23
Mendengar
kabar dari Juri bahwa ia telah kembali ke Jepang, Shou memutuskan untuk menemui
sepupunya itu di tempat kerjanya, di rumah sakit pusat yang letaknya ternyata
tidak terlalu jauh dari tempat tinggal Shou. Mengingat dia sedang menganggur di
rumah dan dia juga harus membicarakan sesuatu dengan Juri, usai sarapan Shou
langsung keluar dari apartemennya. Ia menaiki bis yang akan membawanya ke halte
persis di seberang rumah sakit dalam waktu 15 menit.
Sebelum ia
berhenti di halte bis, Shou mampir ke toko roti terdekat untuk membeli beberapa
potong kue dan roti sebagai buah tangan. Ia tahu betapa sukanya Juri pada kue
blackforest yang dibawanya sekarang.
Dalam
perjalanan di bis, Shou memikirkan janji yang ia buat kepada Juri sebelum
sepupunya itu pergi. Apakah Juri sudah tahu apa yang terjadi selama ia pergi?
Apakah ia sudah menemui Yoriko dan mendengar gadis itu bercerita Shou telah
menyakitinya?
Jika ya, Juri
pasti marah besar padanya. Namun ketika Juri menghubunginya semalam, Juri
terdengar baik-baik saja, seolah tidak ada masalah apapun. Bukannya membuatnya
lega, Shou malah semakin was-was apakah Juri nanti akan menghakimi atau
memarahinya saat mereka bertemu.
Saat ia
hanyut di dalam pikirannya, tiba-tiba seseorang mencolek pundaknya. Seorang
gadis remaja berseragam sekolah yang duduk di sampingnya. Gadis itu bertanya
dengan begitu antusias dan tidak percaya, seakan Shou adalah hantu atau
semacamnya. “Apakah kau Shou? Vokalis band Alice Nine?”
Tidak
menyangka dan dalam keadaan tidak siap bertemu seorang penggemar pagi ini, Shou
menjawab, “Ya, sayangnya begitu...”
Lalu ia
mendengar ocehan itu seperti biasanya dari setiap penggemar yang ia temui.
Pujian dan sanjungan yang hanya bisa Shou balas dengan senyuman. Ia mendengar
sekilas tentang gadis itu datang ke konsernya, dan perasaannya yang takjub
karena tidak menyangka ia bisa bertemu dengan idolanya di bis yang biasa
membawanya ke sekolah setiap hari. Dan akhirnya... gadis itu mengeluarkan
secarik kertas dan pena dan memberikannya Shou untuk sebuah tanda tangan
sebagai cindera mata.
Shou tetap
berusaha bersikap ramah dengan menorehkan tanda tangannya dan menyerahkannya
pada gadis itu. Gadis yang tidak ia ingat namanya itu berkali-kali mengucapkan
terima kasih dan memberikan ucapan seperti selamat berjuang dan kapan Shou dan
bandnya akan mengeluarkan karya baru lagi.
Lalu sebelum
gadis itu turun di halte berikutnya, ia memberikan pertanyaan akhirnya dengan
sangat penasaran, “Kenapa anda menaiki bis pagi-pagi seperti ini? Anda ingin
pergi kemana?”
Shou
kebingungan hendak menjawab apa. Pasti akan sangat rumit dan panjang bila ia
memberitahu gadis itu kemana tujuannya. “Ngg... hanya ingin jalan-jalan mencari
inspirasi. Aku tidak ingin menaiki mobil karena inspirasiku berasal dari
kehidupan sosial dan apa yang kucari itu bisa ditemukan di bis ini...”
Untunglah
sang gadis percaya pada jawaban diplomatisnya namun sialnya malah semakin
membuat gadis itu semakin kegirangan saja. Shou akhirnya bisa bernapas lega
setelah gadis itu turun dari bis. Bangku kosong di sampingnya pun diisi oleh
seorang pria tua yang baru memasuki bis dengan tongkat sebagai alat bantunya
berjalan.
Pria itu
tampak baik dan tidak banyak berbicara seperti gadis sekolah itu. Shou tidak
perlu khawatir sekarang.
“Ingin
bertemu siapa, anakku?” pria tua itu menyapanya dengan ramah. Entah Shou yang
sudah lama tidak berinteraksi dengan dunia luar atau dia memang bukan orang
yang ramah hingga ia merasa canggung disapa seperti itu oleh orang asing.
“Sepupuku.”
Jawab Shou singkat.
Pria itu tersenyum.
“Tidak banyak orang yang mau membeli banyak roti dari toko roti mahal jika
bukan untuk orang istimewa.”
Ketika pria
tua itu menyebut orang istimewa, Shou langsung teringat pada Yoriko. Shou
mungkin juga akan membelikan gadis itu banyak roti dan kue hanya untuk membuat
Yoriko tersenyum. Mungkin.
“Dia seorang
dokter dan baru pindah dari luar negeri. Jadi... kurasa dia berhak mendapat
sambutan yang sedikit istimewa.” Shou mulai terbuka pada pria tua asing di
sampingnya itu, tanpa merasa curiga dan terganggu sedikit pun.
“Aah...
seorang dokter rupanya.” Pria itu terkekeh. “Aku juga punya anak lelaki yang
seorang dokter. Dia memutuskan membuka praktik di luar kota daripada di Tokyo.”
“Wow. Anda
pasti bangga memiliki anak seperti itu.” Shou teringat bagaimana ayahnya selalu
membandingkan dirinya dengan Juri dulu. Ia ingin tahu apakah ayahnya juga
membanggakan Shou seperti yang dilakukan pria tua ini.
“Yah, dia
hanya melakukan apa yang dirasa tepat untuk hidupnya, nak. Kulihat kau seusia
dengannya, kurasa. Dan sebentar lagi ia akan segera menikah. Bagaimana
denganmu?”
Shou
menggaruk kepalanya tidak jelas. Pagi ini terasa sangat aneh. Pertama gadis
penggemar tadi, sekarang kakek ini. “Ngg... kurasa aku tidak seberuntung putra
anda...”
“Kau seorang
pemuda tampan, nak.” Ujar pria itu. “Pasti tidak sulit bagimu untuk mendapatkan
seorang gadis baik.”
Ya, dia akan
mendapatkannya jikalau ia tidak bersikap brengsek dengan membiarkan gadis baik
itu pergi begitu saja darinya. Oh Tuhan, alam semesta, atau apapun wujudmu,
masih kurangkah Kau memberikan teguran ini dariMu? Shou menjerit di dalam hati.
“Yah, kuharap
begitu.” jawab Shou seadanya. Ia berdiri dan berpamitan pada pria tua di
sampingnya. “Maaf, sebentar lagi aku sampai. Terima kasih atas semangatnya.”
Pria tua itu
melemparkan senyum padanya sebelum Shou turun dari bis. Begitu turun, Shou
sekali lagi menarik napas dan menghembuskannya dengan lega beberapa kali. Sungguh,
ia tidak akan menaiki bis lagi selama beberapa waktu.
Dari halte,
Shou harus berjalan beberapa ratus meter agar mencapai zebra cross untuk
menyeberang. Oleh karena itu, ia menyusuri padatnya arus pejalan kaki di
trotoar. Sebagai seorang pria yang tingginya di atas rata-rata orang Jepang,
Shou tetap merasa pendek dan tertelan oleh arus. Ia tidak akan pernah bisa
menyamai langkah orang-orang di sekitarnya. Mereka melangkah secepat waktu
berjalan, pakaian dan ekspresi wajah mereka selalu sama, terlihat seperti
diburu oleh waktu yang selalu menghantui.
Setelah sekian
lama, ia pun merasakan betapa kejamnya kota besar. Baru beberapa menit ia
berada di antara lautan manusia ini, ia sadar selama ini ia terbuai oleh
kenikmatan semu yang malah membuatnya semakin terhanyut. Kini ia sadar bahwa di
jalanan ini, tidak peduli bagaimana penampilannya, gelar, ketenaran, dan
lainnya, semua orang disini sama. Semua orang mengejar kehidupan yang lebih
baik dengan caranya masing-masing. Shou ingat bagaimana ia melakukannya sebelum
mendapatkan ketenaran itu.
Ketika ia
berusaha untuk terus berjalan, ia melihat seseorang berjalan di antara
kerumunan tepat di depannya. Sosok seorang gadis dengan jubah hitam menutupi
tubuhnya, ia berjalan dengan sangat tenang. Seakan ia tidak terpengaruh oleh
arus dan tidak diburu oleh waktu seperti yang lain.
Dari jubah
hitam yang sangat unik itu, Shou langsung tahu siapa gadis itu dan memanggil
namanya, “Yoriko!”
Sekilas gadis
itu menoleh ke arahnya dengan wajahnya yang sendu. Senang Yoriko menyadari
keberadaannya, Shou langsung berlari untuk meraih gadis itu. Tidak ada yang
tahu betapa senangnya ia bisa bertemu gadis itu pagi ini, seolah mentari cerah
menyinari hati Shou dan menghangatkannya.
Namun Yoriko
tidak sedikit pun membalas senyumannya dan Shou keheranan dibuatnya. Apakah
gadis itu masih marah padanya?
Shou berlari
semakin cepat dan memotong kerumunan sampai ia hampir tersandung. Tetapi gadis
yang dikejarnya seperti berjalan lebih cepat dari langkahnya. Shou terus
memanggil namanya berkali-kali meski tidak digubris. Ia melihat Yoriko berbelok
menuju zebra cross untuk menyeberang. Tanpa melihat kiri kanan, gadis itu terus
berjalan, tidak sedikit pun melihat ada sebuah truk besar melaju dengan sangat
cepat ke arahnya.
“Yoriko!!!”
seru Shou dari pinggir jalan untuk menyadarkan gadis itu. Namun Yoriko hanya
berbalik dan menatapnya tanpa ekspresi tepat di tengah jalan, membiarkan truk
itu berjalan semakin dekat dan menghantam dirinya.
Tidak ingin
melihat pemandangan mengerikan yang sebentar lagi akan dilihatnya, Shou menutup
matanya. Berpikir ia akan mendengar suara klakson dan decitan rem serta
hantaman yang sangat menyakitkan, Shou menunggu beberapa lama.
Namun ia
tidak mendengar apapun. Perlahan-lahan ia membuka matanya, kerumunan berjalan
seperti biasanya seolah tidak terjadi apapun. Seolah hanya Shou yang melihat
seorang gadis berwajah sedih berdiri di tengah jalan, menyerahkan hidupnya
begitu saja pada maut.
Saat Shou
melihat tempat dimana gadis yang dirindukannya tadi berdiri, ia hanya menemukan
kekosongan.
Gadis itu
tidak pernah berada disana...
Shou memasuki
rumah sakit dalam keadaan kalut dan bingung. Benarkah gadis yang ia lihat di
persimpangan jalan barusan adalah Yoriko? Kemana gadis itu pergi? Bagaimana ia
bisa menghilang begitu saja dalam sekejap di tengah jalan. Shou terus mengurut
dahinya jika semua ini hanyalah bayangan atau ilusinya.
Tetapi Shou
menampiknya. Mana mungkin? Gadis itu terlihat sangat nyata, seperti ia bisa
disentuh. Jika tidak, mana mungkin gadis itu menoleh padanya saat Shou
memanggil namanya?
Lamunannya
terusik saat Shou mendengar handphonenya berdering. Ia mendapat e-mail dari
Juri bahwa ia menunggu Shou di kafetaria rumah sakit.
Sambil
berjalan menuju kafetaria, Shou memperhatikan suasana rumah sakit. Rumah sakit
ini sangat besar dan memiliki fasilitas terlengkap di seluruh negeri. Shou
takjub dengan usaha keras Juri untuk bisa diterima disini.
Kafetarianya
juga luar biasa. Tidak seperti bayangan Shou yang mengira makanan kafetaria
pasti sangat tidak mengundang nafsu makan dan menjijikkan, ia melihat daftar
menu dan makanan yang tersedia di etalase ternyata membangkitkan selera makan.
Seluruh menu juga disajikan dengan baik dan harganya terjangkau.
Shou melihat
Juri dengan jas putihnya duduk di salah satu meja, menikmati segelas teh dan
beberapa tangkup roti bakar keju. Melihat Juri dari jauh, Shou jadi
bertanya-tanya mengapa Yoriko mencintai dirinya yang tidak ada apa-apanya
dibanding Juri yang dari sini terlihat begitu sempurna.
“Hei...” Shou
duduk di hadapan Juri dan menyapanya.
“Hei...”
sahut Juri pelan sambil terus mengunyah makanannya.
“Aku membawa
ini.” Shou memberikan bungkus roti yang dibawanya pada Juri.
“Oh... terima
kasih. Dengan ini aku tidak perlu lagi membeli makan siang.” Juri menerima
bungkusan roti itu dengan wajah berseri-seri.
“Aku
mengganggumu?” Shou memastikan kedatangannya tidak mengganggu jadwal praktik
Juri.
“Tidak. Jadwal
praktikku masih 1 jam lagi.” Jawab Juri. Ia memakan potongan akhir rotinya dan
menghabiskan tehnya.
“Oh...” jawab
Shou datar.
Juri bisa
menangkap Shou sedang gelisah karena sesuatu, terlebih Shou sama sekali tidak
tertarik untuk memesan sesuatu dari kafetaria. “Aku masih bertanya-tanya kenapa
Shou yang sedang hiatus dan senang bangun siang datang menemuiku sepagi ini.”
“Yah...” Shou
tertawa gugup. “Pertama-tama aku ingin mengucapkan selamat datang kembali padamu.”
Juri memberikan
tatapan tajam pada Shou agar sepupunya langsung ke inti pembicaraan. “Kau tidak
apa-apa, Shou? Kau belum sarapan, ya?”
“Tidak, aku
sudah sarapan.” Jawab Shou. “Aku ingin bercerita sesuatu padamu.”
“Silakan.”
Tanpa
basa-basi lagi, Shou bercerita tentang keanehan yang ditemuinya tadi. Dari ia
bertemu dengan penggemarnya, seorang kakek yang ramah, hingga sosok Yoriko di
persimpangan jalan. Walaupun sulit bagi Juri untuk mempercayai cerita Shou, ia
tahu Shou berkata jujur.
“Mungkin kau
kelelahan.” Juri mengambil kesimpulan yang paling masuk akal. “Atau kau sedang
mempunyai banyak pikiran.”
“Kau sudah
menemui Yoriko, Juri?” tanya Shou.
“Tentu saja.
Tapi kami tidak bertemu lagi sejak seminggu lalu. Dia terlihat sama persis
seperti Yoriko yang kau lihat tadi. Kami juga tidak ada janji untuk bertemu
hari ini disini. Mungkin kau salah lihat.” Jawab Juri tenang, tidak terpengaruh
oleh cerita Shou.
Namun Shou masih
bersikeras dan tidak percaya. “Mungkin dia datang tanpa memberitahumu?”
“Tidak, Shou.
Aku cukup tahu bagaimana keadaan Yoriko. Dia tidak mungkin keluar dari
rumahnya.” Jawab Juri tegas hingga Shou terdiam.
Hening
sejenak sebelum Shou berkata pelan, “Kalau begitu... mungkin aku salah
melihat?”
“Mungkin kau
merindukannya.” Kata Juri santai, tidak peduli Shou dibuat terhenyak oleh
ucapannya. Namun sebelum Shou membalasnya, Juri meneruskan. “Kalung itu milik
Yoriko, bukan?”
Shou menunduk
dan melihat kalung salib di lehernya. Juri ternyata cermat juga untuk menyadari
ini milik Yoriko. “Kau tahu darimana?”
“Entah kau
yang mendadak jadi religius atau kalung itu memang milik seorang gadis yang kukenal...”
Juri bergumam. “Dimana kau menemukannya?”
“Di kamar
yang kau gunakan untuk tidur di apartemenku...” jawab Shou.
Juri hanya
mengangguk-angguk paham dan mengusap bibirnya dengan tisu. Ia memanggil seorang
pelayan untuk membawakannya secangkir teh hangat lagi. “Aku tidak melihat kalung
itu saat berkemas.”
Shou
memandang Juri penuh rasa ingin tahu. Masih ada satu pertanyaan yang belum
terjawab. “Kau tahu... aku sedikit menyinggung dirimu saat aku bertengkar
dengan Yoriko tempo hari...”
Juri sekarang
memperhatikan Shou dengan seksama. Ia ingin tahu bagaimana sudut pandang Shou
tentang masalah ini.
“Aku pikir
dia mencintaimu.” Kata Shou. “Tapi itu asumsi yang cukup masuk akal bagiku.
Kalian berdua sangat dekat, rukun dan saling memahami. Semua orang pasti
mengira kalian adalah pasangan kekasih. Ketika aku mendengar Yoriko selalu
membicarakan dirimu, aku menjadi panas. Lalu aku juga ingin tahu apakah kau
marah padaku karena aku tidak menepati janjiku padamu untuk menjaganya.”
“Kalau
dipikir, aku dan Yoriko memang cocok menjadi pasangan.” Juri sedikit menggoda
Shou sampai Shou merasakan jantungnya seperti berhenti. “Kelihatannya kau sudah
tahu ia ternyata lebih mencintaimu daripada aku.”
Shou tersenyum
masam. Sebenarnya ia sudah bisa melihatnya sejak awal, tetapi ia terlalu angkuh
untuk menyadarinya. “Jadi kau tidak mencintainya?”
“Yoriko sudah
seperti adik yang tidak pernah kumiliki. Lagipula, tidak ada gadis lain yang
bisa menghadapi pria macam kau selain Yoriko.” Jawab Juri enteng. “Saat kau
berjanji padaku untuk menjaganya, dari nanar matamu, aku tahu kau ingin
menjaganya hanya untuk dirimu sendiri.”
Shou
mengerang penuh sesal. “Ya... dan aku mengacaukan semuanya...”
“Sekarang
giliran aku bertanya padamu.” nada bicara Juri membuat Shou terfokus padanya.
Kali ini Juri tidak ingin mendapat jawaban main-main. “Kenapa kau sangat peduli
pada perasaannya?”
“Ini pasti
terdengar gila bahkan bagi diriku sendiri. Tapi kurasa...” meski ragu, tersirat
rasa terpesona di balik nada bicara Shou. “Aku mencintainya...”
Sore di hari
Minggu itu seperti biasanya Aya hendak keluar dari apartemennya untuk pergi
bekerja. Dia menghabiskan jus jeruknya dan mengambil jaket sebelum ia membuka
pintu apartemennya.
Namun saat ia
membuka pintu, seorang gadis berdiri di depannya, membawa sepotong besar
rainbow cake kesukaan Aya dengan wajah memohon.
“Yoriko...”
kata Aya. Ia tidak ingat sudah berapa minggu ia tidak melihat sahabatnya yang
selalu menghindar darinya dan tahu-tahu muncul di hadapannya dengan wajah tidak
berdosa. Sedikit jengkel, Aya bertanya, “Apa yang kau lakukan disini?”
“Aku ingin
berbicara denganmu. Kau mau kan?” Yoriko memohon.
“Aku harus
bekerja sekarang. Kasihan Avaron-san menjaga petshop sendirian.” Balas Aya
ketus. Bukannya dia marah atau benar-benar tidak ingin berbicara pada Yoriko,
tetapi ia ingin tahu mengapa Yoriko muncul begitu saja di hadapannya seolah
tidak ada apapun yang terjadi.
“Kumohon. Aku
berjanji ini tidak akan lama. Aku membawa rainbow cake kesukaanmu. Akan sangat
sayang jika kau lewatkan, bukan?” kata Yoriko sambil menyeringai menggoda dan
mencondongkan rainbow cake itu ke wajah Aya.
“Hh...
baiklah...” Aya pun luluh. Siapa yang tidak menolak jika disogok kue kesukaan?
Ia menyuruh Yoriko masuk ke dalam apartemennya.
Yoriko
menaruh rainbow cake yang dibawanya di atas meja. Tadinya ia hendak membuka
tutup plastik cake itu dan menaruhnya di atas piring, tetapi Aya lebih dulu
memintanya berbicara.
Yoriko
melihat sahabatnya berdiri di depannya, menyilangkan kedua tangannya di dada
dengan wajah serius, mendesaknya untuk segera membicarakan apapun yang hendak
Yoriko bicarakan. Yoriko pun dengan kepala tertunduk berkata, “Aku datang
kesini untuk meminta maaf...”
Aya diam
sejenak sebelum menjawab, “Kenapa tiba-tiba kau meminta maaf?”
“Karena aku
mengabaikanmu beberapa minggu ini. Aku tidak menjawab panggilanmu dan
menghindar darimu...” kata Yoriko. “Aku tahu kau sahabatku dan memang wajar
bagimu untuk peduli, tapi...”
“Kenapa,
Yoriko?” Aya menyelanya. “Apa karena kau berpikir aku tidak akan mengerti
dengan keadaanmu? Atau karena aku sama bersalahnya seperti yang lain?”
“Tidak,
Aya...” Yoriko berujar. “Aku...”
“Kalau
begitu, karena apa!?” Aya menyelanya sekali lagi. Kali ini dengan nada tinggi
dan dengan mata berkaca-kaca. “Aku benar-benar bingung dengan sikapmu yang
sedikit pun tidak membukakan pintu untukku. Aku tahu di dalam sana kau
kesepian, sedih, dan membutuhkan teman. Selama ini aku tidak bisa berpikir
dengan fokus karena aku selalu memikirkan dirimu! Aku takut selama kau
sendirian sesuatu terjadi padamu!”
“Mungkin
karena aku terbiasa sendirian.” Jawab Yoriko. “Aku tidak pernah menceritakan
masalahku pada orang lain dan menyelesaikan semuanya sendiri. Kurasa itu sudah
menjadi kebiasaan...”
“Apa itu
berarti kau tidak percaya padaku atau tidak benar-benar menganggapku sahabatmu,
Yoriko?” tanya Aya pelan.
“Tidak, Aya.
Justru karena kau sahabatku aku tidak ingin kau ikut merasakan rasa sakit yang
seperti kurasakan. Serta aku tidak ingin kau melihatku dalam keadaan hancur.”
“Yoriko,
sahabat itu selalu ada dalam suka dan duka. Aku tidak peduli keadaanmu hancur
atau apa selama aku bisa berada disitu untuk membagi dukamu denganku. Aku tidak
peduli jika aku harus memasuki duniamu karena aku sangat ingin memahaminya,
Yoriko. Jika orang lain tidak peduli, aku peduli. Aku akan melakukan apa saja
agar aku bisa meraihmu, bahkan jika itu termasuk memasuki imajinasimu.” kata
Aya dengan emosi yang campur aduk. “Seharusnya kau bangga bisa memiliki
imajinasi setinggi itu sehingga kau bisa membangun kerajaanmu sendiri. Tetapi
layaknya sebuah kerajaan, pemerintahannya tidak akan berjalan jika pemimpin
tidak memiliki bawahan.”
“Aku tahu...”
Yoriko tersenyum tipis. Tiba-tiba ia mulai menitikkan air mata. “Karena itu aku
sangat bahagia mendengar ucapanmu barusan. Kau harus tahu satu hal, Aya...”
“Apa?”
“Kaulah
alasan mengapa aku kembali ke negara ini. Tanpamu, aku pasti masih berada di
luar sana, berkelana tanpa arah. Karenamu, aku memiliki harapan dan kehidupan.
Kebaikan orang-orang di sekitarku menyadarkanku bahwa masih ada orang yang mau
memberikan pertolongan tanpa pamrih. Dan salah satunya adalah kau, Aya.”
Aya
terperangah mengetahui dialah alasan Yoriko untuk mengakhiri petualangannya.
Namun Yoriko berkata bahwa petualangan terbaiknya adalah disini, ketika ia
merasakan cinta, kasih sayang, canda tawa, hingga kesedihan secara nyata. Bagi
Yoriko itu adalah sebuah berkah terindah. Semua itu tidak akan pernah ia
dapatkan saat ia berkelana di luar sana.
“Bagaimana
aku bisa benci pada seorang gadis yang mempertemukan diriku dengan orang yang
selalu kucintai dengan tulus?” Air mata Yoriko mengalir semakin deras seiring
dengan senyum merekah di bibirnya. “Sekali lagi, maafkan aku, Aya. Atas
segalanya.”
Melihat
Yoriko menangis, Aya pun turut menitikkan air mata. Tanpa ragu lagi mereka pun
berpelukan. “Tentu saja, Yoriko. Bagaimana aku bisa benci pada seorang gadis
yang sudah jauh-jauh kembali ke Jepang hanya untukku?”
“Sepakat
setelah ini tidak akan ada pertengkaran lagi?” Yoriko melepaskan pelukan mereka
dan mengacungkan jari kelingkingnya.
Aya mengusap
air matanya terlebih dulu sebelum menautkan jarinya, “Ya, tentu saja...”