dengan penuh rasa penyesalan karena terlalu mementingkan ego
dan membiarkan rasa ketakutannya menang ia berkata, “Maafkan aku...”
Kali ini sang
sakura memberikan jawaban atas permintaan maafnya. Sang sakura yang bersinar di
bawah cahaya bulan memperlihatkan sebuah bayangan di antara cabang-cabang
pohonnya. Seorang sosok yang dirasa mustahil bisa berada disana, duduk diam
menghadap danau. Hanya ia dan sang sakuralah yang sepertinya tahu apa yang ada
di pikirannya.
Untuk
memastikan itu bukanlah sekadar khayalannya, Yoriko berjalan mendekat. Matanya
melebar saat melihat orang itu nyata. Semakin terasa nyata saat Yoriko
memanggil namanya.
“Shou? Apakah
itu kau?”
Hanya ada
kecanggungan di antara mereka saat Yoriko berhasil meraih cabang pohon dan
duduk di sebelah Shou. Walau berat badan Yoriko dan Shou masih bisa membuat
cabang itu bertahan, hanya tinggal masalah waktu sampai cabang itu berderak patah
dan membuat mereka jatuh ke tanah.
Namun itulah
yang membuat mereka berdebar. Mereka berdua tidak bisa menduga apa yang akan
terjadi bila itu benar-benar menjadi nyata.
Yoriko
menaruh bungkus buah-buahan yang dibawanya di antara mereka. Ia membuka
bungkusan itu dan mengeluarkan sebuah jeruk. Ia menawarkannya pada Shou, “Kau
mau?”
“Tidak,
terima kasih.” Jawab Shou sungkan. Kenapa gadis ini sama sekali tidak kaget
atau apa? Shou memanjat pohon sakura di taman kota malam-malam. Semua orang
pasti akan mempertanyakan kewarasannya.
Karena penasaran
setengah mati, Shou akhirnya bertanya juga. “Kau tidak kaget tiba-tiba
menemukan aku bertengger disini? Kau tidak berpikir aku gila atau semacamnya?”
Yoriko
memandang Shou. “Kau juga tidak berpikir aku sama gilanya sepertimu dengan
mengikutimu memanjat pohon ini?”
Shou tertawa.
Ternyata mereka sama gilanya. “Nao tadi menantimu. Kau tidak kunjung datang.
Kenapa?”
Lucu sekali.
Ucapan Shou barusan malah terdengar seperti Shou yang menanti dirinya. “Maaf,
aku...”
“Tidak usah dijelaskan.”
Potong Shou. “Yang penting kau datang. Yah, walau kau sedikit terlambat...”
Yoriko
tersenyum lembut. “Kenapa kau tidak ikut pulang bersama yang lain?”
“Entahlah...”
Shou mendongak dan melihat sekumpulan bunga sakura yang rindang di atas mereka.
“Kurasa aku ingin berpamitan dengan mereka lebih dulu...”
“Karena ini
hari terakhir mereka berada disini tahun ini? Sebesar itukah rasa kagummu pada
bunga sakura?” Yoriko takjub.
“Sejak kecil
aku menyukai bunga sakura. Keluargaku bahkan menanam pohonnya sebesar ini di
halaman rumah supaya kami tidak usah berdesak-desakan di taman kota saat
hanami.” Shou bercerita. “Ibuku berkata sakura memiliki banyak arti. Sebuah simbol
musim semi, kesederhanaan, kepolosan...”
“Dan
kematian...” Yoriko melanjutkan. Mereka pun hening sejenak.
“Oh ya, itu
kan kata favoritmu.” Kata Shou sedikit sarkastik, tidak pernah tahu sakura juga
memiliki arti semenyakitkan itu.
“Kau pernah
membaca sejarah tentang perang di Teluk Leyte, Filipina? Saat itu ada argumen
di pihak Jepang tentang meluncurkan pesawat dan kapal perang medan perang,
dimana akan menyebabkan bahaya besar jika mereka tetap melakukannya. Para pilot
melukis sisi pesawat mereka dengan gambar sakura sebelum meluncur ke misi bunuh
diri itu, ada juga yang bahkan membawa cabang pohon sakura bersama mereka saat
menjalankan misi. Mereka pun beranggapan bahwa kelopak sakura yang gugur
melambangkan pengorbanan para tentara yang gugur di misi itu demi rasa hormat
mereka pada sang Kaisar. Pemerintah juga mendorong para rakyat untuk percaya
bahwa jiwa mereka yang telah gugur akan berreinkarnasi di dalam bunga itu...”
cerita Yoriko.
Shou sekarang
merasa bersalah karena saat masih sekolah dia kurang memerhatikan pelajaran
sejarah Jepang.
“Setiap orang
Jepang pasti punya kenangan tersendiri tentang bunga sakura, aku yakin itu.”
balas Shou. “Makanya acara hanami menjadi tradisi, bukan?”
Sebelum
Yoriko berucap, Shou menahannya lebih dulu, “Dan jangan cerita padaku soal
sejarah hanami. Aku jadi merasa seperti orang bodoh disini.”
Yoriko
terkikik. “Baiklah, kau memang benar soal itu. Setiap orang juga pasti akan
kagum saat mereka melihat sakura secara langsung.”
“Masa?” Lirik
Shou. “Nampaknya hanya kau yang tidak termasuk. Kenapa?”
“Kenapa
memangnya? Itu urusanku, seperti yang kau bilang kemarin. Kau tidak perlu
tahu.” Yoriko memalingkan wajahnya.
“Kemarin kau
berkata dengan lantang tidak akan datang kemari karena benci sakura. Tapi
sekarang kau malah duduk di sini bersamaku menceramahiku tentang sakura bagi
sejarah Jepang. Siapapun akan penasaran dengan sikapmu, Yoriko.”
Yoriko kaget.
Seingatnya, ini adalah pertama kalinya Shou menyebut namanya. “Kau benar-benar
ingin tahu? Kenapa? Kau tidak seperti Shou yang kukenal, tidak pernah peduli
pada orang lain kecuali dirimu sendiri.”
“Memangnya
aku seburuk itu?” sela Shou. “Menurutmu aku seburuk itu?”
Yoriko
terkesiap. Tidak berpikir Shou akan bereaksi seperti itu. Terlihat jelas di
rasa bersalah di wajah Shou bila Yoriko menjawab ya, namun Yoriko pasti
berbohong jika menjawab tidak. “Sejujurnya ya, aku menganggapmu begitu. Tapi aku
tidak pernah tahu alasannya.”
“Dulu aku tidak seperti itu, kau tahu?” dari cara Shou mengucapkannya, dia ingin sekali meyakinkan Yoriko bahwa dulu ia tidak seperti itu. “Aku bahkan dianggap terlalu ikut campur urusan orang lain karena aku terlalu peduli.”
“Jadi, karena
itukah kau berubah menjadi tidak peduli?”
Shou
berpura-pura berpikir, “Bagaimana kalau begini? Aku akan memberitahu jawabannya
kalau kau bercerita terus terang padaku mengapa kau benci sakura?”
Yoriko
tertawa kering, “Belum cukup adil bagiku. Teman-teman satu bandmu mungkin tahu
penyebab masalah kepribadianmu. Tapi aku, tidak ada satupun yang pernah
mendengar ceritaku.”
“Mereka
mungkin tahu penyebabnya, tapi mereka belum mendengar cerita sebenarnya.
Lagipula disini hanya ada aku dan sakura. Rahasiamu aman bersama kami.” Shou
meyakinkan Yoriko dengan senyuman khas yang tidak pernah ia perlihatkan lagi
selama 4 tahun.
“Oh, baiklah.
Toh kau juga akan menertawakannya nanti...” Yoriko menyerah dan mulai
bercerita. “Kau pasti tahu aku dari panti asuhan, bukan?”
Shou
mengangguk. Seorang gadis cilik tangguh yang berhasil bertahan dari kejamnya
dunia dengan menjadi seorang seniman. Itu bisa menjadi cerita yang bagus.
“Saat itu aku
masih berumur 8 tahun. Di halaman belakang panti asuhanku, ada sebuah pohon
sakura besar ditanam di sudut pekarangan. Patut kuberitahu halaman itu selalu
menjadi tempat bermain anak-anak panti asuhan setiap sore. Saat musim semi tiba
dan sakura mulai bermekaran, semua anak mengaguminya.” Kata Yoriko.
Yoriko
bukanlah salah satu anak yang suka bermain di halaman belakang setiap sore.
Entah karena keanehannya atau ketidak mampuannya dalam bergaul, Yoriko
dikucilkan dari teman-temannya. Kepolosan Yoriko sering menjadi bahan lelucon
anak-anak yang lebih tua darinya, karena Yoriko lebih suka membaca buku dan
membicarakan tentang dongeng-dongeng ia malah dianggap aneh dan diejek, rambut
Yoriko yang dulunya panjang sering ditarik oleh teman-temannya, kaki Yoriko
disandung dengan sengaja oleh mereka saat makan malam sampai makanan yang
Yoriko bawa tumpah.
Yoriko
terhipnotis keindahan bunga sakura itu dari jendela perpustakaan. Ia segera
berlari keluar, ingin melihat lebih dekat bunga itu. Ia ingin sekali memetik
satu bunga itu supaya ia bisa menyimpannya di balik tempat tidurnya. Karena
terlalu tinggi untuk diraih, Yoriko nekat memanjati pohon itu.
Anak-anak
yang menyaksikan aksi Yoriko, menyuruhnya turun dan mengejeknya lagi. Mereka
melempari Yoriko batu supaya Yoriko turun. Namun Yoriko tidak peduli. Yoriko terus
memanjat dan ketika ia sampai di cabang terdekat, dia bergerak ke cabang itu
dan meraih tangannya untuk memetik bunganya.
“Sayangnya
sakura tidak berpihak padaku. Karena cabang itu tidak sanggup menahan beban
tubuhku, cabang itu pun berderak dan patah. Membuatku jatuh ke tanah
bersamanya...” ujar Yoriko pelan. Hatinya masih sedikit sakit mengingat
kejadian itu. “Teman-temanku menertawaiku, membiarkanku begitu saja terbaring
menangis di tanah.”
“Tidak ada
satupun dari mereka menolongmu?” tanya Shou terkejut dan kesal. Ia pun semakin
kesal saat Yoriko menggelengkan kepala.
“Aku
menderita patah tulang di tangan kiriku. Tidak itu saja, orang-orang panti
asuhan menghukumku karena telah merusak pohon sakura itu. Gara-gara itu aku
semakin diasingkan, tidak hanya teman-teman yang menganggapku aneh semenjak
itu, para pengurus pun berpikiran sama.” Yoriko melanjutkan ceritanya.
“Mereka sudah
bosan mengurus kami, kurasa. Mengurus banyak anak nakal adalah pekerjaan yang
tidak mudah. Aku bisa memahami itu.”
Shou
terkesima. Masa kecil Yoriko ternyata tidak jauh berbeda darinya. Demi meraih
keinginan kecilnya, gadis ini mendapatkan patah tulang. Dia jadi sedikit
menyesal karena selama ini selalu memberontak dari orang tuanya karena hal yang
mungkin dianggap kecil bagi Yoriko.
“Membutuhkan
waktu sekitar 10 tahun lebih untukku menertawakan kejadian itu bila aku
teringat. Mereka benar, aku memang aneh...” Yoriko hanya mengangkat bahu. “Oke,
sekarang giliranmu. Kau harus menepati janjimu.”
Shou tertawa
pasrah. Ia beringsut ke arah Yoriko seakan dia ingin Yoriko saja yang mendengar
ceritanya. Ia pun mulai bercerita tentang segalanya yang mengganjal di hatinya
selama 4 tahun ini. “Aku mencintai orang yang salah.”
Dalam sekejap
Yoriko diam mendengar pernyataan Shou. Meski Yoriko sudah tahu siapa yang Shou
maksud, ia ingin mendengar secara langsung curahan hati Shou dari hatinya yang
sudah tertutup selama 4 tahun.
“Mungkin
setelah ini kau akan menyebutku pengecut atau menyedihkan, tapi tidak masalah.”
Ucap Shou sebelum memulai ceritanya. “Empat tahun lalu, tidak kuduga aku akan
jatuh cinta pada wanita ini. Dia cerewet, menyebalkan, selalu membuatku ingin
membenturkan kepalaku ke dinding karena sikapnya yang terlalu serius. Tapi aku
tidak bisa menolaknya, pada akhirnya aku menyukainya juga.”
Sayangnya,
wanita itu sudah dimiliki orang lain. Tentu saja wanita itu hanya menganggapnya
salah satu sahabatnya dan dia tidak bisa menerima Shou. Walau pria yang
memilikinya mempunyai banyak kesalahan, wanita itu selalu memaafkannya dan
tidak pernah mengkhianatinya.
“Anehnya,
justru karena itulah aku semakin mencintainya. Karena dia tidak pernah
berkhianat pada pria itu. Aku berusaha melupakannya dengan berkonsentrasi pada
bandku yang mulai memasuki manajemen rekaman. Lucunya yang membantuku memasuki
manajemen itu adalah dia, sebagai permintaan maafnya terhadapku.” Kata Shou
setengah kebingungan. “Maksudku, kesuksesan bandku tentu saja adalah keinginan
utamaku. Tapi aku tidak menyangka prosesnya bisa seaneh itu...”
Yoriko paham.
Sedingin dan sekejam apapun manusia, anehnya dia pasti pernah merasakan jatuh
cinta seperti ini. Cinta tidak terbalaskan atau cinta yang terluka, yang
membuat mereka menutup hati supaya tidak merasakan rasa sakit itu lagi.
“Kalau kau
ingin tahu siapa wanita itu, kau mengenalnya. Dia atasanmu, Avaron Yutaka.” Akhirnya
Shou bisa menyebutkan nama Avaron dengan nama belakang barunya.
“Oh...”
Yoriko berpura-pura kaget. “Lalu... sekarang apa kau masih mencintainya?”
“Sebagian
kecil diriku masih mencintainya. Tapi aku harus melupakannya, bukan? Sayangnya
sulit untuk dilakukan, mengingat terkadang dia masih berada di dekatku dan
terus memberikan kebaikannya padaku.” Imbuh Shou. “Dia membuatku kacau.”
Yoriko tidak
mampu berkata apapun. Shou pasti tidak pernah selancar ini membicarakan
masalahnya di depan orang lain termasuk teman-temannya. Yoriko tidak ingin
salah kata bisa menghancurkan kepercayaan Shou terhadapnya.
“Sedikit lagi
aku bisa meraihnya, kau tahu?” kata Shou bernada putus asa. “Sedikit lagi aku pasti
bisa memilikinya. Tinggal sedikit lagi... sama seperti bunga sakura yang
sedikit lagi bisa kau raih.”
Kembali
keheningan mengisi kekosongan di antara mereka. Desir angin malam semakin
kencang dan merasuki tulang. Yoriko merapatkan jubah yang menyelimuti tubuhnya
dan butuh beberapa menit untuk akhirnya berkata, “Sepertinya kita harus
turun...”
Shou tidak
merespon ucapan Yoriko. Pikiran Shou kembali menerawang ke arah yang tidak
menentu. Ternyata bukan hanya takdir yang membuat mereka duduk bersama di pohon
ini, nasib mereka juga. Selama ini Shou berpikir dialah yang paling menderita,
namun Yoriko pernah mengalami yang lebih menyakitkan. Gadis ini telah membuka
lebar-lebar matanya.
Merasa
diabaikan, Yoriko pun mendapat sebuah ide bagus. “Bagaimana kalau begini? Aku
akan memetik salah satu bunga sakura sebagai bukti kalau sebenarnya kita bisa
mendapatkan apa yang kita mau?”
“Huh?
Maksudnya?” Shou menyipitkan matanya, tidak mengerti.
“Ya, kalau
aku berhasil memetiknya, kau akan tenang karena artinya kau tahu kau bisa
mendapatkan ‘sakura’mu!” Yoriko bergerak lebih jauh menuju cabang yang lebih
rapuh untuk memetiknya.
“Jangan! Kau
gila, ya? Nanti kau bisa jatuh!” Shou melarang Yoriko. Dia menarik tangan
Yoriko agar gadis itu tidak bergerak lebih jauh lagi.
“Lepaskan
aku, sedikit lagi aku bisa meraihnya!” Yoriko merentangkan tangan satunya lagi,
sejengkal lagi Yoriko bisa meraih bunga sakura itu dan dia tidak akan
melepaskan kesempatan itu.
Karena
tarikan Shou dan Yoriko yang tidak mau diam, gadis itu akhirnya kehilangan
keseimbangannya. Oleng, Yoriko pun jatuh, gadis itu menjerit ketakutan. Teringat
bayang-bayang masa lalunya dimana jatuh dari pohon agung ini sangat
menyakitkan, ia hampir menangis dan pasrah.
Tetapi sebuah
tangan memegangi tangan Yoriko supaya tidak jatuh untuk kedua kalinya. Tangan
yang sangat erat memeganginya, berjuang agar Yoriko tidak merasakan rasa sakit
itu lagi.
“Bertahanlah,
Yoriko...” kata Shou meringis. Sementara tangan kanannya memegangi tangan
Yoriko, tangan kirinya memegangi batang pohon agar mereka bisa bertumpu. “Kau
bisa kan memanjat lagi pelan-pelan?”
“Ti... tidak
bisa! Aku tidak bisa!” jerit Yoriko panik. Ia mulai menangis. Sekarang terlihat
jelas ketakutan di mata Yoriko atas traumanya. “Jangan coba-coba kau lepaskan
tanganmu, Shou!”
“Aku tidak
akan melepaskanmu tapi aku butuh kau untuk tetap tenang.” Shou meringis
kesakitan karena kedua tangannya tidak akan mampu bertahan lama. “Kau bisa,
Yoriko. Gunakan tanganmu yang satu lagi, raihlah cabang di depanmu. Kau pasti
bisa.”
“Aku tidak
bisa, Shou...” tangisan Yoriko semakin keras. “Kumohon, jangan lepaskan aku...”
Yoriko bisa
mendengar tawa itu lagi. Tawa mengejek dari anak-anak yang tidak menyukainya,
semakin keras Yoriko menangis semakin jelas tawa itu terdengar. Yoriko berusaha
keras mengusir bayang-bayang itu.
“Kau tidak
sendirian sekarang, Yoriko.” Suara Shou yang menenangkan kini membuat Yoriko
perlahan berhenti menangis. “Kalau kau jatuh, aku pun jatuh. Kau tidak perlu
takut.”
“Tapi...” Yoriko
melihat ke bawah. Mereka ternyata cukup jauh dari tanah.
“Shh...
tenanglah. Kalau aku berkata aku tidak akan melepaskanmu, aku
bersungguh-sungguh.” Shou mencoba tersenyum. Walau tangannya terasa semakin
sakit dan mulai kesemutan. Perlahan pegangan tangan mereka merenggang, kini
Yoriko menggunakan kedua tangannya agar tidak bisa lepas dari Shou.
Tiba-tiba
mereka mendengar suara cabang pohon berderak. Waktu mereka sudah habis.
“Sh...
Shou...” kata Yoriko ketakutan. Ia menatap Shou lekat-lekat, mereka saling berpandangan.
Yoriko mendapatkan sedikit keberanian dari mata Shou, mereka pasrah sekarang.
Cabang pohon
itu akhirnya patah. Mereka pun jatuh ke tanah. Saat mereka berada di tanah,
Yoriko menutup matanya. Rasanya memang tidak sesakit dulu, tapi apa yang akan
terjadi jika ia membuka matanya? Disaat sama Yoriko merasakan seluruh tubuhnya
dengan erat dipeluk seseorang. Orang itu berada di atas tubuhnya sekarang.
“Yoriko, kau
tidak apa-apa?” ia mendengar Shou berbisik di telinganya. Berkat suara bisikan
itu, Yoriko mau membuka matanya. Yang terlihat di depannya adalah wajah Shou
yang tersenyum kepadanya.
Dengan suara
bergetar, Yoriko menjawab, “Ya... aku tidak apa-apa... kurasa...”
“Sudah
kubilang aku tidak akan membiarkanmu jatuh sendirian, kan?”
Shou benar. Padahal
bisa saja tadi ia membiarkan Yoriko jatuh sendirian dan menertawakannya, tetapi
Shou tidak melakukannya. Hampir saja Yoriko kembali menangis, menangis bahagia.
“Kau bisa
saja membiarkanku jatuh sendirian... kenapa kau melakukannya?” tanya Yoriko
lirih.
“Aku ingin
membuktikannya kepadamu dan diriku sendiri, kalau kita bisa mengalahkan rasa
takut jika kita hadapi bersama-sama.” Shou bangkit dan duduk di samping Yoriko.
Ia menarik Yoriko untuk ikut bangun.
Mereka
mengambil napas sejenak dan menenangkan diri. Menatap cabang sakura yang sudah
patah di depan mereka. “Pohon ini milik kota. Mereka pasti akan memberi kita
denda...” kata Yoriko.
Shou tertawa.
Sempat saja Yoriko memikirkan hal itu. “Tapi hasilnya sepadan. Kau bisa
melupakan traumamu itu, bukan?”
Yoriko diam
dan berpikir. Ia tersenyum lebar. “Ya. Bagaimana denganmu?”
Shou memasang
ekspresi cuek dan mengangkat bahunya. “Ya, kurasa... kurasa kita harus
berterima kasih pada badan gemukmu yang berhasil membuat kita jatuh.”
Yoriko mulai kesal
karena sifat asli Shou muncul. “Aku tidak gemuk!”
“Aaa...
kebanyakan cewek pasti akan berkata begitu. Apalagi gaunmu yang menyebalkan itu
semakin memberati tubuhmu saja.” Shou tetap mengejek Yoriko.
“Sudah
kubilang aku tidak gemuk!” Yoriko memukul keras lengan Shou sampai pria itu
menjerit kesakitan.
“Sial.” Shou
mengusap lengannya. “Ini lebih sakit daripada jatuh dari pohon, tahu!”
“Aku tidak
peduli.” Yoriko menirukan gaya bicara Shou dan menjulurkan lidahnya.
Shou hendak
membalas Yoriko, tetapi suara petugas taman yang berteriak tidak jauh dari
mereka membuat mereka berhenti. “Hei, siapa disana!? Apa kalian tidak tahu
taman sudah tutup!?”
“Kalau
petugas itu menemukan kita disini, kita pasti ditahan.” Kata Yoriko panik.
“Kita harus bagaimana?”
“Kalau tidak
salah, dia hanya bertugas sendirian malam ini. Jadi pintu taman tidak ada yang
menjaga bila dia mencari kita. Satu-satunya cara kita adalah...” Shou dan
Yoriko saling berpandangan dan memiliki satu pikiran.
“LARIIII!!!”
seru mereka bersamaan. Shou memegangi tangan Yoriko dan berlari bersama dengan
lepas dan bahagia dari sebelumnya. Gelak tawa mereka menggema di taman yang
sunyi, sebagai tanda bahwa mereka telah meninggalkan seluruh beban mereka di
sana.