Thursday, September 26, 2013

The Delusion (20)

20

Malam itu Tora sengaja menginap di apartemen Shou sesuai pesan teman-teman bandnya untuk segera menanyai Shou ketika ia pulang dari kencannya dengan Yoriko, atau makan malam biasa, sesuai dengan yang Shou berkali-kali tegaskan.

Tora mengambil mi instan dari lemari dapur dan menyeduhnya dengan air panas dari dispenser untuk makan malam. Dia menggerutu, seharusnya ia menyuruh Shou memasak sesuatu lebih dulu sebelum pergi.

Waktu telah menunjukkan pukul 10 malam. Kalau hampir selarut ini, itu berarti ada kemajuan di antara pasangan konyol itu. Itu juga berarti Tora harus menunggu seperti seorang ayah yang cemas mengapa anaknya belum pulang selarut ini sambil menonton salah satu koleksi DVD film Shou.

Tetapi saat dia baru saja film yang ingin ditontonnya dimulai, dia mendengar seseorang membuka pintu apartemen. Masuklah Shou yang melempar kunci dan jaket yang dibawanya sekenanya di sofa dan meja, membuat Tora keheranan terlebih lagi raut wajah sahabatnya tidak sesuai yang diharapkannya.

“Kencanmu gagal?” tanya Tora.

Namun Shou hanya menggerutu tidak jelas dan berjalan ke dapur, kembali sambil meneguk sekaleng bir dingin di tangannya. Tora memanggil namanya lagi untuk meminta kejelasan.

“Itu bukan kencan.” Shou berkata ketus. “Kalaupun memang kencan, tidak seharusnya gadis aneh itu membicarakan orang lain.”

“Ng?” Tora mengerutkan dahi. “Memangnya Yoriko membicarakan siapa?”

“Juri.” Jawab Shou sambil meneguk birnya lebih banyak lagi ketika ia terpaksa menyebut nama yang menjengkelkan itu. “Entah dia tidak memiliki topik lain atau terlalu bersemangat membicarakan orang aneh itu.”

“’orang aneh’?” Tora tidak mengerti. “Setahuku kalian sudah berdamai.”

“Orang itu sudah jauh berada di ujung dunia sekarang, tetapi kenapa Yoriko masih saja membicarakan dia? Aku memiliki banyak topik yang bisa dibicarakan. Seperti kafe aneh tempat kami makan tadi, misalnya? Memangnya siapa yang peduli dia dan orang aneh itu sering makan bersama disana, di altar Bunda Maria?” Shou terus berbicara panjang lebar.

Mendengar omelan Shou yang sepertinya tidak akan pernah habis itu, Tora mengambil kesimpulan, “Kau cemburu pada Juri, ya?”

Pandangan Shou mendadak jadi sengit pada Tora. Penuh pengelakan ia menjawab, “Tidak. Kenapa kau berkata begitu?”

“Jelas sekali, Shou.” Tora tertawa karena tidak percaya. “Kau cemburu pada orang yang mampu membuat Yoriko terus berbicara tentangnya padahal saat ini orang itu berada di ujung dunia dibanding dirimu yang tepat di depannya.”

“Menurutmu Yoriko jatuh cinta pada Juri?”

Tora menjawab dengan ragu, “Mungkin, kalau dia bisa terus membicarakan orang itu selama kencan kalian berlangsung.”

Shou mendesah kecewa. Ia membanting dirinya di sofa dan mengambil remote DVD. “Kau memutar film apa?”

The Empire Strikes Back.” Tora menyebut salah satu film dari trilogi Star Wars.

Shou tersenyum. Film yang cocok untuk mengobati kekesalannya sekarang. Sambil mengulang film itu dari awal, ia berkata pada Tora, “Jadi pertanyaan kalian terjawab, bukan? Tidak ada yang terjadi di antara aku dan gadis gotik itu, dan tidak akan pernah terjadi.”

“Belum tentu begitu.” sanggah Tora dengan nada optimis. “Dia bisa saja terus membicarakan Juri karena dia tidak tahu apa yang bisa dibicarakan denganmu.”

“Huh?”

“Satu-satunya hal yang berhubungan dengan kalian adalah Juri. Kau bodoh jika kau menganggap pertemanan sepupumu yang jauh dari London dan Yoriko yang bisa muncul dari mana saja hanyalah kebetulan.” Tora menjelaskan.

“Maksudmu takdir?” Shou mencoba menangkap arti penjelasan Tora. Jika benar takdir, maka itu bukanlah untuk Shou. Bagi Shou pertemuan mereka berdua tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan malah terlihat seperti Shou menghalangi jalan mereka.

“Kau sudah melangkah jauh, Shou.” Ujar Tora. “Kenapa kau harus menyerah? Terlebih lagi, aku harus menanyakanmu ini. Mengapa kau berani melakukannya?”

Shou diam saja. Tadinya ia berpikir ia memberanikan diri mempertaruhkan perasaannya yang sudah lama membeku hanya untuk teman-temannya yang penasaran. Dia merasa tidak ada salahnya melihat kemungkinan yang terjadi di antara mereka meski ia tahu hasilnya sama seperti ia mencelupkan jarinya ke dalam cairan asam belerang, melepuh sia-sia.

“Dulu semuanya terasa baik-baik saja.” kata Shou. “Apa yang terjadi padaku?”

“Karena sadar tidak sadar, kau juga harus bangkit, Shou. Kau tidak harus terpuruk oleh masa lalumu.” Jawab Tora.

“Tidak.” Shou menyangkal. “Untuk apa aku terus berusaha kalau aku sudah tahu hasilnya akan seperti apa? Bisa jadi perasaanku yang sekarang hanyalah pelarian.”

“Jangan berkata seperti itu, Shou.” Tora sudah bisa menangkap yang dimaksudkan Shou. “Wanita itu sudah menikah, jika kau harus menyerah, seharusnya kau melakukannya sekarang terhadap perasaanmu kepadanya.”

Shou malah berpikir sebaliknya. Lebih baik ia mengenang masa lalunya, segala hal yang dilakukannya bersama wanita itu, dan terus mengingat bahwa dia akan terus mencintainya. Semua itu terasa lebih indah dan tidak akan pernah menyakitkan. Tidak jadi soal jika Yoriko dan Juri ditakdirkan bersama, Shou akan turut berbahagia untuk mereka bersama khayalannya.

Setelah mengutarakannya, Tora memandang Shou dengan sinis. “Itu berarti kau akan mengulang kesalahan yang sama.”

“Bukan kesalahan jika kau tidak pernah melakukannya.” Ujar Shou. “Sudah jelas hasilnya akan buruk jika aku meneruskannya.”

“Kau tidak akan pernah tahu jika kau terus terjebak di dalam kotak imajinasimu, Shou. Ingat bahwa semua itu bisa menipumu.” Tora memperingatkan. “Kau tahu salah satu hal yang membuatku kesal pada orang banyak?”

Shou tahu Tora bukanlah tipe orang yang bisa berbaik hati pada semua orang, itulah mengapa ia merasa beruntung ketika Tora menganggap dirinya sebagai salah satu sahabat terbaiknya. “Apa?”

Kata-kata Tora pun mengalir bagaikan hujan es. “Ketika mereka yang menyerah lebih dulu karena mereka lebih dulu melihat seberapa jauh perjalanan mereka di depan daripada melihat seberapa jauh yang telah mereka capai.”

 ***

Malam ini terasa sangat ajaib. Judy tidak ingat dan tidak pernah merasa ia pernah mengalami hal ini sebelumnya. Sebagian waktu hidupnya ia habiskan sendirian, tidak ada orang berarti memasuki kehidupannya dan mengubah dirinya karena ia tidak pernah mengizinkan mereka. Baginya hidup sendirian tidak akan membuat dirinya harus memakai topeng dan melakukan apa yang orang lain inginkan. Ia tidak harus menderita dan merasakan perubahan yang menyakitkan.

Tetapi untuk perubahan yang satu ini, dimana seseorang kini menggenggam tangannya begitu erat, memastikan Judy tidak akan terlepas darinya, adalah sebuah perubahan yang ia bisa terima.

Ia dan Spencer berjalan menyusuri trotoar menuju rumah Judy. Mereka bersenang-senang pada malam itu, menonton film laga kesukaan mereka, makan malam di sebuah restoran cepat saji, bermain ice skating di arena terdekat. Malam itu mereka benar-benar melupakan kasus dan menjadi orang biasa. Seluruh dunia bisa tahu mereka saling mencintai walau tidak satupun kata terucap dari bibir mereka.

Judy mencuri pandangan pada pria di sampingnya, terlepas dari seluruh tawa dan canda yang mereka habiskan semalaman, Judy masih belum bisa mengetahui apa yang dipikirkan Spencer saat ini. Apa arti di balik senyumannya yang tak pernah memudar? Kenapa Spencer tidak mengizinkannya melepas genggaman tangan mereka?

“Spence...” panggil Judy. Spencer bergumam sebagai respon.

“Apa kau senang?” tanya Judy berdebar.

“Kau juga?” Spencer menjawab singkat tapi sanggup meluluhkan hati Judy.

“Ya, te... tentu saja...” Judy tertawa pelan agar menutupi rasa gugupnya.

Spencer kembali tersenyum. Judy memutuskan tidak berkata apapun agar rasa gugup dan bahagia tidak terlihat oleh Spencer, meski tampaknya Spencer telah menyadarinya. Judy ingin menikmati momen ini dalam diam, memastikan segalanya bukanlah sekadar mimpi dan ia tidak akan terbangun di ranjangnya yang berantakan di dalam kamar yang dingin dan monoton, sendirian.

Ketika mereka sampai tepat di depan pintu gedung apartemen Judy, disaat itulah keajaiban sebenarnya terjadi.

Spencer memberikan sebuah ciuman manis di bibirnya, sebuah ciuman selamat malam yang tidak akan pernah ia lupakan.

Jika ini adalah mimpi, Judy pasti sudah bangun sekarang.

...

*** 

“Kau yakin, Yoriko?” tiba-tiba Hitomu mengagetkan Yoriko dari belakang, menghentikan kegiatan menulisnya.

“Yakin apa?” ia menoleh ke Hitomu yang memberikan raut khawatir di wajahnya.

“Semalam kau cerita padaku akan menyatakan perasaanmu pada Shou? Apa kau sudah yakin dengan itu?” tanya Hitomu lagi.

Yoriko tidak paham. Mengapa Hitomu terlihat tidak senang seperti dugaan Yoriko. Tidak biasanya Hitomu yang biasanya mendukung segala keputusan atau apapun yang dilakukan Yoriko menjadi seperti ini.

“Tentu saja aku yakin. Kurasa, lebih baik kunyatakan saja daripada mengganjal terus-menerus di hatiku.” Jawab Yoriko tidak seyakin kedengarannya. “Kenapa, Hitomu? Apa menurutmu itu hal yang buruk?”

“Ngg... tidak... aku hanya memastikan kau sudah benar-benar yakin atau tidak. Kau tahulah, baru sekarang kau tertarik pada seorang pria.” Namun alasan Hitomu juga tidak sejujur kedengarannya.

“Oh... Hitomu.” Yoriko mengerti kenapa Hitomu seperti ini. Ia pun menarik pemuda itu ke pelukannya. “Meski begitu kau tetap sahabat terbaikku.”

“Kuharap kau bahagia dengannya, Yoriko-chan...” ujar Hitomu pelan.

Yoriko menghela napas dan tersenyum. Jika itu adalah harapan terbaik yang bisa sahabatnya berikan untuknya, ucapan terima kasih tidak akan cukup untuk membalasnya. Namun pada akhirnya dengan tulus ia mengucapkannya juga.

“Aku harap kita bisa tetap berteman seperti ini, Hitomu. Tidak akan ada yang bisa memisahkan kita.” Bisik Yoriko. Dan kemudian ia bisa merasakan Hitomu tersenyum di pelukannya.

“Yoriko!!!” teriakan Aya dari balik pintu apartemennya melepaskan pelukan Yoriko dari Hitomu.

“Aya sudah datang. Aku akan pergi sekarang, Hitomu.” Yoriko berdiri dan berpamitan sambil mematikan laptopnya.

“Ya, hati-hati, Yoriko-chan.” Pesan Hitomu.

Yoriko bergegas menuju pintu untuk membukanya. Dilihatnya Aya berdiri di depannya dalam keadaan rapi dan manis. Rok mini berlapis legging yang dipakainya cocok untuk menyambut musim panas yang sebentar lagi datang.

“Ayo, kau sudah siap?” tanya Aya terburu-buru, tidak ingin mereka terlambat ke pesta yang diadakan Avaron nanti sore.

“Ya, tunggu sebentar.” Yoriko kembali masuk ke dalam untuk mengambil jubah dan tas tangannya lalu keluar dari apartemen.

Saat mereka berjalan keluar dari apartemen, Aya mulai menggoda Yoriko, “Kau sudah siap dengan pengakuan cintamu nanti malam? Hihihi...”

Pipi Yoriko memerah padam karena malu. Dia tidak akan pernah siap mengaku di depan Shou, terlebih rasanya setelah makan malam bersama pria itu Yoriko merasa Shou menjaga jarak darinya. Harus Yoriko akui ia sangat gugup saat itu, ia sungguh tidak tahu topik apa yang harus dibicarakan sehingga ia hanya membicarakan satu-satunya hal yang berkaitan dengan mereka, yaitu Juri. Juri pernah bercerita hubungannya dengan Shou mulai membaik, jadi Yoriko berpikir tidak ada salahnya ia membicarakan sepupu Shou yang dirindukannya itu.

Di sisi lain, Yoriko menaruh harapan besar untuk malam ini. Menurut Aya, jika Yoriko yang terus membicarakan Juri membuat Shou menjaga jarak darinya, itu berarti ada kemungkinan perasaan Yoriko terbalas.

Harapan itu sangat besar sampai Yoriko menuangkannya dalam tulisannya sendiri. Seperti Spencer yang akhirnya bisa melupakan perasaan lamanya dan pada akhirnya melihat Judy. Walaupun dia tahu kisah cintanya tidak akan sesempurna dua tokohnya itu, ia tidak bisa melepaskan harapan bahwa Shou akan memberikan ciuman manis ketika malam mereka sudah berakhir.

Mereka menaiki bus menuju komplek perumahan dimana keluarga Yutaka tinggal. Rumah sederhana yang sangat asri dan terasa sangat damai karena keharmonisan keluarga yang tinggal di dalamnya. Sebuah kehidupan indah yang Yoriko pikir tidak akan pernah ia dapatkan.

Kedatangan mereka disambut oleh Avaron dan Yukio di pintu rumah. Ibu dan anak itu menyapa mereka dengan riang.

“Kalian datang tepat waktu! Macaroni panggangnya baru saja keluar dari microwave!” sambut Avaron.

“Kedengarannya lezat, Avaron-san!” seru Aya tidak kalah senangnya. Ia beralih ke Yukio dan menggendong anak yang sudah seperti adiknya sendiri. “Halo, Yukio-chan!!”

Yukio menyambut Aya dengan senyum polosnya yang tidak pernah hilang. Yoriko hanya tertawa melihat keceriaan di depan matanya. Semuanya berpakaian cerah dan tidak melepas senyum mereka untuk acara kecil ini, Yoriko merasa seperti sepotong kegelapan di bawah cahaya, masih tidak menyangka dia adalah bagian dari semua ini.

Yoriko memberikan kotak berisi hadiah darinya dan Aya yang mereka beli saat dalam perjalanan ke rumah atasan mereka. “Selamat ya, Avaron-san.”

“Oh... kalian manis, sekali...” Avaron tampak terharu dan berterima kasih menerima hadiah kecil itu. “Ayo, masuk. Sebentar lagi makan malam akan siap dan aku ingin kalian membantuku sebelum para cowok datang.”

“Para cowok?” tanya Aya ketika mereka menyusuri lorong rumah menuju dapur.

“Kai sedang mengurus sesuatu tentang bandnya sebentar di studio. Shou mengirimiku e-mail dia akan datang tidak lama lagi.” Jawab Avaron dan secara tiba-tiba ia menoleh ke Yoriko. “Kau tidak gugup kan, Yoriko-chan?”

“Ma... maksud anda?” Yoriko berpura-pura tidak mengerti.

“Aku menyuruhnya sedikit berpenampilan... tidak biasanya untuk malam ini karena acara ini sangat istimewa.” Kata Avaron. Tentu saja istimewa. Kapan lagi ada perayaan kehidupan baru yang akan hadir di antara mereka disaat sebuah cinta baru mulai bersemi?

“Anda sudah menyiapkan kantung beras yang kuminta?” tanya Aya antusias. Sepertinya kedua wanita ini sudah sangat siap untuk merayakan bila Yoriko dan Shou sudah jadian.

“Semua sudah siap!” jawab Avaron mantap. “Kalau sudah resmi jadian, kita tinggal lempari mereka dengan itu seperti saat kau melempariku dengan beras di hari pernikahanku.”

Mendengar itu pipi Yoriko kembali memerah. Avaron dan Aya langsung menertawakannya begitu mereka menyadarinya.

Avaron meminta mereka menata peralatan makan dan menu makanan yang akan dihidangkan di meja. Tidak lupa mereka menyetel lagu-lagu ceria seperti lagunya Sweet Thing, Natasha Bedingfield, dan Lenka untuk menebarkan aura optimis di seluruh rumah.

Yoriko sedang menata sendok dan garpu di meja makan ketika ia mendengar bel rumah berbunyi.

“Yoriko, buka pintunya. Itu pasti Shou!” suruh Aya di sampingnya.

“Tapi itu bisa saja Kai-san...” jawab Yoriko sehingga membuat Aya kesal.

“Mana ada orang membunyikan bel pintu rumahnya sendiri.” Kata Aya. “Ayo, cepat buka pintunya sebelum kutendang kau!”

Yoriko tergelak melihat betapa gemasnya Aya kepadanya. Ia akhirnya menyerah dan berjalan ke pintu depan sebelum Aya menendangnya. Bel rumah dibunyikan lagi sebagai tanda sang tamu sudah tidak sabar menunggu di depan.

“Ya, sebentar!” seru Yoriko.

Disaat ia membuka pintu rumah, keajaiban rasanya menyelimuti diri Yoriko. Tepat di depannya berdirilah Shou, yang berpenampilan tidak seperti biasanya sesuai permintaan Avaron. Kaus bergambar tokoh anime favoritnya berlapis kemeja kotak-kotak biru dan celana jeans, Shou yang selalu memakai sneakers mengingatkannya pada Spencer yang selalu mengenakannya meski ia sedang dalam tugas.

Sempat terjadi kecanggungan di antara mereka saat Yoriko masih terpana oleh sosok pria tinggi yang tampan di hadapannya dan Shou yang bertanya-tanya mengapa ia tidak dipersilakan masuk.

“Ngg... ya, ya! Masuk saja, Shou!” Yoriko akhirnya sadar saat Shou memberinya tatapan tajam. Apakah benar pria ini yang akan ia berikan pernyataan cintanya?

Shou bersikap seperti Shou yang biasanya. Ia melepaskan sepatunya dengan sekenanya di teras sampai Yoriko harus membetulkannya. Cara berjalannya seperti ia tidak peduli pada dunia di sekitarnya. Sebuah ciri khas yang menyeret Yoriko untuk belajar mencintainya.

Avaron dan Aya menyambut kedatangan Shou di ruang makan. Begitu juga Yukio yang sudah duduk manis di kursi bayinya. Shou hanya membalas sapaan mereka sekilas dan duduk di kursi meja makan. Yoriko yang berdiri di ambang pintu mendapat pesan isyarat dari Aya yang masih menata meja makan untuk mengajak Shou mengobrol.

Sambil berusaha menghilangkan rasa gugupnya, Yoriko mencoba menyanggupi suruhan Aya tersebut.

“Hei...” Yoriko menyapa Shou dan mengambil duduk di seberangnya. “Apa kabar?”

“Aku baik-baik saja.” jawab Shou.

“Kalau kau baik-baik saja...” Yoriko ragu untuk membahas ini atau tidak karena takut menyinggung Shou. “kenapa kau terlihat murung?”

“Kau bertanya apa aku baik-baik saja atau tidak, bukannya aku bahagia atau tidak.” Jawab Shou ketus.

“Oh... begitu, ya...” Yoriko tertawa canggung. “Ngomong-ngomong, terima kasih kau sudah datang kemari.”

Namun Shou ternyata memiliki pertanyaan besar yang belum terjawab. “Kalian mengadakan pesta ini untuk merayakan apa?”

Yoriko menjawab pertanyaan Shou dengan sebuah kedipan mata dan senyum yang membuat Shou semakin penasaran. “Nanti kau juga tahu.”

“Sudahlah, katakan saja.” kata Shou tidak sabar. “Memangnya salah satu dari kalian ada yang berulang tahun hari ini?”

Yoriko tertawa mendengar tebakan Shou yang asal-asalan itu. “Kau pasti akan sangat kaget kalau kau tahu. Dan kami ingin sekali melihat wajahmu yang kaget itu nanti.”

Shou menggerutu dan mencibir tidak jelas. Jelas sekali hari ini dia sedang tidak ingin mendapat kejutan atau apapun. Dia hanya ingin menyelesaikan semua ini dan segera pergi.

“Lagipula...” tiba-tiba Yoriko meneruskan dengan kepala tertunduk. “setelah itu aku ingin berbicara tentang sesuatu denganmu...”

Dari cara bicara Yoriko, tampaknya ia akan membicarakan sesuatu yang serius dan Shou juga ingin tahu apa itu. Tetapi sebelum Shou bisa bertanya sesuatu apa yang Yoriko maksud, mereka mendengar suara Kai yang baru pulang dari pintu masuk. Avaron keluar dari dapur untuk menyambut suaminya dan berjalan bersama ke ruang makan.

“Semua sudah selesai dan Kai pulang tepat pada jam makan malam. Ayo, kita mulai pestanya!” kata Avaron.

*** 

Makan malam berlangsung dengan sangat ramai dan menyenangkan. Kai bercerita banyak hal tentang bandnya dan dengan sangat antusias memberitahu ia menemukan beberapa variasi drum yang akan ia gunakan untuk lagu-lagu barunya nanti.

Mereka juga sering menggoda Yukio dan merangsang anak itu untuk berbicara dan setiap kata yang diucapkannya selalu lucu dan mengundang gelak tawa. Sebagai hadiah karena ia bisa mengatakan kata terima kasih dan tolong kepada Avaron yang telah memberinya makan, ia mendapat hadiah permen lolipop berwarna-warni dari sang ibu.

Namun tidak semuanya tampak bahagia di meja makan tersebut. Sedari tadi Yoriko mengamati Shou tidak menunjukkan sebuah senyuman pun kecuali diminta. Seperti perjumpaan mereka pertama kali tepat di ruangan ini dan di meja yang sama.

Yoriko mencoba memberanikan diri bertanya pada Shou apa ada sesuatu yang salah atau semacamnya yang membuatnya nampak murung. Tetapi sedikit pun Yoriko tidak memanggil nama Shou sekali lagi setelah pria itu memarahinya sebelum makan malam tadi.

“Nah, berhubung makan malam sudah selesai, kami ingin mengumumkan sesuatu.” Avaron berdiri dengan wajah berseri-seri. Semua pandangan mata kini tertuju padanya.

Yoriko mencuri pandangan dari Shou. Mata pria itu berbinar ketika melihat Avaron tersenyum di depannya. Bagi Yoriko, itu adalah sesuatu yang mulai menusuk dirinya, membuatnya mulai mempertimbangkan kata-kata Hitomu tadi sore.

Tetapi ia terlalu teralihkan untuk bisa memikirkannya. Sekarang adalah waktu untuk Avaron, bukan dirinya.

“Maaf, sayangku...” Avaron melihat Kai. “Aku sudah memberitahu Aya dan Yoriko karena terlalu gembira...”

Kai hanya tersenyum bahagia dan menggenggam tangan istrinya erat-erat. “Tidak masalah, sayang. Lanjutkan saja.”

“Sesuai yang kukatakan kemarin lusa aku dan Kai akan pergi ke dokter untuk memastikan. Dan hasilnya adalah...” Avaron sengaja membuat ketiga tamu di hadapannya berdebar-debar menantikan kelanjutannya. “Positif! Pada awal Januari nanti, Yukio akan memiliki adik baru!”

Yoriko dan Aya langsung bersorak. Hitomu yang sedikit memahami suasana memberikan tepuk tangan sekeras-kerasnya untuk ibu dan ayahnya. Avaron pun langsung dihujani ucapan selamat dari kedua teman sekaligus karyawannya itu.

Tetapi ketika semuanya sedang bergembira, Shou masih tetap murung di tempatnya. Kelihatannya dia tidak begitu senang dengan berita yang disampaikan Avaron. Ketika Kai mendekatinya, hanya terlukis raut terkejut dan rasa tidak percayanya.

“Kau tidak apa-apa, teman?” tanya Kai.

“Ya, aku tidak apa-apa. Tidak menyangka saja secepat ini kalian akan memiliki anak kedua. Selamat, ya.” Shou memberi selamat dengan wajah yang dibuat segembira mungkin.

Meski Kai bisa menangkap raut ketidak tulusan dari Shou, ia tetap menerima ucapan selamat itu. “Terima kasih, Shou.”

“Hanya itu, bukan? Aku sudah tahu berita besarnya.” Shou mundur perlahan dan mengambil jaketnya dari kursi. “Aku harus pulang, sudah malam. Kurasa aku lupa memberi makan Chirori malam ini.”

Kai mengerutkan dahi karena Shou yang mendadak berpamitan. “Secepat ini? Shou, kita bahkan belum menyentuh sake yang sebentar lagi akan kukeluarkan.”

“Tidak usah, terima kasih.” Shou menolak halus. “Aku kan harus menyetir, jadi tidak boleh minum sake. Sampai jumpa. Sekali lagi, selamat, Kai...”

Kepergian Shou diiringi tatapan heran dan bingung oleh Kai. Avaron, Aya dan Yoriko menyadarinya tidak lama kemudian. Mereka berdua juga ikut bertanya-tanya.

“Kenapa Shou mendadak pergi?” tanya Aya sama bingungnya.

“Entahlah. Dia pergi... begitu saja.” jawab Kai ragu-ragu.

Sedetik kemudian, Avaron dan Aya teringat sesuatu yang sangat penting.

“Kau belum menyatakan perasaanmu, Yoriko!” seru Aya sambil menepuk punggung Yoriko keras-keras.

“Aw!!” jerit Yoriko kesakitan. “Tapi dia sudah pergi, Aya.”

“Kau masih bisa mengejarnya, Yoriko. Ayo, cepat sebelum ia pergi!!” kata Avaron dengan cepat dan mendorong Yoriko keluar rumah.

Karena dorongan mereka berdua, Yoriko akhirnya berlari sekencangnya keluar rumah sampai ia lupa memakai sepatunya terlebih dulu. Melihat tiga wanita di hadapannya mendadak panik dan ribut, Kai bertanya, “Apa maksudnya dengan menyatakan perasaan?”

“Masa kau tidak tahu?” Avaron memutar matanya kesal. “Yoriko ternyata selama ini mencintai Shou!”

“Whoa...” Kai mengangkat tangannya. “Aku kan tidak pernah mengikuti gosip kalian. Tapi benarkah itu?”

“Tentu saja! Memangnya karena apalagi sampai Yoriko lupa memakai sepatunya keluar rumah?” Avaron mencubit pipi Kai karena ketidak mampuannya dalam menanggapi situasi. “Kita doakan saja semoga semuanya berjalan sukses.”

*** 

“Shou!!!” Yoriko berkali-kali memanggil Shou dan mengejar pria yang terus berjalan cepat tanpa menghiraukan dirinya. “Tunggu aku!”

Shou tetap mengabaikannya. Ia malah melangkah lebih cepat agar Yoriko tidak bisa mengejarnya. Tetapi semangat Yoriko terlalu gigih untuk diruntuhkan. Pada akhirnya ia bisa menangkap lengan Shou dan membuatnya berhenti berjalan.

“Kenapa kau tiba-tiba pergi? Bukankah kubilang tadi aku ingin berbicara sesuatu denganmu?” tanya Yoriko terengah-engah.

“Apa? Apa yang ingin kau bicarakan?” kata Shou sengit dan tidak sabar. “Kau ingin menertawaiku setelah ini?”

“Me... menertawaimu? Apa maksudmu, Shou?” Yoriko tidak mengerti. “Kenapa kau berpikir aku akan menertawaimu?”

Shou tersenyum sinis dan mengeluarkan kata-kata pedasnya. “Kau sudah tahu saat kau mengundangku kemari kemarin lusa, bukan?”

“Tahu apa?” Yoriko tidak memahami arah pembicaraan Shou.

“Kau sudah tahu berita yang disampaikan Avaron tadi. Kau sengaja memanfaatkan pertemananku dengannya dan mengerjaiku, bukan? Jika ya, kau berhasil, Yoriko! Kau berhasil membalas seluruh perbuatan burukku kepadamu hanya dalam semalam!” Shou mulai membentak Yoriko.

“Mengerjaimu? Shou, tidak sedikit pun aku berniat melakukan itu padamu.” kata Yoriko kebingungan dan takut. “Kumohon jelaskan padaku, kenapa kau berpikiran seperti itu?”

“Kau tahu aku masih mencintainya. Kau sengaja memanfaatkan segala hal yang kuceritakan padamu pada malam itu untuk membalasku. Kau senang karena telah mengetahui kelemahanku, bukan!?”

Yoriko tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Tidak sedikit pun di benaknya terpikir Shou akan merasa sakit hati dengan berita yang disampaikan Avaron. “Tapi, Shou... pada malam itu kau juga bilang padaku kau sudah bisa melupakannya. Kupikir kau bersungguh-sungguh, Shou...”

“Bersungguh-sungguh maksudmu? Apakah aku juga harus mempertanyakan apa kau juga bersungguh-sungguh dengan seluruh ceritamu pada malam itu? Karena menurutku, sekarang kau tidak terlihat seperti gadis yang kau ceritakan waktu itu. Kau hanya gadis manipulatif yang berhasil menipu teman-temanku bahkan saudaraku sendiri, kau hanya orang asing tapi kau bisa merebut perhatian mereka. Kau bertingkah seperti gadis polos yang tersesat dan sama sekali tidak tahu apa-apa. Aku sudah muak dengan semua itu!”

Hati Yoriko terhenyak dan terasa seperti diiris-iris perlahan dari dalam. Ia mengepalkan kedua tangannya sekencang mungkin, bibirnya bergetar menahan isak tangis yang sebentar lagi akan keluar. Namun ia terus menahannya, ia tidak boleh terlihat lemah di depan orang yang ia cintai.

“Shou, jika kau berpikiran begitu, maafkan aku. Aku tidak ada maksud...”

“Ah, sudahlah.” Shou tidak mau mendengarkan penjelasannya. “Aku sudah mendengar cukup banyak darimu, gadis aneh. Carilah orang lain yang bisa kau tipu selain aku.”

Yoriko sanggup dan tidak keberatan menerima ejekan yang semenyakitkan apapun dari orang lain dan ia sudah terbiasa dengan itu. Tetapi ketika ia mendengarnya langsung dari Shou, sekarang hati Yoriko hancur berkeping-keping. Terlebih ketika ia menyadari ia hanyalah gadis penipu dan berlagak polos di mata satu-satunya orang yang ia cintai.

Ia pun membiarkan Shou melepaskan genggaman tangannya dengan kasar sebelum pria itu berlalu darinya, meninggalkannya terpaku dan menatap kosong jalanan yang sepi. Hanya angin yang bertiup kencang menghibur diri Yoriko dan mengaburkan air mata Yoriko yang mulai mengalir.

Yoriko linglung, ia tidak bisa memperhatikan dan memikirkan apapun lagi. Hanya sayup-sayup terdengar suara Aya dan Avaron yang berlari menghampirinya, menanyakan apa yang terjadi.

Tetapi Yoriko tidak bisa menjawab. Lidahnya kelu, dan hal yang bisa ia lakukan hanyalah membiarkan Aya dan Avaron memeluk dirinya, yang telah memahami apa yang terjadi tanpa Yoriko mengucapkan sepatah kata pun.


Dan di dalam pelukan mereka, Yoriko hanya bisa menangis pelan, dengan terpaksa menelan seluruh kepahitan yang diterimanya dari Shou, berharap ia tidak pernah mendengar hal-hal menyakitkan yang dikatakan Shou untuknya.

Sunday, September 22, 2013

The Delusion (19)

19

Shou menaruh sepiring besar waffle hangat buatannya sendiri di meja makan. Waffle itu bukan satu-satunya karya Shou untuk sarapan pagi ini. Disana sudah terhidang semangkuk besar sereal dengan sebotol besar susu dan jus jeruk di sebelahnya, beberapa telur mata sapi , roti bakar, dan sosis. Kopi hangat juga sudah siap di coffee maker jika teman-temannya yang masih tertidur pulas menginginkannya.

Saat Shou bangun dari tidurnya, entah mengapa ia ingin menggunakan kemampuan memasaknya yang sudah lama tidak digunakan. Mungkin karena semalam adalah malam yang sukses, Shou tidak tahu.

Shou kembali ke ruang TV dimana teman-temannya tidur disana menggelar futon. Shou menyalakan TV sekeras mungkin dan menyetel saluran berita. Dia tahu teman-temannya pasti membenci acara membosankan itu.

Cara Shou ternyata sukses. Keempat temannya langsung terjaga dan menggeliat malas di kasur mereka.

“Bisa tidak kau kecilkan suaranya? Aku masih ingin tidur!!” seru Saga sambil menutupi kedua telinganya dengan bantal.

“Memangnya sekarang sudah jam berapa, sih?” Nao dengan malas bergerak ke samping untuk meraih jam tangannya. Pukul 7 pagi sama sekali bukan waktu tepat untuk dibangunkan.

“Aku mencium bau enak...” Indera penciuman Hiroto menangkap bau lezat masakan Shou di ruang makan.

Namun Tora malah menyadari hal lain saat ia dibangunkan. “Tunggu, sejak kapan Shou bisa bangun pagi?”

“Aku pemilik apartemen ini, jadi aku berhak membangunkan kalian kapan saja. Kalau kalian tidak ingin memakan sarapan yang kubuat, tidak masalah. Silakan saja kalian mencari sarapan di tempat lain.” Kata Shou datar.

Tanpa diberitahu dua kali, mereka semua langsung bangun dan berlari ke ruang makan.

*** 

“Enak juga.” Nao berkomentar sambil tetap sibuk dengan waffle di hadapannya.

“’enak juga’?” Shou menyahut tidak percaya. “Hanya itu komentarmu setelah kau menghabiskan waffle ketigamu?”

“Baiklah, ini enak sekali. Terima kasih, ibu!” Nao bersikap seolah anak kecil dan memberikan senyum dibuat-buat kepada Shou.

“Aku masih tidak percaya Shou mau membuat sarapan untuk kita semua.” Saga menuang kopi untuknya dari coffee maker.

“Anggap saja gantinya kalian akan membereskan kotoran yang kalian buat semalam.” Kata Shou. Ia menumpuk piring-piring kotor untuk ditaruh di dishwasher lalu menaruh beberapa potong salmon yang diambilnya dari kulkas dan memanggil Chirori untuk makan. “Membuat makanan sebanyak itu tidak mudah dan aku harus bangun lebih pagi untuk itu.”

Mendengar ucapan Shou, Tora yang baru menyelesaikan serealnya berkata, “Kalian ingat semua ini adalah makanan layak yang kita makan setelah sekian lama?”

Kemudian mereka semua ikut teringat apa yang telah mereka lakukan belakangan ini. Tora benar, karena pembuatan album, tur kesana kemari, dan konser puncak semalam mereka hampir tidak mendapatkan tidur yang nyenyak dan makanan yang nikmat. Mereka begitu menikmati tidur mereka semalam dari malam sampai matahari terbit, selayaknya seseorang tidur dengan normal.

Kini semua makanan di depan mereka juga mereka santap dengan penuh rasa syukur. Mereka tidak perlu menikmati makanan cepat saji yang diburu oleh waktu mendesak karena jadwal. Kopi hangat dan semangkuk sereal penuh susu adalah hal kecil yang mereka rindukan pada pagi itu.

“Kurasa kita memang harus berterima kasih pada Shou.” Tora mengangkat gelas jus jeruknya diikuti yang lain. “Untuk makanan terlezat dan kesuksesan yang telah kita raih.”

“Kanpai!!” mereka mendentingkan gelas mereka bersamaan.

Setelah bersulang, mereka pun kembali membahas konser mereka semalam. Bagaimana ceria dan antusiasnya para penonton akan lagu-lagu yang mereka bawakan. Sedikit kesalahan yang untungnya tidak terlihat pada gitar Tora atau suara Shou yang mendadak serak di tengah panggung, dan beberapa ‘kenakalan’ mereka karena fanservice saat Tora dan Saga berciuman. Mereka sangat menertawakan hal itu walau sudah sering mereka lakukan di hampir setiap konser.

“Aku tidak menyangka Tora yang melakukannya. Tadinya kupikir Shou yang akan seperti itu.” Nao menjelaskan kekagetannya pada malam itu.

“Ya, kalau Shou memang benar-benar melakukannya dan Yoriko melihat, gadis itu pasti akan pingsan.” Saga terkekeh. “Menurutku dia gadis yang matanya masih murni, walaupun dia pernah keliling dunia.”

“Menurutmu dunia yang Yoriko sukai tidak ada hal-hal seperti itu? Pasti ada.” Sahut Hiroto.

“Kalau begitu tanyakan saja padanya apa dia mau berubah menjadi vampir seperti yang diinginkan Bella Swan di Twilight. Sejak itu jadi banyak gadis yang berubah menjadi vampir maniak.” Tantang Nao.

“Kurasa dia akan menolak. Kau tahulah, vampir anti pada hal-hal suci seperti salib, air suci, dan sebagainya. Yoriko orangnya religius, dia pasti sedih kalau tidak bisa memasuki gereja karena berubah wujud.” Tora menebak-nebak.

“Hei, menurutmu bagaimana, Shou?” Saga melemparkan gulungan tisu bekas ke Shou yang duduk terpaku, entah sedang memikirkan apa.

“Entahlah... mungkin kata Tora ada benarnya.” jawab Shou plin-plan. Ketika teman-temannya membahas Yoriko ingatannya kembali ke semalam, saat Yoriko mendadak berubah dan memutuskan pergi dari mereka. Seandainya Yoriko menerima tawaran mereka untuk menginap disini pasti ia akan menjawab segala hal yang diperbincangkan teman-temannya sekarang.

“Menurutku, walau Yoriko menyukai hal-hal menyeramkan itu dia masih tetap di jalan yang benar. Tidak semua orang bisa melakukannya.” Shou meneguk susunya.

“Kau masih memikirkan kenapa Yoriko mendadak meninggalkan kita semalam, ya?” Tora bertanya. Masih terlihat jelas dari sikap Shou semalam yang tidak semangat berpesta dan kemurungannya pagi ini.

“Menurutmu kenapa Yoriko mendadak pergi semalam? Apa kita mengucapkan sesuatu yang salah kepadanya?” ternyata Nao juga penasaran.

“Aku tidak tahu. Tapi yang kuperhatikan dia mendadak berubah setelah kedatangan Avaron...” Hiroto mencoba mengingat.

“Kenapa begitu? Bukankah pertemanan mereka baik-baik saja? Setahuku mereka tidak memiliki masalah...” Saga mengernyitkan dahi.

“Kecuali...” Tora melirik Shou.

“Apa?” Shou mendadak sengit. “Kalau mereka bertengkar, hubungannya apa denganku?”

“Mungkin Yoriko tahu masa lalu Avaron dan Shou?” timpal Hiroto. “Maksudku, bisa jadi Avaron bercerita padanya.”

Tetapi itu tidak menjelaskan sikap Yoriko semalam. Kalau Yoriko berpikir dia tidak ada sangkut pautnya mengenai masa lalu yang Shou ceritakan padanya, seharusnya Yoriko tidak peduli. Tora mengingatkan betapa senangnya Shou oleh kedatangan Avaron dan itu benar. Sudah lama ia tidak melihat wajah seorang wanita yang begitu berarti untuknya. Shou sangat senang wanita itu menyempatkan waktunya datang ke konser Shou dan memberi selamat kepadanya. Pada malam itu kedatangan Avaron memberi arti banyak pada seluruh usaha Shou. Shou yang tadinya ingin melupakan perasaannya pada wanita itu kini berpikir dua kali untuk melakukannya.

“Kau harus bicara dengannya, Shou.” Kata Tora.

“Eh... kenapa?” Shou tidak mengerti.

“Kalau memang benar ia seperti itu karena kau, berarti kaulah yang harus menemuinya. Setidaknya, untuk berjaga-jaga saja.” Tora beralasan. “Tidakkah kau sadar perubahan di antara kalian belakangan ini? Kalian yang tadinya seperti anjing dan kucing mendadak akur. Memangnya dunia di sekitar kalian tidak berguncang karena itu?”

Lagi-lagi Shou tidak menyadarinya dan bingung. Mana mungkin Yoriko...

“Kalau kau tidak mau, temuilah dia sebagai atasan yang ingin tahu kenapa bawahannya bersikap buruk.” Saga membujuk Shou.

Shou masih bimbang antara ingin menemuinya atau tidak. Dia tidak ingin terluka oleh apapun yang akan dikatakan Yoriko nanti. Namun ia teringat janji untuk menjaga Yoriko yang dibuatnya sendiri, dan tiba-tiba ia merasakan sesuatu mencolek kakinya. Chirori yang sudah selesai makan mencakar pelan kakinya dan mata birunya yang menggemaskan memberikan tatapan meminta belas kasih pada Shou.

“Sepertinya Chirori mendukung kita. Dia pasti merindukan Yoriko...” Tora memanggil Chirori dan didekapnya kucing berbulu putih itu. Ia menggelitik perut Chirori dan berkata padanya, “Ya kan, sayang?”

Chirori mengeong pelan.

“Baiklah...” demi kebaikan semua, Shou mengalah. “Apa yang harus kulakukan? Seperti Yoriko akan langsung mengaku saja saat kutanyai nanti...”

“Shou benar...” kata Nao. “Kau jangan bersikap dingin atau menyebalkan di depannya kalau ingin mendapatkan jawaban jujur...”

“Ajak saja dia pergi malam ini.” tiba-tiba Saga mengusulkan dan rahang Shou nyaris jatuh karena tidak menduganya. “Makan malam, misalnya?”


“Apa? Makan malam?” Shou saja masih ingat Yoriko menolak ajakan makan malamnya padahal ajakan itu hanya sebagai sesama teman yang baru saja berdamai. “Mana mungkin dia mau.”

“Ya, makan malam. Ajak saja dia ke restoran favoritnya atau tempat-tempat yang dia senangi, dia pasti tidak akan menolak.” Saga meneruskan. “Kalian bisa berbicara tanpa ketegangan karena suasana tempat kerja.”

Shou skeptis. Tetapi dia juga sangat menginginkan jawaban dari Yoriko, mengenalnya, dan kalau bisa, membaca isi pikirannya. Sayangnya, tanpa Shou sadari, dia masih belum mendapatkan keberanian untuk melakukannya.

“Kudengar darinya restoran favoritnya adalah Christon Cafe di Shibuya. Kau ajak saja kesana.” Kata Nao.

Shou tergelak. Bahkan untuk restoran pun Yoriko tidak pernah jauh dari nuansa gotik. “Itu kalau dia mau...”

“Ayolah...” desak Tora setengah menyindir. “Hubungi dia, tidak ada ruginya kan? Kecuali kalau kau masih memertahankan harga dirimu yang terlalu tinggi itu.”

“Baiklah...” gerutu Shou. Dia mengeluarkan handphonenya dan mengirim Yoriko e-mail untuk ajakan makan malam itu.

Setelah e-mail itu terkirim, Shou menaruh handphonenya di tengah meja dan bersama keempat temannya ia mengawasi handphone itu, menanti balasan dari Yoriko dengan hening.

Namun keheningan itu tidak berlangsung lama ketika handphone Shou berbunyi sebagai tanda sebuah pesan tertulis masuk. Shou mengambil handphonenya dengan gesit dan membaca balasan dari Yoriko yang cukup singkat tapi cukup membuat mereka semua berteriak senang.

Gadis itu menerima ajakannya.

 ***

Avaron berjalan cepat menyusuri jalan supaya ia bisa cepat sampai ke petshopnya. Ia sengaja bangun lebih awal dan bersiap-siap, sampai menyuruh suaminya untuk tidak pergi dulu sampai siang karena harus menjaga Yukio.

Sesampainya disana, ia membuka pintu petshop tergesa-gesa hingga mengagetkan Yoriko yang berada di balik meja kasir, sedang menulis di laptopnya seperti biasa kalau sedang tidak ada pelanggan.

“Lho, ada apa, Avaron-san? Kenapa anda terengah-engah begitu?” tanya Yoriko keheranan melihat atasannya datang pagi sekali.

“Ya, Avaron-san. Ada apa?” Aya muncul dari lorong sambil membawa sapu.

“Kau tidak kuliah hari ini, Aya-chan?” sekarang giliran Avaron yang kaget melihat Aya juga datang kerja pagi.

“Tidak, aku sedang tidak ada kelas hari ini...” jawab Aya. “Perlu kuambilkan minum, Avaron-san?”

“Tidak, tidak usah.” Avaron menolak. Setelah ia mengambil napas, ia berjalan ke arah Yoriko yang masih menatapnya keheranan. “Aku datang pagi-pagi seperti ini karena ingin berbicara dengan Yoriko.”

“Apa?” Yoriko kaget. Mimik wajahnya berubah kebingungan dan takut jika seandainya ia telah melakukan kesalahan. Apalagi setelah kejadian semalam. “A... anda ingin bicara soal apa?”

Avaron tidak menjawab. Ia malah ikut masuk ke meja kasir dan memeluk Yoriko erat-erat. “Yoriko-chan, maafkan aku, ya!!”

“Ee...” Yoriko semakin bingung. “Kenapa anda tiba-tiba meminta maaf?”

“Kau pasti kesal padaku karena semalam, ya kan? Makanya kau mendadak pergi. Maafkan aku, Yoriko-chan!!” Avaron tidak mau melepaskan pelukannya.

Yoriko tidak sanggup berkata apapun. Dia tidak menyangka sama sekali Avaron akan menyadari perubahan sikapnya semalam dan meminta maaf padanya. Avaron menjelaskan bahwa ketika Yoriko berpamitan, Avaron langsung menyadari ada sesuatu yang salah dan berpikir dialah penyebabnya.

“Aku tahu pasti karena Shou, bukan?” kata Avaron. “Kau mau memaafkanku?”

Yoriko diam sejenak sebelum menjawab, “Anda tidak perlu meminta maaf padaku, Avaron-san. Jika memang ada yang harus meminta maaf, seharusnya itu aku.”

“Kenapa?”

“Karena aku sadar aku berada di antara kalian...” Yoriko berkata lirih. “Tidak hanya Shou, melihat anda begitu akur bersama mereka dan membicarakan masa lalu kalian yang begitu menyenangkan membuatku merasa aku tidak pantas berada disana. Aku tidak ingin mengganggu, itu saja.”

Avaron luluh mendengar penjelasan Yoriko. “Ya ampun, Yoriko... kenapa kau berpikiran begitu? Masa lalu atau bukan, kau tetap bagian dari kami. Jangan merendahkan dirimu, Yoriko-chan...”

“Tidak hanya itu, Avaron-san...” sela Yoriko. Avaron siap mendengarkan penjelasan Yoriko selanjutnya, tetapi tidak ada kata terucap dari bibir Yoriko. Gadis itu tidak ingin Avaron dan Aya berpikir apa yang akan ia katakan sangat konyol dan bisa dijadikan bahan untuk ditertawakan.

“Apa, Yoriko? Katakan saja.” kata Aya ikut menanti apapun yang akan dikatakan Yoriko.

“Kalian pasti menganggap ini aneh. Aku mendengar Shou bernyanyi semalam...” Yoriko menatap kedua sahabatnya. “Entah ini berlebihan atau apa, tapi aku merasa dia bernyanyi begitu merdu dan menghayati. Harus kuakui aku terpesona olehnya, sampai aku berpikir lagu itu dia nyanyikan untukku. Namun... begitu kusadari anda berada disana, Avaron-san, aku jadi tahu lagu itu sebenarnya ia nyanyikan untuk siapa. Dia masih mencintai anda, Avaron-san...”

Avaron dan Aya terperanjat mendengar pengakuan Yoriko. Tidak satupun dari mereka berkata apapun sampai pertanyaan Avaron memecah kesunyian di antara mereka.

“Kau mencintai Shou, Yoriko-chan?”

Yoriko membutuhkan beberapa waktu untuk menimbang jawabannya, menarik napas dalam-dalam, dan melepaskan seluruh beban dan khayalan yang dimilikinya selama ini dan pada akhirnya ia pun mengaku, “Ya, aku mencintainya...”

Sebuah senyum penuh arti terlukis di wajah Avaron, “Sudah kuduga...”

Tetapi Aya menanggapi pengakuan Yoriko dengan bersorak riang sekeras mungkin, “Akhirnya kau mengaku juga!!!”

“Tapi itu tetap tidak mengubah apapun.” Kata Yoriko putus asa.

“Kecuali kalau kau memberitahunya...” Avaron berkata dengan sangat lembut.

“Tidak mungkin! Itu akan merusak segalanya, Avaron-san!” Yoriko panik dan mendadak jantungnya serasa berhenti mendengar saran Avaron.

Merasakan kekalutan Yoriko, Avaron meraih tangan Yoriko yang gemetaran. Ia pun menatap Yoriko dalam-dalam, menyiratkan rasa keibuannya, meyakinkan Yoriko untuk tidak takut. “Lebih baik kau memberitahunya daripada kau sakit hati karena memendamnya sendirian, Yoriko-chan...”

“Tapi...” Yoriko masih ketakutan. “Bagaimana kalau dia tidak mencintaiku? Bagaimana kalau setelah aku mengatakannya dia akan membenciku lalu menganggapku hina?”

“Shou pria yang baik, dia pasti akan tetap menghargaimu. Kau harus memberanikan dirimu, Yoriko-chan. Janganlah mundur karena terlalu memikirkan kemungkinan buruknya.” Avaron berkata dengan sangat lembut.

“Ya, Yoriko-chan.” Aya menyemangati Yoriko. “Kalau dia macam-macam padamu, aku akan menghajarnya, tidak peduli dia artis atau bukan.”

“Terima kasih, Aya. Tapi aku masih tidak bisa melakukannya...” Yoriko tetap menolak. “Maksudku, kau tahu hubungan kerja kami, kan? Aku tidak bisa mengambil resiko dia akan memecatku karena aku memiliki perasaan terhadapnya.”

“Kalau kau tidak berani memberitahukannya sendirian, aku punya ide.” Avaron memberi usul. “Undang saja dia ke pesta yang akan kuadakan besok lusa. Kau bisa menyatakan perasaanmu disana, di depan kami tanpa merasa terintimidasi. Aku dan Aya akan membantumu jika terjadi sesuatu. Bagaimana?”

“Pesta apa?” Yoriko mengerutkan dahi.

“Hanya pesta kecil-kecilan di rumahku. Pesta untuk merayakan...” Avaron tiba-tiba tersenyum malu dan menaruh tangannya di perutnya. “kehamilan keduaku.”

Langsung saja Yoriko dan Aya menjerit kesenangan. “Ya Tuhan!! Benarkah itu, Avaron-san!? Sudah berapa lama!?”

“Aku baru tahu tadi pagi. Besok aku dan Kai akan pergi ke dokter untuk memastikan. Jadi kita berharap yang terbaik saja, ya?” kata Avaron dengan penuh harapan. “Nah, untuk itu, kau tidak akan menolak untuk datang kan, Yoriko-chan?”

Yoriko tersenyum lebar-lebar mengetahui sebentar lagi seorang bayi mungil akan hadir di antara mereka. Karenanya harapan Yoriko pun tumbuh, “Ya, aku akan datang, Avaron-san.”

“Ajak Shou, ya. Dia pasti senang jika diundang, toh dia juga sahabat kita, kan?” Pesan Avaron.

“Tapi... bagaimana aku mengajaknya? Setelah konser mereka mengambil cuti, aku tidak bekerja untuk mereka lagi selama mereka berlibur...” Yoriko kembali kebingungan.

“Ah... kau ini. Ambil handphonemu, telepon atau kirim e-mail untuknya.” Aya sedikit jengkel Yoriko tidak terpikir hal itu.

Yoriko tersenyum kering begitu ia teringat. Segera ia mengambil handphone dari saku dressnya dan mulai mengetik e-mail untuk Shou. Tetapi Yoriko telah didahului oleh sebuah e-mail yang masuk ke handphonenya. Saat ia membukanya, Yoriko tidak bisa menyembunyikan rona pipinya yang mendadak berwarna seperti tomat.

“Shou mengajakku makan malam hari ini...” ujar Yoriko malu-malu.

“Terima ajakannya, Yoriko!! Terima!!!” jerit Avaron dan Aya kesenangan.

Yoriko tertawa tanpa henti melihat reaksi kedua temannya. Tanpa ragu lagi, ia mengetik e-mail balasan untuk Shou, menerima ajakannya.

*** 

Pukul 8 malam, Shou menunggu tepat di depan Christon Cafe dengan penampilan serapi mungkin. Kemeja putih dan celana jins gelap bukanlah pakaian yang biasa ia kenakan, tetapi karena desakan Tora dan yang lain menginginkan Shou berpakaian sedikit ‘berkarisma’ dan ‘menawan’ atau apalah itu, Shou hanya bisa pasrah, berharap Yoriko tidak menyadari penampilan barunya dan menertawakannya.

Sepuluh menit kemudian, ia melihat sosok Yoriko dari kejauhan. Gadis itu berjalan di antara kerumunan dengan jubah hitam berkibar melilit di lehernya. Entah karena penglihatan Shou yang salah atau Yoriko memang terlihat cantik dan berbeda malam ini. Meski dress hitam dan sepatu boot kulit tetap melekat di tubuhnya.

Bibir merah gadis itu tersenyum ketika menangkap keberadaan Shou. Ia berjalan lebih cepat supaya Shou tidak menunggu lebih lama. “Hai, Shou! Kau sudah memesan tempat?”

“Be... belum...” jawab Shou gugup saat Yoriko berdiri hanya beberapa centi di dekatnya. “Aku belum pernah ke restoran ini, jadi...”

“Oh, tidak apa! Akan kutunjukkan kau tempat terbaik!” kata Yoriko antusias sambil melihat penampilan Shou. “Ngomong-ngomong, kau terlihat berbeda malam ini...”

“Ngg... hanya ini yang bisa kutemukan di lemariku. Aku tidak sempat mencuci. Hehe...” Shou cepat-cepat menyangkal.

Yoriko hanya bergumam singkat sebelum mengajak Shou masuk ke dalam restoran. Salah seorang pelayan menyambut mereka dan menawarkan meja untuk dua orang. Sesuai permintaan Yoriko, mereka ditempatkan di meja dekat altar Bunda Maria. Mereka disuguhi kue-kue dan minuman penyegar secara gratis sebelum memesan.

“Ini tempat favoritku dan Juri di restoran ini...” Yoriko membeberkan sebuah fakta yang membuat Shou tertusuk sangat dalam.

Kenapa Yoriko harus menyebut nama itu? Demi Tuhan, Juri sedang tidak ada disini dan Yoriko tidak perlu membahasnya. Shou tidak bisa membayangkan meja tempat mereka duduk ini adalah meja dimana Yoriko dan Juri sering bercengkrama, menikmati makanan sambil tertawa.

Menutupi kekesalannya, Shou meminta pelayan untuk langsung mencatat pesanan mereka. Ia melihat seluruh menu makanan yang tersedia di buku menu dan kebingungan, tidak tahu makanan apa yang enak disini.

“Kusarankan kau memesan steik salmon saja. Kata Juri, itu menu makanan terenak disini.” Yoriko menyarankan sambil mengerling ke pelayan. “Ya, kan?”

“Benar, kami menyediakan seluruh menu makanan disini dengan cita rasa dan kualitas terbaik.” Jawab si pelayan dengan sopan dan bangga.

Saat Yoriko menyebut nama Juri lagi, nyaris saja Shou mengambil garpu di dekatnya dan menancapkannya ke meja sebagai tanda amarahnya. Tidak ingin disamakan dengan Juri, Shou akhirnya memesan menu yang ia bahkan tidak tahu bagaimana cara membacanya. “Aku pesan... steik foie grass dengan risotto?”

Yoriko mengangkat alisnya mendengar pesanan Shou sebelum memesan makanannya, “Seperti biasa, aku memesan salad. Terima kasih...”

Pelayan pergi dan selagi pesanan mereka disiapkan, Yoriko pun mengajak Shou mengobrol. “Kenapa kau memesan foie gras?”

“Memangnya kenapa?” Shou bertanya balik.

“Aku melihat betapa sadisnya perbuatan orang-orang pada para bebek itu untuk membuat menu makanan itu di internet. Aku hampir menangis saat tahu mereka dipaksa memakan begitu banyak adonan jagung dan mulut mereka ditusuk-tusuk secara paksa dengan pipa logam supaya cepat masuk ke kerongkongan...” kata Yoriko sedih.

Shou memutar matanya. Bisa-bisanya Yoriko membahas itu sebelum makan. “Sudahlah, aku baru tahu dari kau soal itu. Aku juga tidak mengerti menu-menu disini jadi aku asal saja memesan.”

“Ya sudah...” Yoriko pun diam.

Shou mengganti topik pembicaraan. “Kau suka sekali restoran ini, ya?”

Yoriko mengangguk cepat. “Ya! Hanya ini restoran bernuansa gotik tapi juga seperti gereja yang kutahu. Keren, kan?”

Shou tertawa pelan. Ia melihat sekeliling restoran. Salib dimana-mana, bahkan di bar pun ada lukisan “Jamuan Terakhir”, altar Bunda Maria tepat di samping mereka, tetapi juga bernuansa menyeramkan dengan perabotan gotik klasik dan didominasi oleh warna merah.

“Aku heran ternyata gotik juga dihubungkan dengan gereja dan semacamnya. Padahal kebanyakan gotik itu tentang vampir, iblis, dan kematian. Sesuatu yang cukup berlawanan kan?” kata Shou.

“Menurut Patrick O’Malley, semua itu berawal dari novel abad 19 karangan Bram Stroke berjudul Dracula dan Jude the Obscure karangan Thomas Hardy. Kau pasti tahu, kan?” jawab Yoriko.

Gotik mulanya adalah istilah hina dari jaman Renaissance, tentang suku gotik yang mendirikan bangunan-bangunan bernuansa gotik. Namun mereka menghancurkan kesan itu dengan mengenalkan bangunan mereka yang bernuansa gelap dan melankolis itu hanya untuk tujuan keindahan semata. Sebenarnya seni dan arsitektur gotik adalah simbol estetika dari jaman sejarah Eropa ketika paganisme telah dihapuskan, tradisi budaya klasik dihancurkan, gerombolan penyusup telah dikalahkan atau dikristenisasi, dan gereja Katolik menetapkan bahwa selain mereka menyediakan kebutuhan rohani, tetapi juga penengah dari nasib pemerintahan dan rakyat.

Tiba-tiba pertanyaan yang muncul dari Nao tadi pagi teringat oleh Shou. Digelitiki oleh rasa penasaran, Shou bertanya pada Yoriko. “Kalau begitu, apa kau mau menjadi vampir seperti yang biasa diinginkan gadis gotik kebanyakan?”

Yoriko memasang mimik kebingungan dan bimbang. “Entahlah... kurasa aku tidak mau...”

“Lho? Kenapa?”

“Karena kalau aku berubah menjadi vampir, aku tidak akan bisa memasuki gereja lagi karena vampir anti dengan tanah suci. Kulitku pasti akan terbakar bila tersentuh air suci dan salib, aku tidak mau itu terjadi...” kata Yoriko dengan bibir cemberut.

Shou tertawa mendengarnya. Tetapi tawa itu tidak bertahan lama ketika Yoriko meneruskan, “Nanti aku tidak bisa ke gereja setiap minggu bersama Juri...”

“Apa? Kalian pergi ke gereja bersama?” Shou terkejut.

“Ya, masa kau tidak tahu? Dia mendaftar sebagai jemaat di gerejaku. Keren, kan? Selama dia disini, dia pergi ke gereja bersamaku setiap hari Minggu.” Raut riang menghiasi wajah Yoriko. “Aku jadi ingat Juri sedikit kebingungan saat khotbah diucapkan dengan bahasa Jepang. Pada akhirnya kami pun mengganti jadwal misa kami dengan misa berbahasa Inggris.”

Shou memang tahu Juri setiap Minggu pergi pagi-pagi sekali untuk menghadiri misa di gereja. Tetapi ia tidak pernah tahu sepupunya itu pergi kesana bersama Yoriko. Sungguh sebuah fakta menyebalkan lainnya yang terpaksa ditelan Shou pada malam itu.

Shou menjadi tercenung sesaat sebelum pesanan makanan mereka tiba. Shou jadi tidak bernafsu melihat foie gras di depannya setelah mengetahui fakta dari Yoriko tentang bebek-bebek malang itu.

“Oh ya, maaf semalam aku tidak memenuhi ajakan kalian menginap di rumahmu...” kata Yoriko seraya memulai santapan saladnya.

“Ngg... tidak apa-apa, tenang saja. Kami paham, kok...” jawab Shou seolah masalah itu tidak pernah menjadi topik utama obrolannya dengan teman-temannya tadi pagi.

“Lagipula, aku tahu kau pasti tidak suka aku berada di rumahmu...” ujar Yoriko pelan.

“Yoriko...” Shou menyadari kebodohannya tentang pertengkaran mereka di rumahnya tempo hari. “Lupakan saja soal itu. Aku sedang emosi waktu itu.”

“Aku jadi tidak enak hati pada Juri. Kuharap kau tidak terlalu keras padanya waktu itu. Dia tidak tahu sama sekali kau akan marah besar karena mengajakku tanpa seizinmu...”

Shou mulai geram. Untuk apa Yoriko merasa bersalah pada Juri? Shou adalah pemilik rumah, seharusnya Yoriko... argh, kenapa semuanya jadi menyangkut Juri? Shou gemas pria yang sudah berada di ujung dunia itu masih sanggup menyabotase perhatian Yoriko.

“Sudahlah, lupakan saja.” Shou mulai ketus. Lama-kelamaan dia bisa menelan foie gras ini bulat-bulat saking kesalnya.

Ternyata perkiraan temannya salah. Malam ini tidak akan menjadi malam yang indah seperti ucapan mereka. Shou sudah bisa menebak Yoriko pasti sudah menaruh hati pada Juri dibanding siapapun. Shou selalu menangkap senyum penuh arti di wajah Yoriko setiap kali dia membahas sepupunya itu. Dan ketika Shou teringat pada pesan Juri yang memintanya menjaga gadis itu selama ia tidak ada, Shou merasa pahit. Ia benar untuk memutuskan kembali ke dunianya sendiri, ia masih merasakan cintanya terhadap Avaron kembali bersemi semalam ketika wanita itu datang kepadanya. Walau ia tahu ia tidak bisa mendapatkannya, setidaknya rasa sakit yang sama tidak akan terulang lagi disaat ia tahu Yoriko telah menyukai orang lain.

Yoriko menyadari perubahan suasana di diri Shou meski ia tidak tahu karena apa. Ia menghabiskan sayuran saladnya dengan enggan dan berkata, “Maaf... kalau begitu, maukah kau mendengarkan ini? Tadi pagi Avaron-san memintaku mengajakmu menghadiri pesta kecilnya besok lusa. Kau mau datang?”

Mendengar nama Avaron disebut, Shou menjadi ingin bertemu wanita itu lagi. “Jam berapa? Pesta apa?”

“Jam 7 malam. Yah, hanya pesta kecil-kecilan biasa untuk kumpul bersama, mungkin?” jawab Yoriko. “Kau mau datang, kan?”

Tadinya Yoriko ragu Shou akan menyanggupi ajakan itu tetapi ia cukup kaget ketika Shou langsung menjawab dengan yakin.


“Ya, aku akan datang.”