20
Malam itu
Tora sengaja menginap di apartemen Shou sesuai pesan teman-teman bandnya untuk
segera menanyai Shou ketika ia pulang dari kencannya dengan Yoriko, atau makan
malam biasa, sesuai dengan yang Shou berkali-kali tegaskan.
Tora mengambil
mi instan dari lemari dapur dan menyeduhnya dengan air panas dari dispenser
untuk makan malam. Dia menggerutu, seharusnya ia menyuruh Shou memasak sesuatu
lebih dulu sebelum pergi.
Waktu telah
menunjukkan pukul 10 malam. Kalau hampir selarut ini, itu berarti ada kemajuan
di antara pasangan konyol itu. Itu juga berarti Tora harus menunggu seperti
seorang ayah yang cemas mengapa anaknya belum pulang selarut ini sambil
menonton salah satu koleksi DVD film Shou.
Tetapi saat
dia baru saja film yang ingin ditontonnya dimulai, dia mendengar seseorang
membuka pintu apartemen. Masuklah Shou yang melempar kunci dan jaket yang
dibawanya sekenanya di sofa dan meja, membuat Tora keheranan terlebih lagi raut
wajah sahabatnya tidak sesuai yang diharapkannya.
“Kencanmu
gagal?” tanya Tora.
Namun Shou
hanya menggerutu tidak jelas dan berjalan ke dapur, kembali sambil meneguk
sekaleng bir dingin di tangannya. Tora memanggil namanya lagi untuk meminta
kejelasan.
“Itu bukan
kencan.” Shou berkata ketus. “Kalaupun memang kencan, tidak seharusnya gadis
aneh itu membicarakan orang lain.”
“Ng?” Tora
mengerutkan dahi. “Memangnya Yoriko membicarakan siapa?”
“Juri.” Jawab
Shou sambil meneguk birnya lebih banyak lagi ketika ia terpaksa menyebut nama
yang menjengkelkan itu. “Entah dia tidak memiliki topik lain atau terlalu
bersemangat membicarakan orang aneh itu.”
“’orang
aneh’?” Tora tidak mengerti. “Setahuku kalian sudah berdamai.”
“Orang itu
sudah jauh berada di ujung dunia sekarang, tetapi kenapa Yoriko masih saja membicarakan
dia? Aku memiliki banyak topik yang bisa dibicarakan. Seperti kafe aneh tempat
kami makan tadi, misalnya? Memangnya siapa yang peduli dia dan orang aneh itu
sering makan bersama disana, di altar Bunda Maria?” Shou terus berbicara
panjang lebar.
Mendengar
omelan Shou yang sepertinya tidak akan pernah habis itu, Tora mengambil
kesimpulan, “Kau cemburu pada Juri, ya?”
Pandangan
Shou mendadak jadi sengit pada Tora. Penuh pengelakan ia menjawab, “Tidak.
Kenapa kau berkata begitu?”
“Jelas
sekali, Shou.” Tora tertawa karena tidak percaya. “Kau cemburu pada orang yang
mampu membuat Yoriko terus berbicara tentangnya padahal saat ini orang itu
berada di ujung dunia dibanding dirimu yang tepat di depannya.”
“Menurutmu
Yoriko jatuh cinta pada Juri?”
Tora menjawab
dengan ragu, “Mungkin, kalau dia bisa terus membicarakan orang itu selama
kencan kalian berlangsung.”
Shou mendesah
kecewa. Ia membanting dirinya di sofa dan mengambil remote DVD. “Kau memutar
film apa?”
“The Empire Strikes Back.” Tora menyebut
salah satu film dari trilogi Star Wars.
Shou
tersenyum. Film yang cocok untuk mengobati kekesalannya sekarang. Sambil
mengulang film itu dari awal, ia berkata pada Tora, “Jadi pertanyaan kalian
terjawab, bukan? Tidak ada yang terjadi di antara aku dan gadis gotik itu, dan
tidak akan pernah terjadi.”
“Belum tentu
begitu.” sanggah Tora dengan nada optimis. “Dia bisa saja terus membicarakan
Juri karena dia tidak tahu apa yang bisa dibicarakan denganmu.”
“Huh?”
“Satu-satunya
hal yang berhubungan dengan kalian adalah Juri. Kau bodoh jika kau menganggap
pertemanan sepupumu yang jauh dari London dan Yoriko yang bisa muncul dari mana
saja hanyalah kebetulan.” Tora menjelaskan.
“Maksudmu
takdir?” Shou mencoba menangkap arti penjelasan Tora. Jika benar takdir, maka
itu bukanlah untuk Shou. Bagi Shou pertemuan mereka berdua tidak ada sangkut
pautnya dengan dirinya dan malah terlihat seperti Shou menghalangi jalan
mereka.
“Kau sudah
melangkah jauh, Shou.” Ujar Tora. “Kenapa kau harus menyerah? Terlebih lagi,
aku harus menanyakanmu ini. Mengapa kau berani melakukannya?”
Shou diam
saja. Tadinya ia berpikir ia memberanikan diri mempertaruhkan perasaannya yang
sudah lama membeku hanya untuk teman-temannya yang penasaran. Dia merasa tidak
ada salahnya melihat kemungkinan yang terjadi di antara mereka meski ia tahu
hasilnya sama seperti ia mencelupkan jarinya ke dalam cairan asam belerang,
melepuh sia-sia.
“Dulu
semuanya terasa baik-baik saja.” kata Shou. “Apa yang terjadi padaku?”
“Karena sadar
tidak sadar, kau juga harus bangkit, Shou. Kau tidak harus terpuruk oleh masa
lalumu.” Jawab Tora.
“Tidak.” Shou
menyangkal. “Untuk apa aku terus berusaha kalau aku sudah tahu hasilnya akan
seperti apa? Bisa jadi perasaanku yang sekarang hanyalah pelarian.”
“Jangan
berkata seperti itu, Shou.” Tora sudah bisa menangkap yang dimaksudkan Shou.
“Wanita itu sudah menikah, jika kau harus menyerah, seharusnya kau melakukannya
sekarang terhadap perasaanmu kepadanya.”
Shou malah
berpikir sebaliknya. Lebih baik ia mengenang masa lalunya, segala hal yang
dilakukannya bersama wanita itu, dan terus mengingat bahwa dia akan terus
mencintainya. Semua itu terasa lebih indah dan tidak akan pernah menyakitkan.
Tidak jadi soal jika Yoriko dan Juri ditakdirkan bersama, Shou akan turut
berbahagia untuk mereka bersama khayalannya.
Setelah
mengutarakannya, Tora memandang Shou dengan sinis. “Itu berarti kau akan
mengulang kesalahan yang sama.”
“Bukan
kesalahan jika kau tidak pernah melakukannya.” Ujar Shou. “Sudah jelas hasilnya
akan buruk jika aku meneruskannya.”
“Kau tidak
akan pernah tahu jika kau terus terjebak di dalam kotak imajinasimu, Shou. Ingat
bahwa semua itu bisa menipumu.” Tora memperingatkan. “Kau tahu salah satu hal
yang membuatku kesal pada orang banyak?”
Shou tahu
Tora bukanlah tipe orang yang bisa berbaik hati pada semua orang, itulah
mengapa ia merasa beruntung ketika Tora menganggap dirinya sebagai salah satu
sahabat terbaiknya. “Apa?”
Kata-kata Tora
pun mengalir bagaikan hujan es. “Ketika mereka yang menyerah lebih dulu karena
mereka lebih dulu melihat seberapa jauh perjalanan mereka di depan daripada
melihat seberapa jauh yang telah mereka capai.”
Malam ini terasa sangat ajaib. Judy tidak
ingat dan tidak pernah merasa ia pernah mengalami hal ini sebelumnya. Sebagian
waktu hidupnya ia habiskan sendirian, tidak ada orang berarti memasuki
kehidupannya dan mengubah dirinya karena ia tidak pernah mengizinkan mereka.
Baginya hidup sendirian tidak akan membuat dirinya harus memakai topeng dan
melakukan apa yang orang lain inginkan. Ia tidak harus menderita dan merasakan
perubahan yang menyakitkan.
Tetapi untuk perubahan yang satu ini, dimana
seseorang kini menggenggam tangannya begitu erat, memastikan Judy tidak akan
terlepas darinya, adalah sebuah perubahan yang ia bisa terima.
Ia dan Spencer berjalan menyusuri trotoar
menuju rumah Judy. Mereka bersenang-senang pada malam itu, menonton film laga
kesukaan mereka, makan malam di sebuah restoran cepat saji, bermain ice skating
di arena terdekat. Malam itu mereka benar-benar melupakan kasus dan menjadi
orang biasa. Seluruh dunia bisa tahu mereka saling mencintai walau tidak
satupun kata terucap dari bibir mereka.
Judy mencuri pandangan pada pria di
sampingnya, terlepas dari seluruh tawa dan canda yang mereka habiskan
semalaman, Judy masih belum bisa mengetahui apa yang dipikirkan Spencer saat
ini. Apa arti di balik senyumannya yang tak pernah memudar? Kenapa Spencer
tidak mengizinkannya melepas genggaman tangan mereka?
“Spence...” panggil Judy. Spencer bergumam
sebagai respon.
“Apa kau senang?” tanya Judy berdebar.
“Kau juga?” Spencer menjawab singkat tapi
sanggup meluluhkan hati Judy.
“Ya, te... tentu saja...” Judy tertawa pelan
agar menutupi rasa gugupnya.
Spencer kembali tersenyum. Judy memutuskan tidak
berkata apapun agar rasa gugup dan bahagia tidak terlihat oleh Spencer, meski
tampaknya Spencer telah menyadarinya. Judy ingin menikmati momen ini dalam
diam, memastikan segalanya bukanlah sekadar mimpi dan ia tidak akan terbangun
di ranjangnya yang berantakan di dalam kamar yang dingin dan monoton,
sendirian.
Ketika mereka sampai tepat di depan pintu
gedung apartemen Judy, disaat itulah keajaiban sebenarnya terjadi.
Spencer memberikan sebuah ciuman manis di
bibirnya, sebuah ciuman selamat malam yang tidak akan pernah ia lupakan.
Jika ini adalah mimpi, Judy pasti sudah
bangun sekarang.
...
***
“Kau yakin,
Yoriko?” tiba-tiba Hitomu mengagetkan Yoriko dari belakang, menghentikan
kegiatan menulisnya.
“Yakin apa?”
ia menoleh ke Hitomu yang memberikan raut khawatir di wajahnya.
“Semalam kau
cerita padaku akan menyatakan perasaanmu pada Shou? Apa kau sudah yakin dengan
itu?” tanya Hitomu lagi.
Yoriko tidak
paham. Mengapa Hitomu terlihat tidak senang seperti dugaan Yoriko. Tidak
biasanya Hitomu yang biasanya mendukung segala keputusan atau apapun yang
dilakukan Yoriko menjadi seperti ini.
“Tentu saja
aku yakin. Kurasa, lebih baik kunyatakan saja daripada mengganjal terus-menerus
di hatiku.” Jawab Yoriko tidak seyakin kedengarannya. “Kenapa, Hitomu? Apa
menurutmu itu hal yang buruk?”
“Ngg...
tidak... aku hanya memastikan kau sudah benar-benar yakin atau tidak. Kau
tahulah, baru sekarang kau tertarik pada seorang pria.” Namun alasan Hitomu
juga tidak sejujur kedengarannya.
“Oh... Hitomu.”
Yoriko mengerti kenapa Hitomu seperti ini. Ia pun menarik pemuda itu ke
pelukannya. “Meski begitu kau tetap sahabat terbaikku.”
“Kuharap kau
bahagia dengannya, Yoriko-chan...” ujar Hitomu pelan.
Yoriko
menghela napas dan tersenyum. Jika itu adalah harapan terbaik yang bisa
sahabatnya berikan untuknya, ucapan terima kasih tidak akan cukup untuk
membalasnya. Namun pada akhirnya dengan tulus ia mengucapkannya juga.
“Aku harap
kita bisa tetap berteman seperti ini, Hitomu. Tidak akan ada yang bisa memisahkan
kita.” Bisik Yoriko. Dan kemudian ia bisa merasakan Hitomu tersenyum di
pelukannya.
“Yoriko!!!”
teriakan Aya dari balik pintu apartemennya melepaskan pelukan Yoriko dari
Hitomu.
“Aya sudah
datang. Aku akan pergi sekarang, Hitomu.” Yoriko berdiri dan berpamitan sambil
mematikan laptopnya.
“Ya,
hati-hati, Yoriko-chan.” Pesan Hitomu.
Yoriko
bergegas menuju pintu untuk membukanya. Dilihatnya Aya berdiri di depannya
dalam keadaan rapi dan manis. Rok mini berlapis legging yang dipakainya cocok
untuk menyambut musim panas yang sebentar lagi datang.
“Ayo, kau
sudah siap?” tanya Aya terburu-buru, tidak ingin mereka terlambat ke pesta yang
diadakan Avaron nanti sore.
“Ya, tunggu
sebentar.” Yoriko kembali masuk ke dalam untuk mengambil jubah dan tas tangannya
lalu keluar dari apartemen.
Saat mereka
berjalan keluar dari apartemen, Aya mulai menggoda Yoriko, “Kau sudah siap
dengan pengakuan cintamu nanti malam? Hihihi...”
Pipi Yoriko
memerah padam karena malu. Dia tidak akan pernah siap mengaku di depan Shou,
terlebih rasanya setelah makan malam bersama pria itu Yoriko merasa Shou
menjaga jarak darinya. Harus Yoriko akui ia sangat gugup saat itu, ia sungguh
tidak tahu topik apa yang harus dibicarakan sehingga ia hanya membicarakan
satu-satunya hal yang berkaitan dengan mereka, yaitu Juri. Juri pernah
bercerita hubungannya dengan Shou mulai membaik, jadi Yoriko berpikir tidak ada
salahnya ia membicarakan sepupu Shou yang dirindukannya itu.
Di sisi lain,
Yoriko menaruh harapan besar untuk malam ini. Menurut Aya, jika Yoriko yang
terus membicarakan Juri membuat Shou menjaga jarak darinya, itu berarti ada
kemungkinan perasaan Yoriko terbalas.
Harapan itu
sangat besar sampai Yoriko menuangkannya dalam tulisannya sendiri. Seperti
Spencer yang akhirnya bisa melupakan perasaan lamanya dan pada akhirnya melihat
Judy. Walaupun dia tahu kisah cintanya tidak akan sesempurna dua tokohnya itu,
ia tidak bisa melepaskan harapan bahwa Shou akan memberikan ciuman manis ketika
malam mereka sudah berakhir.
Mereka
menaiki bus menuju komplek perumahan dimana keluarga Yutaka tinggal. Rumah
sederhana yang sangat asri dan terasa sangat damai karena keharmonisan keluarga
yang tinggal di dalamnya. Sebuah kehidupan indah yang Yoriko pikir tidak akan
pernah ia dapatkan.
Kedatangan
mereka disambut oleh Avaron dan Yukio di pintu rumah. Ibu dan anak itu menyapa mereka
dengan riang.
“Kalian
datang tepat waktu! Macaroni panggangnya baru saja keluar dari microwave!”
sambut Avaron.
“Kedengarannya
lezat, Avaron-san!” seru Aya tidak kalah senangnya. Ia beralih ke Yukio dan
menggendong anak yang sudah seperti adiknya sendiri. “Halo, Yukio-chan!!”
Yukio
menyambut Aya dengan senyum polosnya yang tidak pernah hilang. Yoriko hanya
tertawa melihat keceriaan di depan matanya. Semuanya berpakaian cerah dan tidak
melepas senyum mereka untuk acara kecil ini, Yoriko merasa seperti sepotong
kegelapan di bawah cahaya, masih tidak menyangka dia adalah bagian dari semua
ini.
Yoriko memberikan
kotak berisi hadiah darinya dan Aya yang mereka beli saat dalam perjalanan ke
rumah atasan mereka. “Selamat ya, Avaron-san.”
“Oh... kalian
manis, sekali...” Avaron tampak terharu dan berterima kasih menerima hadiah
kecil itu. “Ayo, masuk. Sebentar lagi makan malam akan siap dan aku ingin
kalian membantuku sebelum para cowok datang.”
“Para cowok?”
tanya Aya ketika mereka menyusuri lorong rumah menuju dapur.
“Kai sedang
mengurus sesuatu tentang bandnya sebentar di studio. Shou mengirimiku e-mail
dia akan datang tidak lama lagi.” Jawab Avaron dan secara tiba-tiba ia menoleh
ke Yoriko. “Kau tidak gugup kan, Yoriko-chan?”
“Ma... maksud
anda?” Yoriko berpura-pura tidak mengerti.
“Aku
menyuruhnya sedikit berpenampilan... tidak biasanya untuk malam ini karena
acara ini sangat istimewa.” Kata Avaron. Tentu saja istimewa. Kapan lagi ada
perayaan kehidupan baru yang akan hadir di antara mereka disaat sebuah cinta
baru mulai bersemi?
“Anda sudah
menyiapkan kantung beras yang kuminta?” tanya Aya antusias. Sepertinya kedua
wanita ini sudah sangat siap untuk merayakan bila Yoriko dan Shou sudah jadian.
“Semua sudah
siap!” jawab Avaron mantap. “Kalau sudah resmi jadian, kita tinggal lempari
mereka dengan itu seperti saat kau melempariku dengan beras di hari pernikahanku.”
Mendengar itu
pipi Yoriko kembali memerah. Avaron dan Aya langsung menertawakannya begitu
mereka menyadarinya.
Avaron
meminta mereka menata peralatan makan dan menu makanan yang akan dihidangkan di
meja. Tidak lupa mereka menyetel lagu-lagu ceria seperti lagunya Sweet Thing,
Natasha Bedingfield, dan Lenka untuk menebarkan aura optimis di seluruh rumah.
Yoriko sedang
menata sendok dan garpu di meja makan ketika ia mendengar bel rumah berbunyi.
“Yoriko, buka
pintunya. Itu pasti Shou!” suruh Aya di sampingnya.
“Tapi itu
bisa saja Kai-san...” jawab Yoriko sehingga membuat Aya kesal.
“Mana ada
orang membunyikan bel pintu rumahnya sendiri.” Kata Aya. “Ayo, cepat buka
pintunya sebelum kutendang kau!”
Yoriko
tergelak melihat betapa gemasnya Aya kepadanya. Ia akhirnya menyerah dan
berjalan ke pintu depan sebelum Aya menendangnya. Bel rumah dibunyikan lagi
sebagai tanda sang tamu sudah tidak sabar menunggu di depan.
“Ya,
sebentar!” seru Yoriko.
Disaat ia
membuka pintu rumah, keajaiban rasanya menyelimuti diri Yoriko. Tepat di
depannya berdirilah Shou, yang berpenampilan tidak seperti biasanya sesuai
permintaan Avaron. Kaus bergambar tokoh anime favoritnya berlapis kemeja
kotak-kotak biru dan celana jeans, Shou yang selalu memakai sneakers mengingatkannya
pada Spencer yang selalu mengenakannya meski ia sedang dalam tugas.
Sempat
terjadi kecanggungan di antara mereka saat Yoriko masih terpana oleh sosok pria
tinggi yang tampan di hadapannya dan Shou yang bertanya-tanya mengapa ia tidak
dipersilakan masuk.
“Ngg... ya,
ya! Masuk saja, Shou!” Yoriko akhirnya sadar saat Shou memberinya tatapan
tajam. Apakah benar pria ini yang akan ia berikan pernyataan cintanya?
Shou bersikap
seperti Shou yang biasanya. Ia melepaskan sepatunya dengan sekenanya di teras
sampai Yoriko harus membetulkannya. Cara berjalannya seperti ia tidak peduli
pada dunia di sekitarnya. Sebuah ciri khas yang menyeret Yoriko untuk belajar
mencintainya.
Avaron dan
Aya menyambut kedatangan Shou di ruang makan. Begitu juga Yukio yang sudah
duduk manis di kursi bayinya. Shou hanya membalas sapaan mereka sekilas dan
duduk di kursi meja makan. Yoriko yang berdiri di ambang pintu mendapat pesan
isyarat dari Aya yang masih menata meja makan untuk mengajak Shou mengobrol.
Sambil
berusaha menghilangkan rasa gugupnya, Yoriko mencoba menyanggupi suruhan Aya
tersebut.
“Hei...”
Yoriko menyapa Shou dan mengambil duduk di seberangnya. “Apa kabar?”
“Aku
baik-baik saja.” jawab Shou.
“Kalau kau
baik-baik saja...” Yoriko ragu untuk membahas ini atau tidak karena takut
menyinggung Shou. “kenapa kau terlihat murung?”
“Kau bertanya
apa aku baik-baik saja atau tidak, bukannya aku bahagia atau tidak.” Jawab Shou
ketus.
“Oh...
begitu, ya...” Yoriko tertawa canggung. “Ngomong-ngomong, terima kasih kau sudah
datang kemari.”
Namun Shou
ternyata memiliki pertanyaan besar yang belum terjawab. “Kalian mengadakan
pesta ini untuk merayakan apa?”
Yoriko
menjawab pertanyaan Shou dengan sebuah kedipan mata dan senyum yang membuat
Shou semakin penasaran. “Nanti kau juga tahu.”
“Sudahlah,
katakan saja.” kata Shou tidak sabar. “Memangnya salah satu dari kalian ada
yang berulang tahun hari ini?”
Yoriko
tertawa mendengar tebakan Shou yang asal-asalan itu. “Kau pasti akan sangat
kaget kalau kau tahu. Dan kami ingin sekali melihat wajahmu yang kaget itu
nanti.”
Shou
menggerutu dan mencibir tidak jelas. Jelas sekali hari ini dia sedang tidak
ingin mendapat kejutan atau apapun. Dia hanya ingin menyelesaikan semua ini dan
segera pergi.
“Lagipula...”
tiba-tiba Yoriko meneruskan dengan kepala tertunduk. “setelah itu aku ingin
berbicara tentang sesuatu denganmu...”
Dari cara
bicara Yoriko, tampaknya ia akan membicarakan sesuatu yang serius dan Shou juga
ingin tahu apa itu. Tetapi sebelum Shou bisa bertanya sesuatu apa yang Yoriko
maksud, mereka mendengar suara Kai yang baru pulang dari pintu masuk. Avaron
keluar dari dapur untuk menyambut suaminya dan berjalan bersama ke ruang makan.
“Semua
sudah selesai dan Kai pulang tepat pada jam makan malam. Ayo, kita mulai
pestanya!” kata Avaron.
Makan
malam berlangsung dengan sangat ramai dan menyenangkan. Kai bercerita banyak
hal tentang bandnya dan dengan sangat antusias memberitahu ia menemukan
beberapa variasi drum yang akan ia gunakan untuk lagu-lagu barunya nanti.
Mereka juga
sering menggoda Yukio dan merangsang anak itu untuk berbicara dan setiap kata
yang diucapkannya selalu lucu dan mengundang gelak tawa. Sebagai hadiah karena
ia bisa mengatakan kata terima kasih dan tolong kepada Avaron yang telah
memberinya makan, ia mendapat hadiah permen lolipop berwarna-warni dari sang
ibu.
Namun
tidak semuanya tampak bahagia di meja makan tersebut. Sedari tadi Yoriko
mengamati Shou tidak menunjukkan sebuah senyuman pun kecuali diminta. Seperti
perjumpaan mereka pertama kali tepat di ruangan ini dan di meja yang sama.
Yoriko
mencoba memberanikan diri bertanya pada Shou apa ada sesuatu yang salah atau
semacamnya yang membuatnya nampak murung. Tetapi sedikit pun Yoriko tidak
memanggil nama Shou sekali lagi setelah pria itu memarahinya sebelum makan
malam tadi.
“Nah,
berhubung makan malam sudah selesai, kami ingin mengumumkan sesuatu.” Avaron
berdiri dengan wajah berseri-seri. Semua pandangan mata kini tertuju padanya.
Yoriko
mencuri pandangan dari Shou. Mata pria itu berbinar ketika melihat Avaron
tersenyum di depannya. Bagi Yoriko, itu adalah sesuatu yang mulai menusuk
dirinya, membuatnya mulai mempertimbangkan kata-kata Hitomu tadi sore.
Tetapi ia
terlalu teralihkan untuk bisa memikirkannya. Sekarang adalah waktu untuk
Avaron, bukan dirinya.
“Maaf,
sayangku...” Avaron melihat Kai. “Aku sudah memberitahu Aya dan Yoriko karena
terlalu gembira...”
Kai hanya
tersenyum bahagia dan menggenggam tangan istrinya erat-erat. “Tidak masalah,
sayang. Lanjutkan saja.”
“Sesuai
yang kukatakan kemarin lusa aku dan Kai akan pergi ke dokter untuk memastikan.
Dan hasilnya adalah...” Avaron sengaja membuat ketiga tamu di hadapannya
berdebar-debar menantikan kelanjutannya. “Positif! Pada awal Januari nanti,
Yukio akan memiliki adik baru!”
Yoriko dan
Aya langsung bersorak. Hitomu yang sedikit memahami suasana memberikan tepuk
tangan sekeras-kerasnya untuk ibu dan ayahnya. Avaron pun langsung dihujani
ucapan selamat dari kedua teman sekaligus karyawannya itu.
Tetapi
ketika semuanya sedang bergembira, Shou masih tetap murung di tempatnya.
Kelihatannya dia tidak begitu senang dengan berita yang disampaikan Avaron.
Ketika Kai mendekatinya, hanya terlukis raut terkejut dan rasa tidak
percayanya.
“Kau tidak
apa-apa, teman?” tanya Kai.
“Ya, aku
tidak apa-apa. Tidak menyangka saja secepat ini kalian akan memiliki anak
kedua. Selamat, ya.” Shou memberi selamat dengan wajah yang dibuat segembira
mungkin.
Meski Kai
bisa menangkap raut ketidak tulusan dari Shou, ia tetap menerima ucapan selamat
itu. “Terima kasih, Shou.”
“Hanya
itu, bukan? Aku sudah tahu berita besarnya.” Shou mundur perlahan dan mengambil
jaketnya dari kursi. “Aku harus pulang, sudah malam. Kurasa aku lupa memberi
makan Chirori malam ini.”
Kai
mengerutkan dahi karena Shou yang mendadak berpamitan. “Secepat ini? Shou, kita
bahkan belum menyentuh sake yang sebentar lagi akan kukeluarkan.”
“Tidak
usah, terima kasih.” Shou menolak halus. “Aku kan harus menyetir, jadi tidak
boleh minum sake. Sampai jumpa. Sekali lagi, selamat, Kai...”
Kepergian
Shou diiringi tatapan heran dan bingung oleh Kai. Avaron, Aya dan Yoriko
menyadarinya tidak lama kemudian. Mereka berdua juga ikut bertanya-tanya.
“Kenapa
Shou mendadak pergi?” tanya Aya sama bingungnya.
“Entahlah.
Dia pergi... begitu saja.” jawab Kai ragu-ragu.
Sedetik
kemudian, Avaron dan Aya teringat sesuatu yang sangat penting.
“Kau belum
menyatakan perasaanmu, Yoriko!” seru Aya sambil menepuk punggung Yoriko
keras-keras.
“Aw!!”
jerit Yoriko kesakitan. “Tapi dia sudah pergi, Aya.”
“Kau masih
bisa mengejarnya, Yoriko. Ayo, cepat sebelum ia pergi!!” kata Avaron dengan
cepat dan mendorong Yoriko keluar rumah.
Karena
dorongan mereka berdua, Yoriko akhirnya berlari sekencangnya keluar rumah
sampai ia lupa memakai sepatunya terlebih dulu. Melihat tiga wanita di
hadapannya mendadak panik dan ribut, Kai bertanya, “Apa maksudnya dengan
menyatakan perasaan?”
“Masa kau
tidak tahu?” Avaron memutar matanya kesal. “Yoriko ternyata selama ini
mencintai Shou!”
“Whoa...”
Kai mengangkat tangannya. “Aku kan tidak pernah mengikuti gosip kalian. Tapi
benarkah itu?”
“Tentu
saja! Memangnya karena apalagi sampai Yoriko lupa memakai sepatunya keluar
rumah?” Avaron mencubit pipi Kai karena ketidak mampuannya dalam menanggapi
situasi. “Kita doakan saja semoga semuanya berjalan sukses.”
“Shou!!!” Yoriko
berkali-kali memanggil Shou dan mengejar pria yang terus berjalan cepat tanpa
menghiraukan dirinya. “Tunggu aku!”
Shou tetap
mengabaikannya. Ia malah melangkah lebih cepat agar Yoriko tidak bisa
mengejarnya. Tetapi semangat Yoriko terlalu gigih untuk diruntuhkan. Pada
akhirnya ia bisa menangkap lengan Shou dan membuatnya berhenti berjalan.
“Kenapa
kau tiba-tiba pergi? Bukankah kubilang tadi aku ingin berbicara sesuatu
denganmu?” tanya Yoriko terengah-engah.
“Apa? Apa
yang ingin kau bicarakan?” kata Shou sengit dan tidak sabar. “Kau ingin
menertawaiku setelah ini?”
“Me...
menertawaimu? Apa maksudmu, Shou?” Yoriko tidak mengerti. “Kenapa kau berpikir
aku akan menertawaimu?”
Shou
tersenyum sinis dan mengeluarkan kata-kata pedasnya. “Kau sudah tahu saat kau
mengundangku kemari kemarin lusa, bukan?”
“Tahu
apa?” Yoriko tidak memahami arah pembicaraan Shou.
“Kau sudah
tahu berita yang disampaikan Avaron tadi. Kau sengaja memanfaatkan pertemananku
dengannya dan mengerjaiku, bukan? Jika ya, kau berhasil, Yoriko! Kau berhasil
membalas seluruh perbuatan burukku kepadamu hanya dalam semalam!” Shou mulai
membentak Yoriko.
“Mengerjaimu?
Shou, tidak sedikit pun aku berniat melakukan itu padamu.” kata Yoriko
kebingungan dan takut. “Kumohon jelaskan padaku, kenapa kau berpikiran seperti
itu?”
“Kau tahu
aku masih mencintainya. Kau sengaja memanfaatkan segala hal yang kuceritakan
padamu pada malam itu untuk membalasku. Kau senang karena telah mengetahui
kelemahanku, bukan!?”
Yoriko
tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Tidak sedikit pun di benaknya
terpikir Shou akan merasa sakit hati dengan berita yang disampaikan Avaron.
“Tapi, Shou... pada malam itu kau juga bilang padaku kau sudah bisa
melupakannya. Kupikir kau bersungguh-sungguh, Shou...”
“Bersungguh-sungguh
maksudmu? Apakah aku juga harus mempertanyakan apa kau juga bersungguh-sungguh
dengan seluruh ceritamu pada malam itu? Karena menurutku, sekarang kau tidak
terlihat seperti gadis yang kau ceritakan waktu itu. Kau hanya gadis
manipulatif yang berhasil menipu teman-temanku bahkan saudaraku sendiri, kau
hanya orang asing tapi kau bisa merebut perhatian mereka. Kau bertingkah
seperti gadis polos yang tersesat dan sama sekali tidak tahu apa-apa. Aku sudah
muak dengan semua itu!”
Hati
Yoriko terhenyak dan terasa seperti diiris-iris perlahan dari dalam. Ia
mengepalkan kedua tangannya sekencang mungkin, bibirnya bergetar menahan isak
tangis yang sebentar lagi akan keluar. Namun ia terus menahannya, ia tidak
boleh terlihat lemah di depan orang yang ia cintai.
“Shou,
jika kau berpikiran begitu, maafkan aku. Aku tidak ada maksud...”
“Ah,
sudahlah.” Shou tidak mau mendengarkan penjelasannya. “Aku sudah mendengar
cukup banyak darimu, gadis aneh. Carilah orang lain yang bisa kau tipu selain
aku.”
Yoriko
sanggup dan tidak keberatan menerima ejekan yang semenyakitkan apapun dari
orang lain dan ia sudah terbiasa dengan itu. Tetapi ketika ia mendengarnya
langsung dari Shou, sekarang hati Yoriko hancur berkeping-keping. Terlebih
ketika ia menyadari ia hanyalah gadis penipu dan berlagak polos di mata
satu-satunya orang yang ia cintai.
Ia pun
membiarkan Shou melepaskan genggaman tangannya dengan kasar sebelum pria itu
berlalu darinya, meninggalkannya terpaku dan menatap kosong jalanan yang sepi.
Hanya angin yang bertiup kencang menghibur diri Yoriko dan mengaburkan air mata
Yoriko yang mulai mengalir.
Yoriko
linglung, ia tidak bisa memperhatikan dan memikirkan apapun lagi. Hanya
sayup-sayup terdengar suara Aya dan Avaron yang berlari menghampirinya,
menanyakan apa yang terjadi.
Tetapi
Yoriko tidak bisa menjawab. Lidahnya kelu, dan hal yang bisa ia lakukan
hanyalah membiarkan Aya dan Avaron memeluk dirinya, yang telah memahami apa
yang terjadi tanpa Yoriko mengucapkan sepatah kata pun.
Dan di
dalam pelukan mereka, Yoriko hanya bisa menangis pelan, dengan terpaksa menelan
seluruh kepahitan yang diterimanya dari Shou, berharap ia tidak pernah
mendengar hal-hal menyakitkan yang dikatakan Shou untuknya.