Friday, June 28, 2013

The Delusion (12)

12

Ketika Yoriko membuka matanya, ia mendapati dirinya berada di ruang praktek dokter Inoue. Dokter itu sedang memandangnya prihatin bersama Avaron, menanti sampai kapan Yoriko tidak sadarkan diri.

“oh, syukurlah kau sudah sadar, Yoriko-chan...” Avaron menghela nafas sekaligus tersenyum lega melihat Yoriko sudah bisa duduk di sofa tempat dia dibaringkan sebelumnya.

“kenapa aku bisa ada disini?” tanya Yoriko linglung. Dia melihat dokter Inoue untuk mendapat jawaban.

“tadi saat kami berada disini, kami mendengar suara benda-benda jatuh di lantai bawah. Begitu kami memeriksa, kami mendapatimu sudah terkapar di lantai. Kami pun langsung membawamu kesini.” dokter Inoue menjelaskan kejadiannya. “kau pasti kelelahan, ya? Wajahmu pucat sekali...”

“aku tidak tahu... tadi aku merasa pusing dan...” Yoriko berkata nyaris tanpa suara.

Namun Avaron memotongnya terlebih dulu. “sudah, tidak usah diingat-ingat lagi. Kau sudah sadar sekarang, itu yang terpenting. Sekarang, bagaimana perasaanmu? Masih pusing atau apa?”

Tidak ingin membuat kedua wanita di hadapannya ini lebih repot dan khawatir, Yoriko menjawab, “aku sudah lebih baik. dokter Inoue benar, ini pasti karena aku kelelahan. Seharusnya aku tidak seperti ini, sungguh merepotkan kalian semua. Maafkan aku...”

Padahal kenyataannya, kepala Yoriko rasanya masih seperti berputar dan perutnya juga terasa sangat mual. Dia berusaha keras menahan diri untuk tidak muntah. Tidak sekali dua kali dia merasakan gejala ini.

“kau yakin, Yoriko-chan? Jangan berpikir kau merepotkan kami. Jika kau masih merasa sakit, bilang saja.” Avaron tidak mempercayai ucapan Yoriko.

“ya, Yoriko-chan. Aku yakin Avaron-san pasti akan memberikanmu cuti selama beberapa hari supaya kau bisa beristirahat. Ada baiknya bila kau menggunakan waktu cuti itu untuk memeriksakan dirimu di rumah sakit.” Timpal dokter Inoue setuju.

“sungguh, Avaron-san, dokter Inoue, aku sudah tidak apa-apa. Aku akan pergi ke lantai bawah, siapa tahu ada pembeli yang akan datang dan pasti sangat menyusahkan mereka bukan jika tidak ada yang mengawasi meja kasir?” Yoriko berdiri dan beranjak keluar dari ruang praktek.

“eit, tidak boleh, Yoriko.” Cegah Avaron tegas. “kau tidak boleh bekerja lagi untuk hari ini. Kau harus pulang dan beristirahat. Aku akan memberimu cuti sampai kau merasa benar-benar lebih baik untuk bekerja kembali.”

“tapi, Avaron-san, aku...”

“tidak ada kata tapi. Jika kau tidak menuruti perintahku, akan kusuruh Aya untuk mengawasimu di apartemen. Kita tahu betul bila Aya berada disini, dia pasti akan lebih cerewet daripada aku. Jadi, pilih mana?” Avaron berbicara sedikit galak pada Yoriko supaya gadis ini menurut.

Tidak ingin merepotkan Aya juga, akhirnya Yoriko menuruti perintah Yoriko. Namun dengan memelas, Yoriko meminta kepada Avaron, “baik, Avaron-san. Tolong jangan bilang pada Aya tentang apa yang terjadi padaku hari ini. Katakan saja padanya aku mengambil cuti karena ingin beristirahat atau apalah. Pokoknya jangan ceritakan.”

Avaron pun menyanggupi permintaan Yoriko dengan syarat Yoriko harus pulang disaat itu juga.

*** 

Sepulang dari petshop, Yoriko tidak tahu ingin pergi kemana. Dia belum ingin kembali ke rumah, dan rasa mualnya yang masih tersisa masih belum mengizinkannya untuk menyantap makan malam.

Ia pergi ke kios minuman terdekat di trotoar, membeli segelas ocha hangat untuk meringankan mualnya. Sambil berjalan dan menyeruput ochanya, dia memikirkan kemana dia akan pergi.

Tetapi dia tidak dapat menemukan tempat yang bisa ia tuju. Padahal Tokyo adalah kota besar, dia bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan disini. Dia datang kemari selain karena memenuhi permintaan Aya, ia juga rindu akan kampung halamannya.

Benarkah begitu?

Biasanya, bila seseorang yang sudah lama tidak menginjakkan kaki ke kampung halamannya, ketika ia tiba disana, rasa gembiranya pasti tiada tara. Dia akan melakukan apapun demi memuaskan rasa rindunya.

Namun tidak bagi Yoriko. Yoriko malah merasa hidup di Tokyo lebih monoton daripada hidupnya di kota lain. Dia mencoba mengingat alasan utamanya kenapa dulu dia memutuskan meninggalkan Jepang. Apa karena dia ingin mencoba petualangan baru? Atau demi mewujudkan impiannya sewaktu masih kecil, pergi ke suatu tempat yang penuh keajaiban?

Berpikir bukan itulah jawabannya, Yoriko merasa ia perlu mundur sedikit lagi, mengapa dia bisa membuat mimpi seperti itu? Memang, semua orang bahkan seorang gadis kecil pun pasti menginginkan pergi ke dunia luar, mencari petualangan, sampai menaklukkan dunia. Tetapi kebanyakan mimpi mereka itu pasti akan pupus di tengah jalan, merasa mereka tidak mungkin akan bisa melakukannya. Mereka yang tadinya adalah seorang pemimpi yang mampu terbang sampai ke ujung awan berubah menjadi seorang realis yang tidak akan pernah ingin meninggalkan tanah tempat mereka berpijak.

Apa yang telah membuat Yoriko bisa melakukannya? Apa yang telah membuat Yoriko bisa membuktikan kepada dirinya bahwa dia mampu?

Tahu pertanyaannya tidak akan mampu ia jawab sendirian, ia pun akhirnya tahu kemana ia akan pergi. Yoriko berjalan menuju halte bus terdekat, dan tidak lama Yoriko menunggu disana sampai bus yang diinginkannya tiba.

*** 

Yoriko menatap bangunan gereja Katolik yang ada di hadapannya. Bangunan megah berdesain campuran gaya Eropa dan Jepang yang memiliki menara lonceng seperti gereja favorit Yoriko. Malam sudah tiba dan orang-orang lebih memilih menghabiskan waktu mereka di rumah atau menyelesaikan pekerjaan di kantor, gereja pun sepi.

Yoriko melangkahkan kakinya memasuki pekarangan gereja. Hanya ada seorang petugas keamanan yang menyapanya, dari tatapannya satpam itu pasti penasaran kenapa ada seorang wanita mengenakan ‘kostum’ gotik seperti orang-orang penyuka musik metal memasuki gereja malam-malam begini.

Sesampainya di depan pintu masuk altar gereja, Yoriko mencelupkan jarinya ke dalam air suci yang tersedia di sebelah pintu. Ia membentuk tanda salib di tubuhnya sebagai tanda penghormatan sebelum memasuki gereja.

Di dalam gereja yang luas, tidak ada siapapun yang duduk di bangku. Yoriko hanya mendapati seorang biarawati sedang merapikan altar gereja. Biarawati paruh baya itu memberikan sebuah senyuman ramah pada Yoriko kemudian ia pergi melalui pintu belakang.

Yoriko berjalan menyusuri altar yang berkarpet merah, mengambil tempat duduk persis di depan altar. Ia menaruh tas ransel di sampingnya dan menatap patung Bunda Maria yang berdiri dengan anggun di altar.

“hanya ini tempat yang bisa kutuju, karena aku tidak tahu harus kemana lagi...” Yoriko mulai mencurahkan isi hatinya. “ini hanya di antara kita berdua, Bunda, aku harus mengakui beberapa minggu ini sedikit berat bagiku.”

Suara Yoriko yang bercerita kepadaNya menggema di seluruh sudut ruangan. Tetapi Yoriko tidak peduli, dia bisa merahasiakan segalanya di depan orang-orang, namun dia tidak bisa merahasiakan satu hal kecil pun di hadapanNya.

“aku sedikit teringat akan masa kecilku...” ujar Yoriko. “Kau pasti tahu aku cukup payah waktu itu, hanya bisa menuruti perkataan orang lain dan menerima segala ejekan dari teman-teman karena menjadi diriku sendiri...”

Yoriko menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang sebentar lagi mengalir dari matanya. Ia menggenggam erat-erat kalung salib pemberian Avaron di lehernya, “makanya aku bercita-cita ingin pergi dari sini, mencari tempat baru dimana orang yang ada disana tidak tahu siapa aku, menjadi aku yang baru...”

Yoriko mengangkat kepalanya, menatap Bunda Maria yang seakan juga ikut menatapnya penuh kasih, yang selalu siap mendengarkan apapun yang Yoriko ceritakan padaNya. “namun ketika aku kembali kemari, ternyata tempat ini masih menganggapku sama seperti dulu.”

“aku berterima kasih padaMu, berkat kasihMu melalui teman-teman baruku, aku bisa menjadi lebih kuat menjalani hidup ini. Aku selalu berpikir bahwa aku akan selalu sendirian, dan ketika aku menerima semua perhatian dan kasih sayang mereka, aku menjadi berpikir... apakah aku akan mengecewakan mereka dengan menjadi diriku sendiri?”

Yoriko menautkan jemarinya dan menundukkan kepalanya. “hanya kepadaMu aku bisa berbicara dengan lepas seperti ini, Bunda. Maka dari itu, kumohon, berikanlah aku petunjuk dan kekuatan. Aku tidak ingin menjadi seperti aku yang dulu lagi...”

Selesai berdoa, Yoriko berjalan perlahan meninggalkan altar, seolah ia merasa berat harus lepas dari dekapan Sang Pencipta yang begitu menenangkan hatinya. Namun ketika dia sampai tepat di depan pintu, dia melihat seorang pria berdiri di ambangnya. Kehadiran pria itu sangat berarti bagi Yoriko, dia berlari kecil ke arahnya dan memeluknya erat.

“aku mendapat firasat kalau hari ini kau membutuhkanku.” Ujar Hitomu di telinga Yoriko.

“ya, kau benar...” pelukan Yoriko semakin erat pada sahabatnya itu. Sebuah pelukan hening sudah memiliki banyak arti tanpa harus berbicara apapun lagi.

Hitomu melepaskan pelukan mereka dan menautkan jemarinya di tangan Yoriko, menariknya pelan keluar dari gereja. “ayo kita pulang. Kau nampak sangat kelelahan hari ini.”

Yoriko mengangguk pelan sambil tersenyum haru dan mengusap air mata terakhirnya. Pada akhirnya, tidur Yoriko di malam itu, adalah tidur ternyaman dan terpulas yang pernah ia rasakan.

*** 

Keesokan harinya, Yoriko dibangunkan oleh suara seorang pria yang sangat keras tepat di telinganya. Suara itu sudah tidak asing lagi untuk Yoriko, ia menampar pelan wajah pemilik suara yang berbaring di sampingnya.

“aku malas bangun, Hitomu. Biarkan aku tidur lebih lama lagi...” Yoriko menutupi wajahnya dengan bantal.

“tapi kau tidak mendengar nada dering teleponmu terus berbunyi?” Hitomu mengguncang-guncangkan tubuh Yoriko yang masih ditutupi selimut hangat.

“hah... biarkan saja, aku sedang cuti. Mungkin itu hanya Aya...”

“oh ya? Kalau begitu, kenapa nama yang tertera di caller ID namanya Makibao?” pertanyaan polos Hitomu membuat Yoriko langsung bangun dengan sekali hentakan. Dia merebut handphonenya dari tangan Hitomu. Yoriko mendapat 3 panggilan tidak terjawab dan sebuah e-mail yang sekarang ia baca dari Shou.

“sial, dia menanyaiku apa aku bisa bekerja pagi ini...” gerutu Yoriko. Yoriko baru saja mendapatkan kedamaiannya semalam, dan ia tidak ingin kedamaiannya itu diganggu oleh pria cerewet yang tidak bisa mengatur kehidupannya sendiri. Pria itu harus tahu kalau salah satu cara Yoriko bisa meraih kedamaiannya adalah dengan melupakan orang itu ada.

Yoriko tahu betul bila ia menolak atau mengabaikan perintah Shou, kedamaiannya bisa hancur berkeping-keping. Maka dari itu, dia memutuskan untuk menghadapi sumber masalahnya.

Melihat Yoriko bangkit dari tidurnya dan buru-buru bersiap-siap, Hitomu tercengang. “siapa Makibao? Kalau tidak salah, dia kan tokoh sapi atau kuda dari anime Makibao, bukan?”

“ceritanya panjang, Hitomu.” Yoriko tidak sempat bercerita bila ia memberi nama Shou di kontaknya adalah ilham dari Avaron yang pernah bercerita nama itu adalah julukan darinya untuk Shou.

E-mail yang dikirimkan Shou kepadanya sampai satu jam yang lalu, dimana Shou menginginkan Yoriko datang pada pukul 9 pagi. Itu berarti, Yoriko hanya memiliki waktu setengah jam untuk sampai ke kantor PSC. Belum lagi dia harus mengantri di Starbucks untuk membeli kopi untuk kelima personel dan mengambil hasil desain kostum untuk konser mereka nanti.

Secara asal Yoriko mengambil pakaian yang akan ia kenakan dari peti matinya. Dress hitam sederhana, mantel hitam, dan sepasang kaos kaki selutut. Tanpa sempat menyatap sarapan terlebih dulu, Yoriko langsung membereskan barang-barang yang akan ia bawa ke dalam tas ranselnya lalu berlari keluar dari rumahnya dengan sepatu boot yang kemarin ia pakai.

Saking terburu-burunya Yoriko, ia bahkan tidak berpamitan sama sekali pada Hitomu yang sekarang menggelengkan kepala, keheranan melihat Yoriko yang bisa secepat itu seperti orang kesetanan hanya demi memenuhi panggilan Shou.

*** 

Shou melihat jam tangannya, sudah hampir 1 jam Yoriko belum datang. Sudah berapa kali wanita ini datang terlambat saat bekerja? Mana mungkin dia masih tidur di kamar, tidak tahu jika tadi Shou meninggalkan panggilan tidak terjawab dan beberapa e-mail di handphonenya? Bila Yoriko tidak bisa bekerja pagi ini, kenapa ia tidak mengabarinya saja? Shou bisa saja mencari orang lain untuk dipekerjakan.

“dia masih belum datang juga?” Tora masuk ke dalam ruang Alice Nine sambil membawa beberapa bungkus roti dan ocha dalam kemasan botol yang ia beli dalam perjalanannya menuju ke kantor.

“dia tidak profesional sekali, kalau dia membutuhkan pekerjaan ini seharusnya dia sadar diri.” Gerutu Shou kesal.

Tora melemparkan salah satu bungkus roti rasa cokelat ke tangan Shou. “mungkin dia masih bersiap-siap? Kita mendadak sekali meminta dia bekerja pagi ini, bukan? Dia pasti juga harus meminta izin pada Avaron lebih dulu.”

Shou menghela nafas. Dia membuka bungkus roti dan menggigitnya sedikit. “mungkin.”

“ayolah, tidak ada gunanya kau risau di sofa. Lebih baik setelah kau selesai makan kita langsung mulai saja. Toh Yoriko hanya kemari untuk membawakan kopi dan mengantar desain kostum kita. Salah sendiri kau menyuruh kita mulai latihan pagi-pagi begini.” Kata Tora.

Sebenarnya bukan kemauan Shou meminta teman-temannya melakukan latihan pagi sekali. Shou paham Saga, Tora dan Hiroto sampai tidak tidur hanya untuk berlatih dan melakukan promo konser mereka. Nao juga harus sampai rela menginap di kantor untuk menciptakan variasi drum. Shou sendiri juga sibuk melatih vokalnya supaya penampilannya lebih mantap saat konser nanti.

Namun karena sepupunya yang sedang menginap di apartemennya begitu menjengkelkan, Shou lebih memilih berlatih pagi demi menghindari orang itu. Shou benci segala hal yang dilakukan sepupunya di apartemennya. Mengomelinya bila Shou tidak tidur saat tengah malam, memaksa Shou bangun subuh lalu pergi lari pagi, memasakkannya sarapan—tapi harus Shou akui, pancake dan waffle buatan sepupunya enak juga—menyuruhnya lebih perhatian sedikit dalam mengurus rumahnya. Ayolah, kaos yang dipakai Shou pagi ini masih bisa dipakai walaupun sudah 3 hari tidak dicuci.

Terkadang Shou heran apakah makhluk yang menginap di apartemennya itu adalah seorang gay atau ibunya?

“kau jahat sekali menyuruh kami latihan pagi-pagi begini...” Nao masuk ke ruangan sambil terus menguap. Sesekali tangannya mengusap kantuk di matanya supaya pergi. Saking mengantuknya, Nao sampai tersandung di antara peralatan drumnya sendiri yang ada di sudut ruangan.

Ekspresi yang ada di wajah Hiroto dan Saga yang masuk kemudian juga tidak jauh berbeda dari Nao. Sudah kelihatan jelas mereka pasti tidak tidur lagi semalam.

“oh... sengaja aku bekerja dari pagi sampai ketemu pagi supaya kita bisa menikmati Sakura awal bulan depan...” Saga menjatuhkan diri di atas sofa yang sekarang baginya terasa sangat empuk seperti kasur di kamarnya.

“biarkan aku tidur lagi... setidaknya satu jam saja...” sahut Hiroto. Sekarang dia menyesal kenapa dia tidak menyimpan futon ekstra di ruangan ini.

“wow, kalian benar-benar berantakan hari ini.” kata Tora. “jangan sampai manajer kita melihat kalian dalam keadaan seperti ini.”

“biarkan saja. Acara wawancara untuk majalah yang-aku-lupa-namanya itu masih diadakan minggu depan, tenang saja.” jawab Nao enteng. “jangan lupa kau juga ikut wawancara itu, Shou.”

Untuk saat ini, Shou rela menerima pekerjaan dalam bentuk apapun selama itu bisa membuatnya menjauh dari sepupunya selama ia masih menginap di tempatnya. Kalau bisa, selamanya.

“ngomong-ngomong, dimana Yoriko? Tidak biasanya dia terlambat membawa kopi kita.” Saga melihat jam tangannya. “aku benar-benar butuh kopi sekarang.”

“sudah berapa gelas yang kau minum dari kemarin?” tanya Tora.

“entahlah... tidak sampai 10, kurasa...” Saga menghitung dengan jarinya meskipun hitungannya tidak tepat.

“pantas saja kau terlihat seperti zombi.” Tora berdecak. Kemudian ia menaruh sisa roti yang belum dimakan ke atas meja depan sofa. “kalian sudah sarapan belum?”

“ugh... jangan bilang kau mengajak kami latihan pagi karena sepupu menyebalkanmu yang kau ceritakan kemarin.” Hiroto mengambil roti rasa keju dan mulai memakannya dengan lahap.

Shou tidak menjawab. Sayangnya, apa yang diucapkan Hiroto benar adanya. “dia baru datang semalam dan sudah sangat menyusahkanku. Memangnya siapa yang memiliki apartemen? Aku, bukan? Lalu siapa yang berhak mengaturnya? Tentu saja aku. Tapi siapa yang cerewet dan bertingkah sok mengatur seperti ibuku? Dia.”

“siapa namanya? Aku harus memberikan ucapan selamat untuknya.” Sindir Hiroto.

“Juri. Ucapan selamat untuk apa?” jawab Shou bingung.

“karena dia berhasil mengganggumu sampai membuat kami semua menderita begini. Entah apa kau atau dia yang seharusnya kuhajar karena mengganggu tidur pagiku. Dua-duanya juga boleh.”

Alhasil, Shou melemparkan bantal ke wajah Hiroto.

“tapi Hiroto benar.” Timpal Saga. Dia menggulung tubuhnya di sofa. “kalian berdua mengganggu tidur pagi kami...”

“sebenarnya, tidur pagi itu tidak baik untuk kesehatan kalian karena bisa menyebabkan diabetes dan liver.” suara seorang pria tiba-tiba memotong pembicaraan mereka.

“Juri??” Shou terbelalak melihat sepupunya berdiri di depan pintu ruangan mereka. “sedang apa kau disini?”

Juri pun masuk ke dalam. Keempat teman Shou dibuat tercengang oleh penampilan Juri, kemeja berlapis sweater rajutan tangan warna cokelat, celana kain, sepatu pantofel, dan rambutnya sangat klimis dan rapi. Sungguh berbeda jauh dari Shou yang cuek dan urakan.

“aku membawakanmu ini. kau pasti akan membutuhkannya.” Juri mendekati Shou sambil menyerahkan sebuah kantong kertas berisi pedal gitar dan mini amplifier. Shou tidak membalas ucapan Juri, dia masih sibuk bertanya-tanya kenapa Juri bisa tahu basecampnya ada disini.

“aku tahu itu peralatan penting untuk band, ya kan?” kata Juri. “kenapa kau bisa lupa?”

Tentu saja Shou lupa. Tadi pagi dia memprioritaskan cara bagaimana ia bisa melarikan dari Juri daripada memikirkan peralatan bandnya.

“kau... Juri Kohara? Sepupu yang diceritakan Shou pada kami?” tanya Tora. Sekarang sepertinya hanya dia yang masih terlihat waras dan lebih bisa mengendalikan suasana yang canggung ini.

“ya. Aku baru datang dari Inggris beberapa hari lalu. Tadinya aku ingin menginap di hotel, tapi ayah Shou menyuruhku tinggal di apartemen Shou agar aku bisa lebih akrab dengan Shou.” Juri memberikan senyuman hangatnya.

Dasar penjilat, gerutu Shou dalam hati.

“oh, kalau begitu, selamat datang.” Tora sedikit canggung apa dia harus membungkuk memberi salam seperti budaya Jepang, atau berjabat tangan karena Juri sudah lama tinggal di Eropa. “kau pasti rindu negara ini sampai ingin pindah kerja disini.”

“ngg... tidak juga. Aku lahir dan besar di Inggris, aku hanya mengunjungi Jepang beberapa kali dalam setahun. Berhubung aku ingin sekali belajar budaya dari pihak ayahku, aku memutuskan tinggal disini.”

“untuk ukuran orang yang lahir dan besar di Inggris, bahasa Jepangmu fasih juga.” Sahut Saga.

“yah...” Juri terkekeh pelan. “aku termasuk cepat dalam belajar.”

Keempat teman Shou mengangguk-anggukkan kepala mereka sebagai tanda mereka sangat mengerti kenapa Shou selalu dibanding-bandingkan oleh ayahnya.

“karena kau sudah terlanjur datang...” timpal Hiroto. “kenapa kau tidak duduk saja dan lihat kami berlatih? Kami ada pertunjukan konser dalam waktu dekat.”

Juri terlihat sangat antusias. Ia mengambil tempat duduk di sebelah Shou. “tentu saja! Aku selalu ingin tahu bagaimana kehidupan Shou di bandnya.”

Shou mendesis kesal. Kenapa orang ini tidak langsung pergi dari sini saja? Jika ia ingin belajar tentang budaya Jepang, Shou yakin Tokyo menyediakan banyak sekali tempat sebagai sarana untuk belajar kecuali basecamp mereka.

“kenapa kau terlihat tidak suka, Shou?” panggil Tora. “kau pasti senang, bukan, Juri-san bisa melihat penampilan hebatmu.”

Apa yang dikatakan Tora adalah sebuah sinyal yang ditangkap oleh Shou. Tora benar, meski Shou membenci Juri setengah mati, tapi Juri bisa menjadi tiket untuk meyakinkan ayahnya menjadi bagian dari sebuah band adalah pilihan tepat dan tidak sia-sia. Bila Juri bercerita pada beliau bagaimana bagusnya Shou saat berlatih dan tampil di konser, bisa saja ayahnya akan sedikit lebih memberikan perhatian padanya.

“kau benar.” Shou mengambil tas kantong amplifier mininya dan berdiri dengan bangga. “kau harus lihat kami tampil, Juri.”

“kau juga harus lihat desain kostum kami. Sangat menarik!” seru Nao dari belakang drum setnya. “sedikit bergaya Eropa, tetapi juga mencirikan jati diri band kami.”

“wow.” Ucap Juri. “kalau begitu, aku harus melihatnya.”

“sayangnya asisten kami belum datang.” Timpal Saga. “mungkin kau harus menunggu beberapa saat.”

“oh, oh! Bicara soal kostum, aku sedikit menyukai penampilanmu hari ini, Juri-san. Kau mengingatkanku pada asisten kami juga.” Kata Nao. “selera modenya juga sangat unik.”

Shou memutar matanya. Masih belum cukupkah kedatangan Juri menjengkelkannya? Kenapa teman-temannya masih harus membahas Yoriko? Namun bicara tentang Yoriko, wanita itu masih belum datang juga. Entah kenapa perasaan Shou sedikit cemas tentang fakta ini.

“apa maksudmu dengan... selera modenya yang unik?” Juri menyatukan kedua alisnya, penasaran tentang siapa gadis yang dibicarakan Nao.

“ah, kau pasti tahu maksudku setelah ia datang.”

Beberapa detik kemudian, pintu ruangan mereka dibuka secara tergesa-gesa oleh seseorang. Orang itu membawa kantong kertas berisi 5 kopi panas, tas ransel di punggung, dan sebuah map berisi desain di tangan satunya.

Orang itu adalah seorang wanita, berambut hitam legam dan berponi rata, gaya berpakaiannya tidak usah diragukan lagi kengeriannya, ditambah paduan smoky eyes di mata indahnya dan lipstik merah kehitaman di bibirnya, orang akan berpikir dia adalah hantu yang bergentayangan di siang hari.

Namun gadis itu terengah-engah, keringat mengucur di wajahnya karena baru saja berlari demi mengejar keterlambatannya bekerja hari ini. Tanpa mempedulikan tatapan menusuk Shou bagaikan es tajam dan kekagetan keempat temannya, Yoriko langsung berkata. “halo, maaf sekali aku terlambat. Aku tahu kalian tidak mau tahu alasan kenapa aku bisa terlambat, tapi aku membawakan kalian kopi dan hasil desain kostum kalian. Semoga kalian tidak terlalu marah.”

Yoriko sama sekali tidak mau mendengar ocehan dan omelan Shou mengenai keterlambatannya hari ini. Jadi dia langsung menaruh seluruh barang bawaannya, melepas mantelnya dan menggantungnya di rak mantel belakang pintu, mengambil buku catatan dan pulpen dari ranselnya kemudian mulai bekerja. “aku menghubungi manajer kalian akan latihan pagi ini. Sementara kalian semua latihan, aku akan menyiapkan makan siang, melakukan persiapan sound check untuk panggung, dan...”

“tunggu...” sela Juri mendekati Yoriko. “aku pernah bertemu denganmu sebelumnya.”

“kau yakin? Kau bisa saja salah orang, karena banyak orang di kota ini yang berdandan seperti aku...” jawab Yoriko tanpa mengalihkan perhatiannya sedikit pun dari buku catatannya.

“tentu saja aku yakin. Walaupun banyak orang yang berdandan sepertimu, tapi hanya kau yang paling kuingat.” Juri menyentuh dagu Yoriko dengan jemarinya dan mengangkatnya pelan. “karena kita pernah bertemu beberapa hari lalu...”

Yoriko terhenti saat orang itu menyentuh wajahnya. Baru pertama kali seseorang menyentuh wajahnya secara lembut seperti ini. Ketika ia mengangkat kepalanya, ia nyaris menjatuhkan pulpennya saat dia melihat wajah orang itu di depannya. Mulutnya menganga dan mata sipitnya langsung berubah bulat. Terbata-bata sekaligus terkejut, Yoriko berkata, “k...kau... kau yang ada di restoran steak tempo hari...”

*** 

Tidak hanya Yoriko yang terkejut pada sosok pria misterius yang berhasil membuatnya mengagumi pria itu dalam waktu singkat dan mereka kembali bertemu di tempat yang sangat tidak terduga ini, kelima personel Alice Nine juga turut menjatuhkan rahang mereka.

“kalian... saling kenal?” Tora melihat Juri dan Yoriko satu per satu. “kenapa bisa...?”

“tidak juga. Kami hanya pernah bertemu di sebuah restoran tempo hari. Waktu itu aku berkata padanya kami pasti akan bertemu lagi, dan ternyata itu benar.” Juri memandang Yoriko yang masih belum bisa menghilangkan rasa kagetnya. “aku Juri Kohara, sepupu Shou yang menyebalkan, salam kenal.”

“ngg... aku Yoriko Ishihara... asisten bandnya Shou yang aneh, senang bertemu denganmu lagi.” Jawab Yoriko kikuk.

Sementara Yoriko dan Juri saling berkenalan, para anggota Alice Nine sibuk berbisik-bisik tentang kedua orang itu.

“menurutku mereka cocok juga, ya. Maksudku, mereka kan... sama-sama aneh.” Bisik Hiroto di telinga Saga. “tapi bukan aneh yang buruk, melainkan aneh yang...”

Nao ikut turun dari drum setnya dan bergabung bersama yang lain. “kalian benar. Mereka kan sama-sama pernah tinggal di Inggris, pasti mereka bisa dengan mudah cocok.”

“tentu saja mereka cocok. Mereka berdua adalah orang yang dibenci oleh Shou sejak pertama kali mereka muncul.” Tora menimpali dan melirik jahil Shou yang wajahnya menggeram sempurna. “nampaknya, kalau mereka mau, mereka bisa menjalin kisah cinta yang akan berakhir sangat sempurna.”

“aku tidak tahu apa tujuanmu menggodaku, Tora...” Shou menggeram. “aku benar-benar tidak tahu.”

“kebetulan sekali mereka bisa bertemu disini. Kudengar mereka pernah bertemu di sebuah restoran steak. Terserah kalian mau percaya atau tidak, ini pasti takdir. Ya, tidak diragukan lagi, mereka pasti cocok.” Saga mendukung ucapan teman-temannya.

Kedua telinga Shou mulai panas mendengar komentar teman-temannya mengenai pasangan aneh itu. Tetapi dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berpaling dari mereka yang masih asyik mengobrol di depan pintu. Mereka terlihat seperti sepasang sahabat lama yang sudah tidak bertemu bertahun-tahun.

Samar-samar Shou mendengar apa yang dikatakan Juri kepada Yoriko, yang kemudian membuat Yoriko tertawa pelan saat mendengarnya. Dari gestur dan bahasa tubuh mereka, sepertinya tidak ada kecanggungan. Baru pertama kali ini Shou melihat Yoriko berbicara dan tertawa lepas, bahkan Shou saja yang lebih lama mengenal Yoriko belum pernah mendapat perlakuan seperti itu.

Saat ia melihat senyuman tulus yang ditujukan kepada Juri, Shou baru menyadari Yoriko sebenarnya cantik. Cantik sebagai dirinya sendiri.

“apa!? Kau pasti bercanda, Yoriko-san!” dan baru pertama kali ini Shou melihat Juri berteriak penuh kegirangan.

“kalau kau tidak percaya, tidak masalah. Aku bisa memperlihatkanmu naskah-naskah mentah yang belum dan yang pernah kupublikasikan di internet.” Yoriko membalas Juri dengan senyuman bangga.

“ada apa, Juri-san?” tanya Tora ingin tahu. “kenapa kau tiba-tiba berteriak tadi?”

“kalian tidak tahu?” Juri menengok ke arah mereka dengan tatapan tidak percaya. “kalian tidak tahu siapa Yoriko Izanami?”

Kelima orang di depan Juri menggelengkan kepala dalam waktu serentak.

“mereka tidak tahu soal itu, Juri-san...” Yoriko berbisik di samping Juri.

“memangnya siapa Yoriko Izanami?” sahut Tora.

well, dia seorang penulis cerita fiksi di internet, karyanya cukup terkenal dan aku salah satu penggemar tulisannya. Aku bahkan sedikit meniru gaya tulisannya di beberapa cerita fiksiku. Aku sungguh tidak menyangka akan bertemu pengarang hebat itu secara langsung.” Juri menunjuk Yoriko. “seharusnya kalian merasa beruntung!”

Ucapan Juri dibalas oleh keheningan dari kelima personel. Juri dan Yoriko paham, mereka pasti jarang menghabiskan waktu di internet hanya untuk membaca cerita yang panjang dan berat. Tetapi ada sesuatu di mata mereka yang menyiratkan kekaguman mereka pada Yoriko yang baru mereka ketahui ia penulis terkenal di internet tetapi dia masih tetap bersikap sederhana di dunia nyata.


Kecuali Shou yang rasa keheranannya dicampur oleh kekesalannya yang memuncak. Mengetahui sepupunya ternyata memiliki kemampuan menulis juga, nyalinya semakin menciut saja.

Thursday, June 27, 2013

The Delusion (11)

11

“jadi, bagaimana kelanjutannya?” dengan tatapan penuh antusias Aya mencerca Yoriko dengan menyuruhnya terus menceritakan kelanjutan perdebatannya dengan Shou.
­
“­Aya...” Yoriko memang tidak keberatan Aya memintanya menceritakan seluruh pengalamannya bersama Alice Nine, tapi kalau tentang Shou, dia sedikit malas menceritakannya. Apalagi setelah percakapannya terakhir bersama pria itu tentang hanami beberapa hari lalu, Yoriko bahkan tidak memiliki nyali lagi untuk berbicara dengannya. “kumohon, untuk sekarang, jangan membahas dia lagi. Aku masih kesal padanya...”

Menyadari Yoriko kesal karena dia terus mendesaknya, Aya pun diam. Dia berjalan keluar dari meja kasir petshop dan mendekati Yoriko yang sedang menata makanan-makanan anjing ke rak display. “kau kesal karena dia mengataimu orang Jepang yang lupa diri?”

Mendengar pertanyaan itu, Yoriko menghentikan apa yang ia lakukan. Dia menundukkan kepalanya sedikit seraya menghela nafas. Sebelum Aya berpikir ia akan marah, ia menjawab, “menurutmu aku seperti itu, Aya?”

“ngg... tidak juga...” Aya memberikan pendapatnya dengan hati-hati supaya tidak menyinggung Yoriko. “hanya karena kau benci sakura, bukan berarti kau tidak menyukai bangsamu sendiri, bukan? Kakak laki-lakiku juga tidak pernah tertarik dengan sakura dan hanami. Aku juga tidak setiap tahun mengikuti acara hanami. Shou hanya terlalu menyukai sakura dan hanami, tapi dia tidak mau mengakuinya karena takut orang lain akan menganggapnya aneh sebagai pria. Makanya dia mengejekmu karena kau benci sakura. Kita berdua tahu bukan, dia memiliki gengsi yang sangat tinggi.”

“tidak, bukan karena itu...” walaupun pendapat Aya ada benarnya, tapi Yoriko merasa itu tidak tepat. “entahlah, aku merasa, dia seperti menginginkan aku ikut dengannya...”

Yoriko bukannya terlalu percaya diri, tetapi hanya itu kemungkinan yang ia pikirkan selama beberapa hari ini. Shou tidak pernah peduli pada orang lain, terutama Yoriko, tetapi kenapa Shou repot-repot mengejeknya soal ikut hanami? Bukankah seharusnya Shou akan lebih senang saat Yoriko menolak ajakan Tora waktu itu?

Oh Tuhan, pria ini terus mempermainkannya sejak pertama kali mereka bertemu.

“aa...” Aya tercengang gembira. “bagaimana kalau firasatmu itu benar? Bagaimana kalau Shou benar-benar ingin kau ikut hanami?”

“kalau benar, untuk apa? Kenapa dia ingin aku ikut hanami?”

“mungkin karena dia ingin tahu bagaimana kau akan berinteraksi dengan sakura? Kau tahulah, dengan penampilanmu yang serba hitam, kau akan menjadi sangat kontras di antara warna merah muda sakura.” Aya terkikik geli begitu membayangkan apa yang barusan dikatakannya. “tunggu, jangan-jangan itulah yang membuatmu benci pada sakura? Karena kau benci warna merah muda?”

Yoriko tersenyum jengkel. Dia mengangkat keranjang kosong yang tadi ia gunakan untuk membawa makanan-makanan anjing lalu berjalan meninggalkan Aya ke bagian belakang. “apa yang membuatku benci pada sakura tidak ada kaitannya dengan gaya gotikku sekarang. Kau pernah melihat wig merah mudaku yang pernah kupakai saat pergi ke acara konser band gotik indie di Amerika dulu, kan? Aku tidak benci warna merah muda.”

“ya, tapi...” Aya berlari kecil menyusul Yoriko. “aku juga baru tahu kau membenci sakura saat kau bercerita tentang Shou tadi. Apa aku boleh tahu alasannya?”

Yoriko tidak menjawab pertanyaan Aya lagi. Aya tahu dia harus menghormati privasi Yoriko dan dia harus maklum bila Yoriko tidak mau bercerita tentang masa lalunya. Dia semakin maklum saat ingat masa lalu Yoriko juga tidak terlalu menyenangkan. Namun sebagai sepasang sahabat yang kenal satu sama lain, Aya ingin tahu. Dia ingin tahu kenapa Yoriko lebih memilih gaya gothic sebagai ciri khasnya. Banyak sekali gaya di dunia ini yang bisa dipilih Yoriko, tetapi kenapa Yoriko lebih menyukai sesuatu yang serba hitam dan menyeramkan? Kenapa Yoriko membenci sakura? Sepertinya kebencian Yoriko pada bunga khas Jepang itu bukanlah kebencian yang main-main karena Yoriko tidak pernah menceritakannya.

Pasti alasan yang ia simpan rapat-rapat akan menjadi sangat menyakitkan jika orang lain mendengarnya.

“aku tidak bisa memberitahumu, Aya...” jawab Yoriko lirih. “maaf, hanya saja, aku belum siap menceritakannya. Aku sudah menyimpan alasan ini lama sekali sampai aku melupakannya, dan begitu ada sesuatu yang membuatku teringat pada hal ini, aku...”

Tanpa berkata apapun lagi, Aya langsung memeluk Yoriko untuk menenangkannya. “maaf, Yoriko-chan... seharusnya aku tidak memaksamu...”

“tidak apa-apa, Aya... aku mengerti. Terima kasih sudah memerhatikanku, sungguh, aku hargai itu.” Yoriko membalas pelukan Aya dengan erat. Baru sekarang dia mendapat pelukan seperti ini, pelukan hangat penuh rasa persahabatan, dia hampir menangis karenanya.

“kalau kau tidak ingin membahas soal pria brengsek itu, tidak masalah. Kita akan membahas hal lain.” Aya melepas pelukannya.

“ya...” Yoriko menaruh keranjang di gudang kecil tempat alat bersih-bersih diletakkan. “bagaimana kalau kita membicarakan dirimu. Kalau tidak salah, minggu lalu kau menceritakanku tentang cowok keren yang kau temui di kampus. Bagaimana? Ada kemajuan dengannya?”

“ya, aku baru saja ingin menceritakan ini padamu...” lalu Aya bercerita bagaimana ia bertemu cowok keren itu dan berkenalan. Ternyata dia juga ada di jurusan sama seperti Aya, mereka hanya berbeda kelas. Cowok keren yang diceritakan Aya bukanlah ‘cowok keren’ yang kebanyakan gadis pikir. Cowok ini tipe orang yang tertutup, penampilan rapi dan berkacamata serta sifatnya yang pendiam membuat Aya tertarik padanya. Saat cowok itu terbuka dan berbicara lepas dengannya, Aya merasa spesial di depan cowok itu.

“kami ada rencana pergi ke kafe sore ini. Dan semoga saja, bila acara jalan-jalan kami nanti sukses, kami akan pergi hanami bersama-sama!” Aya bersorak tertahan. “Oh Tuhan, semoga aku tidak memalukan di depannya nanti.”

“kau tidak akan memalukan di depannya, Aya...” kata Yoriko. “dia lebih terbuka padamu dibandingkan pada orang lain, itu artinya ada kemungkinan dia menaruh perasaan padamu. Lagipula kau juga cantik, tidak ada alasan baginya untuk tidak menyukaimu.”

“terima kasih...” Aya tersipu malu mendengar pujian dari Yoriko. “tapi, Yoriko-chan... kalau aku pergi malam ini, nanti siapa yang akan menjaga toko ini?”

“tenang saja.” kata Yoriko enteng. “akan kugantikan tugasmu.”

“memangnya kau tidak ada pekerjaan lagi di tempat Alice Nine?”

“tidak, mereka tidak membutuhkan banyak bantuanku hari ini. Kau selalu belajar dan bekerja. Kau berhak mendapatkan waktu senggang hanya untukmu, Aya.” Yoriko menaruh tangannya di pundak Aya.

“kau yakin, Yoriko?” Aya menatap Yoriko tidak enak hati. “kau tidak apa-apa sendirian disini sampai malam?”

“kau selalu sendirian disini setiap malam, kenapa aku tidak bisa? Aku ingin kau menikmati hidupmu, tidak selamanya kau selalu bekerja, kan? Cinta sejati tidak bisa menunggu, Aya...” goda Yoriko sampai membuat Aya semakin tersipu.

“apa ini sebagai balasan karena aku terus mencercamu bercerita tentang Shou?”

Yoriko berpura-pura berpikir, “hmm... ya, begitulah...”

Aya memberikan pukulan pelan di lengan Yoriko sebagai balasannya. Mereka tergelak bersama karena kekonyolan mereka sendiri, “ya sudah, aku akan pergi sekarang. Jangan lupa bersihkan lantai sebelum kau menutup tempat ini, ya...”

Aya pun berjalan menuju lokernya yang tidak jauh letaknya dari mereka. Dia mengambil tas dan jaketnya sebelum Yoriko mengantarnya keluar toko. Mereka saling melambaikan tangan sebelum Aya menghilang di kerumunan orang-orang yang berjalan di trotoar.

Sepeninggal Aya, Yoriko merasa sepi. Tidak banyak pengunjung datang hari ini. Para hewan peliharaan sedang asyik tidur siang di kandang masing-masing, namun masih banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan. Mengingat dia belum memberi makan para hewan, dia kembali ke gudang kecil tempat dia menaruh keranjang tadi. Seharusnya ini pekerjaan Aya, memberi makan mereka tiap menjelang sore, tetapi dia senang melakukan ini. Terlebih saat Boo menyalak bahagia begitu mendengar langkah sepatu sol tebal Yoriko yang membawa makanan untuk anjing pomeranian itu.

Yoriko membuka pintu kandang Boo lalu anjing berusia 3,5 tahun itu langsung keluar dan menyerbu mangkuk berisi makanannya dari tangan Yoriko. Dengan penuh kasih sayang Yoriko menemani Boo makan sambil mengusapi kepala anjing itu.

“kau lapar, ya?” tanya Yoriko seraya tertawa geli. Boo yang sudah sibuk menenggelamkan kepalanya ke dalam mangkuk makanannya tidak menghiraukan pertanyaan Yoriko.

“kau tahu, hari ini sedikit membosankan... Sebenarnya aku bisa saja menghabiskan waktuku dengan menulis, tapi, Boo-chan...” Yoriko menaruh dagunya di atas lutut. “suasana hatiku sedang tidak ingin melakukannya...”

Karena sekali lagi Boo masih tidak menghiraukannya, Yoriko merengutkan bibirnya.

“bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan bersama di taman?” Yoriko mendapat ide bagus. “kau dan aku bisa bermain lempar frisbee bersama!”

Namun Yoriko langsung menurunkan pundaknya karena kecewa dia tidak bisa melaksanakan rencana bagus itu. “tapi nanti siapa yang akan menjaga toko?”

Saat Yoriko masih terus menemani Boo menyantap makan siangnya, Yoriko mendengar lonceng di pintu masuk berbunyi sebagai tanda kalau ada seseorang atau pembeli masuk. Yoriko langsung berdiri dan berlari untuk mencari tahu siapa yang datang.

Ternyata orang itu adalah atasannya, Avaron Yutaka.

“hei, Yoriko-chan. Apa kabar?” sapa Avaron dengan senyuman ramahnya seperti biasa.

“aku baik-baik saja, nampaknya aku harus berjaga sampai malam disini, Avaron-san.” Balas Yoriko ramah juga.

“ah, ya...” Avaron tahu kalau tadi pagi Aya meneleponnya untuk meminta izin pulang lebih awal. “aku akan menemanimu sampai nanti malam. Aku tahu kau memang suka sesuatu yang gelap, namun aku yakin kau pasti tidak suka sendirian di petshop malam-malam, bukan?”

“ngg... tidak juga. Aku hanya tidak terlalu suka sendirian malam-malam dan tidak melakukan sesuatu.” Yoriko menggaruk kepalanya sambil terkekeh. “tapi tidak masalah, Avaron-san. Kalau anda menemaniku, aku akan merasa lebih baik.”

“maka dari itu...” Avaron memperlihatkan kantong kertas kecil yang ada di tangannya kepada Yoriko. “aku membawakan sesuatu untukmu sebagai hadiah.”

Saat Yoriko sudah menerima kantong kertas itu, dia merogoh isinya dan mendapati sebuah kalung perak imitasi berliontin salib hitam berdesain gotik abad pertengahan dengan hiasan batu rubi imitasi di sisi kiri dan kanan salib itu. Dan perasaan senang Yoriko sungguh tidak dapat dilukiskan karena menurutnya kalung hadiah dari Avaron sangat indah.

“terima kasih, Avaron-san!” jerit Yoriko senang dan memeluk Avaron erat-erat.

“ya, sama-sama. Tadi kebetulan aku melewati toko aksesoris gothic saat dalam perjalanan kemari dan melihat kalung itu ada di etalase toko. Aku langsung teringat padamu, jadi...” Avaron tidak bisa meneruskan perkataannya karena pelukan Yoriko semakin erat saja.

Setelah melepas pelukannya pada Avaron, Yoriko langsung memakai kalung pemberian Avaron di lehernya. Kalung itu sangat cocok dengan pakaiannya sekarang, kaus lengan panjang hitam bergaris abu-abu dan celana gombrong hitamnya. Avaron perhatikan penampilan Yoriko hari ini sedikit lebih tomboi dari biasanya.

“aku harap kau bisa menjaga kalung itu baik-baik, Yoriko-chan, mengingat kau sangat menghargai apa arti dari salib tersebut.” Pesan Avaron.

“tentu saja, Avaron-san.” Yoriko menganggukan kepala. “ngomong-ngomong, Avaron-san dari mana? Kalau tidak salah, tidak ada toko gothic yang terlewat dari rumah anda ke tempat ini...” tanya Yoriko penasaran.

“kenapa memangnya? Kau pasti ingin belanja disana, ya?” Avaron bisa menebak jalan pikiran Yoriko. “aku baru saja makan siang bersama Shou di restoran dekat Shibuya.”

Saat Avaron menyebut nama Shou, raut wajahnya seketika berubah menjadi marah. Lalu Yoriko bertanya, “ada apa dengan Shou, Avaron-san, kalau aku boleh tahu...”

Lalu Avaron menceritakannya dengan kebingungan yang amat sangat.

*** 

Begitu Avaron menerima ajakan makan siang dari Shou, Avaron dengan senang hati menerima karena dia sedang senggang. Dia sudah selesai mengurus rumah dan Yukio sedang main di rumah neneknya yang tidak jauh dari rumahnya, Kai sendiri sibuk dengan kegiatan bandnya.

Shou menjemputnya dari rumah dan membawanya ke sebuah restoran khas Itali yang suasananya tidak terlalu ramai di Shibuya. Begitu mereka turun dari mobil dan memasuki restoran tersebut, seorang pelayan wanita menyambut mereka dengan ramah dan membawa mereka ke meja yang sudah dipesan secara khusus oleh Shou di sudut restoran.

Tidak berapa lama kemudian mereka sudah menikmati makan siang mereka. Avaron ingin bertanya kenapa Shou tumben sekali mengajaknya pergi makan siang berdua, tetapi ia masih sibuk dengan lasagna yang ia makan. Ternyata selera Shou dalam memilih restoran bagus juga.

“pelan-pelan, kau bisa tersedak nanti.” Shou mengingatkan. Dibanding Avaron yang lahap, Shou lebih pelan menikmati pasta sayurannya.

Mengikuti anjuran Shou, Avaron menurunkan kecepatan makannya lalu berkata, “tidak biasanya kau mengajakku makan siang. Apalagi kau pasti sibuk, kan?”

“aku sedang ingin ditemani. Tidak boleh?” Shou menjawab dengan datar seperti biasanya. Tidak terdengar seperti seseorang yang benar-benar ingin ditemani makan siang.

“tidak masalah asalkan kau yang membayar makanannya.” Avaron mencoba bercanda. Tapi reaksi Shou hanyalah diam. Dan Avaron tidak kaget dengan itu.

“kudengar dari Tora kalian akan mengadakan hanami bersama-sama.” Avaron sekarang mencoba untuk membuka pembicaraan, menyadari bahwa Shou sama sekali tidak akan melakukannya.

“hmm...” gumam Shou sambil terus mengunyah pastanya.

“kapan?”

Shou menelan pastanya lebih dulu sebelum menjawab, “kami baru sempat melakukannya awal bulan depan.”

“apa?” Avaron kaget. “memangnya kalian tidak takut? Bukankah bulan depan sakura sudah mulai gugur.”

“menikmati hanami di hari terakhir ada sensasinya sendiri, Avaron...” ujar Shou. “lagipula aku akan cukup sibuk beberapa hari sebelumnya.”

“oh...” nafsu makan Avaron sekarang menurun karena penasaran dengan cerita Shou. “sibuk karena urusan band?”

“tidak. Sepupuku meneleponku beberapa hari lalu. Dia bilang dia sedang ada di Jepang minggu ini. Besok dia akan datang ke apartemenku untuk menginap beberapa hari.” Ketika Shou menyebut sepupunya, ekspresi jengkel terlihat jelas di wajah Shou.

“kenapa?” Avaron menyadari Shou sepertinya tidak menyukai sepupunya. “bukankah itu bagus? Ada saudara menginap di tempatmu. Kau jadi punya teman, bukan?”

“hah, kau tidak tahu sepupuku seperti apa.” Shou mendengus kasar. “dia seperti mimpi buruk bagiku, bahkan sejak aku masih kecil.”

“wow, memangnya dia sehebat apa sampai kau ciut padanya?” Avaron semakin tambah penasaran. Dia selalu ingin tahu siapa saja orang yang bisa membuat seorang Shou yang besar kepala, dingin, dan keras kepala menjadi takut dan ciut dengan mudah.

“dia tidak sehebat itu. Orang lain termasuk ayahku sering sekali menyanjungnya, selalu membeda-bedakanku kenapa aku tidak pernah menjadi seperti dia.” Shou ingat ucapan ayahnya tentang kenapa Shou lebih memilih menjadi anggota band sangat bodoh daripada mengikuti jejak sepupunya.

“seperti apa sepupumu?”

“dia seorang dokter. Dia bekerja dan tinggal di Inggris lalu kembali kesini karena rindu kampung halamannya. Katanya dia akan pindah kerja di rumah sakit di Tokyo. Dia bilang sebelum dia sudah pasti mendapatkan posisinya di rumah sakit, ia akan menginap di apartemenku untuk sementara waktu. Aku heran kenapa dia tidak tinggal saja di rumah orang tuaku. Aku yakin mereka pasti akan memanjakannya.” Shou bercerita dengan cepat.

“pantas saja ayahmu sering membandingkan kalian...” Avaron ingat dulu Shou dan ayahnya jarang akur, tapi ia tidak tahu mereka masih terus begitu sampai sekarang.

“apa dia seorang pria atau wanita?”

“pria. Menurut gadis-gadis yang biasa bertemu dengannya dia cukup tampan. Tapi ayolah, dia berkacamata, berpenampilan seperti orang tua, masa dia bisa dibilang tampan?” kata Shou sewot.

Avaron tertawa kecil. “sepertinya ada yang iri...”

“aku tidak iri.” Bantah Shou.

“aku tidak menyebut namamu, Shou.” Tawa Avaron menjadi semakin kencang. “baiklah, karena kau menyinggungnya, kalau kau tidak iri, kenapa kau benci sekali padanya? Tapi tunggu, dia tinggal di Inggris, bukan? Yang kudengar, orang Inggris adalah orang yang sopan dan anggun. Bisa jadi mereka jatuh hati pada sepupumu karena itu.”

“aku tidak peduli dia disukai oleh banyak wanita atau tidak. Aku tidak suka dia menginap di rumahku.” Shou menegaskan.

“kalau begitu, kau tinggal hubungi dia dan bilang kau tidak ingin dia menginap di rumahmu. Mudah, bukan?”

“tidak bisa. Nanti dia akan mengadu ke ayahku dan ayahku pasti akan memaksaku supaya dia bisa menginap di tempatku. Dia pasti ingin aku terpengaruh oleh sepupuku.” Duga Shou.

“aku akan membayar berapa pun agar aku bisa melihatmu bersikap sopan, anggun, dan beribawa karena ‘pengaruh’ sepupumu, Shou.” Semakin kesal Shou, Avaron akan semakin tertawa terbahak-bahak.

“diamlah!” seru Shou. “aku tidak suka kau menertawakan ini!”

Avaron pun diam. Baru pertama kalinya Shou membentaknya secara sungguh-sungguh. Ia pun sadar kalau Shou yang sekarang bukanlah Shou yang dulu lagi, yang selalu membalas ejekan dan candaan Avaron dengan cara yang sama juga.

“maaf, aku tidak bermaksud menertawaimu...” Avaron meminta maaf. “kupikir... saat kau mengajakku makan siang tadi, aku bisa bercanda denganmu lagi seperti dulu. Ternyata memang tidak bisa, ya..”

“bukan begitu, Avaron...” Shou jadi gugup. “aku cukup stress. Banyak sekali sesuatu yang menjengkelkan di sekitarku. Bukankah sudah cukup berat urusan band, konser, dan sebagainya? Sekarang bebanku ditambah sepupuku yang selalu menggangguku dan...” Shou nyaris saja mengucapkan nama Yoriko Ishihara. Tunggu, kenapa dia nyaris mengucapkan nama itu?

“dan apa?” Avaron menantikan terusan kata-kata Shou.

“tidak, tidak apa-apa...” Shou langsung mengelak dan berhenti. “pokoknya, aku mengajakmu kemari hanya untuk makan siang. Aku tidak butuh ejekanmu, Avaron.”

Avaron tidak membalas kata-kata Shou lagi. Dia tahu Shou sedang marah dan tidak ingin diganggu lagi, jadi mereka menghabiskan sisa makan siang dalam diam.

Di sisi lain, dalam diam Shou memikirkan kenapa dia bisa terpikirkan sosok Yoriko? Memang, Yoriko selalu mengganggunya sejak pertama kali mereka bertemu. Tapi kenapa? Shou bisa saja mengabaikan dia, bukan? Dia hanya perlu menganggap Yoriko sebagai orang biasa yang berlalu begitu saja dan Shou tidak akan peduli.

Ayolah, dia hanya gadis aneh dan penyendiri yang bekerja sebagai asistennya. Kenapa Shou harus memberikan perhatian khusus kepadanya? Kenapa Shou selalu tertarik pada apapun yang Yoriko lakukan? Seperti saat mereka membincangkan soal acara hanami waktu itu. Kenapa dia harus peduli Yoriko tidak menyukai bunga sakura? Dia memang gadis gotik, tidak heran jika dia tidak menyukai bunga sakura. Tapi kenapa harus sampai seperti itu Shou memaksanya untuk datang? Kenapa Shou sampai bertanya padanya kenapa ia tidak menyukai hanami?

Atau mungkin karena Yoriko dan sepupunya itu sama-sama orang aneh? Pasti karena itu.

“Avaron...” panggil Shou.

“ya?”

“maaf aku membuatmu kesal. Tidak seharusnya aku begini...” Shou menyesal. Tidak seharusnya dia membawa Avaron ke dalam masalah pribadinya. Avaron tidak tahu apa-apa, dan Shou tidak ingin kehilangan wanita ini. Wanita ini masih merupakan salah satu penentu hidupnya. Tanpanya, Shou tidak akan mempunyai tumpuan hidup.

“tidak apa, Shou...” Avaron meraih tangan Shou yang mengepal kencang di atas meja. Karena sentuhan Avaron, tangan yang tadinya dingin itu menjadi luluh dan terasa hangat. “aku paham...”

Hanya dengan sebuah sentuhan, Shou merasa tenang. Rasanya seluruh pikiran dan jiwanya yang keruh langsung menjadi jernih saat Shou merasakan sentuhan tangan itu. Shou membalas genggaman tangan Avaron lebih erat, dan ia tidak ingin melepasnya.

*** 

“mengerti kan, maksudku? Dia berubah menjadi semakin aneh sekarang. Mungkin karena dia terlalu memikirkan bandnya atau sepupunya yang menurutnya menyusahkan. Tapi aku penasaran dengan sepupunya itu... kau pernah tinggal di Inggris, kan, Yoriko? Bagaimana orang-orang disana?” Avaron terus bercerita tanpa menyadari Yoriko tidak terlalu memperhatikan karena dia memikirkan sikap Shou yang diceritakan Avaron barusan.

“ngg...” Yoriko mencoba menjawab sesuai pendapatnya. “mereka orang yang sangat ramah dan sopan. Penampilan mereka selalu rapi dan banyak juga yang bergaya gotik sepertiku. Tapi menurutku, karena dia orang Jepang yang lama tinggal disana, dia pasti orang yang lebih sopan dan tidak banyak macam-macam. Apalagi dia seorang dokter, bukan?”

“aku baru tahu Shou mempunyai sepupu yang tinggal di luar negeri. Memang dia anak orang kaya, tapi cukup kaget saja. Shou sungguh berbeda jauh daripada anggota keluarganya yang lain.” Komentar Avaron.

“mungkin karena itu dia merasa tertekan? Karena dia berbeda, anggota keluarganya mungkin akan membicarakannya atau seperti ayahnya, membandingkannya dengan sepupunya itu.”

Avaron mengangkat bahu. “mungkin... tapi yah, kurasa biar Shou saja yang menyelesaikan masalahnya. Sepertinya dia tidak membutuhkan bantuanku.”

Yoriko hanya tersenyum sebagai responnya kepada Avaron. “oh, aku sudah membereskan semuanya. Aku sudah tidak ada pekerjaan lagi sampai nanti malam. Jadi bolehkah aku menulis, Avaron-san?”

Avaron mempersilakan. “ya, tentu saja. Aku ingin kau cepat-cepat menyelesaikan karyamu supaya aku bisa membacanya. Kalau begitu, aku ke lantai atas dulu, ya. Aku ingin menyapa Dokter Inoue.”

Setelah Avaron berlalu, Yoriko menyalakan laptopnya yang sudah ada di atas meja kasir. Sambil mendengarkan lagunya Collide yang bergenre gotik elektro, Yoriko melanjutkan menulis novelnya.

*** 

Saat jam makan siang tiba, Spencer yang tadinya ingin pergi ke restoran cepat saji favoritnya yang terletak tidak jauh dari kepolisian bertemu Samantha Force yang kebetulan berpapasan dengannya di dekat lapangan parkir kantor. Wanita itu terlihat baru saja keluar dari mobil Mercedes miliknya. Mobil yang cukup mewah untuk seorang yang bekerja di kepolisian.

Melihat Spencer, wanita cantik berambut pirang itu langsung memanggil namanya. Ia berlari mengejar Spencer dan mengajaknya mengobrol.

“hei, kau mau kemana?”

“aku ingin makan siang.” Jawab Spencer.

“boleh aku ikut? Aku tidak sempat sarapan karena inspektur menyuruhku mencetak foto-foto TKP dan harus diserahkan hari ini.” pinta Samantha yang tentu saja tidak dapat ditolak oleh Spencer.

Sesampainya di restoran, mereka mengambil tempat duduk di counter restoran dan langsung memesan. Spencer memilih cheese burger dengan kentang goreng sedangkan Samantha memesan tuna sandwhich.

Sembari menunggu pesanan, Samantha mengajak Spencer mengobrol. Sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu berdua sejak putusnya hubungan mereka. Samantha sadar seharusnya dia tidak mengganggu Spencer lagi yang sekarang adalah mantannya, tetapi dia masih ingin berteman baik dengan pria ini. Kandasnya hubungan mereka bukanlah kemauan Samantha.

“bagaimana kabar kasus? Sudah ada perkembangan?” tanya Samantha.

“kami hampir mendapatkan tersangka, berkat profil yang dibuat Judy Hunters. Tapi sayangnya tersangka itu sulit sekali dicari jejaknya.” Jawab Spencer sambil menyeruput kopi hangatnya yang baru saja dituangkan oleh pelayan restoran.

Samantha mengangguk mengerti. “bicara soal Hunters, aku mendengar gosip kalian cukup dekat. Dan kurasa aku harus membenarkan gosip itu.”

Spencer nyaris tersedak dari kopinya. “sejak kapan ada gosip aneh seperti itu? Kami tidak pernah dekat. Dia hanya cukup berguna di tim, aku sering mengganggunya dengan meminta hasil profil dan sejenisnya. Tidak ada yang istimewa.”

Samantha terkikik geli. “kau tidak perlu sedefensif itu, Spencer. Aku tahu itu hanya gosip dan aku juga hanya ingin menggodamu.”

Spencer menggelengkan kepalanya. Wanita ini tidak pernah berubah.

“tapi menurutku kehadirannya di kepolisian cukup menarik perhatian. Ada beberapa pria di divisiku yang tertarik padanya karena penampilan nyentriknya itu. bagiku dia juga cukup cantik. Aku tidak heran jika suatu saat kau menyukainya.”

Spencer heran. Kenapa Samantha bisa begitu mudahnya berkata ia akan menyukai Judy Hunters, wanita berambut aneh yang tidak jelas itu? Spencer ingin tahu apakah Samantha masih memiliki perasaan yang sama sepertinya? Secepat itukah Samantha melupakan hubungan mereka dulu?

“kenapa kau berkata begitu?” tanya Spencer dengan nada tersinggung.

“oh, maaf, Spencer...” Samantha tidak enak hati. “kupikir kau... maksudku, kita harus melupakan semuanya dan kembali menjalani hidup. Aku tidak ingin kau...”

“kau yang meninggalkanku, Samantha. Mudah bagimu untuk mengucapkan itu.” kata Spencer. “kau tidak tahu betapa hancurnya aku saat kau memutuskan untuk memilih pria itu sebagai tunanganmu.”

“i... itu bukan kemauanku, Spence. Kau tidak tahu keluargaku...” Samantha mencoba menjelaskan.

“kau sudah bukan anak kecil lagi, kau bisa mengambil keputusan untukmu. Kau pikir aku tidak mencoba untuk melupakan semua itu, Sam? Tidak bisa.” Spencer memegang erat tangan Samantha dan menatap wajah Samantha lekat-lekat.

“kau hanya belum berusaha keras, Spencer. Maaf jika keputusanku menyakitimu, aku sendiri masih belum bisa melupakanmu, masih ada rasa cinta padamu yang kurasakan...”

“selama kau masih memakai itu, Sam...” Spencer menunjuk cincin tunangan di jari manis Samantha. “maaf, aku sulit untuk memercayai itu.”

“Spence...” Samantha hanya bisa menyebut namanya. “maafkan aku...”

“sudah terlambat, Sam... aku harap dia bisa membahagiakanmu lebih baik daripada aku.”

Mendadak Spencer kehilangan nafsu makannya. Tanpa menunggu makanannya tiba terlebih dulu, ia mengeluarkan dompet dari saku celananya dan menaruh sejumlah uang tunai di atas counter untuk membayar cheese burgernya. Ia lalu mengambil tas ranselnya dan pergi meninggalkan Samantha yang terpaku menahan air matanya disana.

*** 

Sejenak Yoriko berhenti menulis. Dia membaca lagi adegan yang baru saja ia tulis, adegan antara Spencer Williams dan Samantha Force. Adegan yang cukup singkat, tapi sangat mengena di hatinya.

Yoriko sudah terbiasa menempatkan posisinya seperti berada di dalam cerita, memperhatikan bagaimana Spencer yang dengan pedih meninggalkan Samantha di restoran cepat saji itu. Tapi kenapa dia merasakan rasa sakit itu? Kenapa dia bisa merasa tertusuk saat membayangkan Spencer menggenggam erat tangan Samantha?

Tidak, rasa sakit ini bukanlah karena ia terbawa oleh adegan yang ia buat sendiri, rasa sakit itu nyata. Ia merasakan dadanya sesak. Seketika itu juga, setitik air mata mengalir di wajahnya.

Ada apa denganmu, Yoriko? Tanya Yoriko dalam hati. Kenapa ia tiba-tiba begini?

Semakin ia memikirkannya, rasa sakit itu semakin memenuhi dadanya. Membuatnya semakin kesulitan bernapas. Seakan tidak cukup, perasaan aneh itu memuncak di kepalanya. Mendadak kepalanya menjadi sakit tidak karuan tanpa sebab.

Yoriko berdiri dari duduknya, mencoba berjalan menuju lokernya untuk mengambil aspirin yang biasa ia bawa kalau-kalau dia mengalami pusing ini lagi. Tapi ia tidak sanggup.


Semakin tidak tahan dengan rasa sakitnya, Yoriko mengerang pelan. Tangannya meraih rak pajangan sebagai pegangan agar ia tidak jatuh. Namun sayangnya, ia terlambat. Tidak kuat dengan beban yang dirasakannya, akhirnya tubuhnya semakin lemas dan ia pun roboh ke lantai, tidak sadarkan diri disana...