12
Ketika Yoriko
membuka matanya, ia mendapati dirinya berada di ruang praktek dokter Inoue.
Dokter itu sedang memandangnya prihatin bersama Avaron, menanti sampai kapan
Yoriko tidak sadarkan diri.
“oh,
syukurlah kau sudah sadar, Yoriko-chan...” Avaron menghela nafas sekaligus
tersenyum lega melihat Yoriko sudah bisa duduk di sofa tempat dia dibaringkan
sebelumnya.
“kenapa aku
bisa ada disini?” tanya Yoriko linglung. Dia melihat dokter Inoue untuk
mendapat jawaban.
“tadi saat
kami berada disini, kami mendengar suara benda-benda jatuh di lantai bawah.
Begitu kami memeriksa, kami mendapatimu sudah terkapar di lantai. Kami pun
langsung membawamu kesini.” dokter Inoue menjelaskan kejadiannya. “kau pasti
kelelahan, ya? Wajahmu pucat sekali...”
“aku tidak
tahu... tadi aku merasa pusing dan...” Yoriko berkata nyaris tanpa suara.
Namun Avaron
memotongnya terlebih dulu. “sudah, tidak usah diingat-ingat lagi. Kau sudah
sadar sekarang, itu yang terpenting. Sekarang, bagaimana perasaanmu? Masih
pusing atau apa?”
Tidak ingin
membuat kedua wanita di hadapannya ini lebih repot dan khawatir, Yoriko
menjawab, “aku sudah lebih baik. dokter Inoue benar, ini pasti karena aku
kelelahan. Seharusnya aku tidak seperti ini, sungguh merepotkan kalian semua.
Maafkan aku...”
Padahal
kenyataannya, kepala Yoriko rasanya masih seperti berputar dan perutnya juga
terasa sangat mual. Dia berusaha keras menahan diri untuk tidak muntah. Tidak
sekali dua kali dia merasakan gejala ini.
“kau yakin,
Yoriko-chan? Jangan berpikir kau merepotkan kami. Jika kau masih merasa sakit,
bilang saja.” Avaron tidak mempercayai ucapan Yoriko.
“ya,
Yoriko-chan. Aku yakin Avaron-san pasti akan memberikanmu cuti selama beberapa
hari supaya kau bisa beristirahat. Ada baiknya bila kau menggunakan waktu cuti
itu untuk memeriksakan dirimu di rumah sakit.” Timpal dokter Inoue setuju.
“sungguh,
Avaron-san, dokter Inoue, aku sudah tidak apa-apa. Aku akan pergi ke lantai
bawah, siapa tahu ada pembeli yang akan datang dan pasti sangat menyusahkan
mereka bukan jika tidak ada yang mengawasi meja kasir?” Yoriko berdiri dan
beranjak keluar dari ruang praktek.
“eit, tidak
boleh, Yoriko.” Cegah Avaron tegas. “kau tidak boleh bekerja lagi untuk hari
ini. Kau harus pulang dan beristirahat. Aku akan memberimu cuti sampai kau
merasa benar-benar lebih baik untuk bekerja kembali.”
“tapi,
Avaron-san, aku...”
“tidak ada
kata tapi. Jika kau tidak menuruti perintahku, akan kusuruh Aya untuk
mengawasimu di apartemen. Kita tahu betul bila Aya berada disini, dia pasti
akan lebih cerewet daripada aku. Jadi, pilih mana?” Avaron berbicara sedikit
galak pada Yoriko supaya gadis ini menurut.
Tidak ingin
merepotkan Aya juga, akhirnya Yoriko menuruti perintah Yoriko. Namun dengan
memelas, Yoriko meminta kepada Avaron, “baik, Avaron-san. Tolong jangan bilang
pada Aya tentang apa yang terjadi padaku hari ini. Katakan saja padanya aku
mengambil cuti karena ingin beristirahat atau apalah. Pokoknya jangan
ceritakan.”
Avaron pun
menyanggupi permintaan Yoriko dengan syarat Yoriko harus pulang disaat itu
juga.
Sepulang dari
petshop, Yoriko tidak tahu ingin pergi kemana. Dia belum ingin kembali ke
rumah, dan rasa mualnya yang masih tersisa masih belum mengizinkannya untuk
menyantap makan malam.
Ia pergi ke
kios minuman terdekat di trotoar, membeli segelas ocha hangat untuk meringankan
mualnya. Sambil berjalan dan menyeruput ochanya, dia memikirkan kemana dia akan
pergi.
Tetapi dia
tidak dapat menemukan tempat yang bisa ia tuju. Padahal Tokyo adalah kota
besar, dia bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan disini. Dia datang kemari
selain karena memenuhi permintaan Aya, ia juga rindu akan kampung halamannya.
Benarkah
begitu?
Biasanya,
bila seseorang yang sudah lama tidak menginjakkan kaki ke kampung halamannya,
ketika ia tiba disana, rasa gembiranya pasti tiada tara. Dia akan melakukan
apapun demi memuaskan rasa rindunya.
Namun tidak
bagi Yoriko. Yoriko malah merasa hidup di Tokyo lebih monoton daripada hidupnya
di kota lain. Dia mencoba mengingat alasan utamanya kenapa dulu dia memutuskan
meninggalkan Jepang. Apa karena dia ingin mencoba petualangan baru? Atau demi
mewujudkan impiannya sewaktu masih kecil, pergi ke suatu tempat yang penuh
keajaiban?
Berpikir
bukan itulah jawabannya, Yoriko merasa ia perlu mundur sedikit lagi, mengapa
dia bisa membuat mimpi seperti itu? Memang, semua orang bahkan seorang gadis
kecil pun pasti menginginkan pergi ke dunia luar, mencari petualangan, sampai
menaklukkan dunia. Tetapi kebanyakan mimpi mereka itu pasti akan pupus di
tengah jalan, merasa mereka tidak mungkin akan bisa melakukannya. Mereka yang
tadinya adalah seorang pemimpi yang mampu terbang sampai ke ujung awan berubah
menjadi seorang realis yang tidak akan pernah ingin meninggalkan tanah tempat
mereka berpijak.
Apa yang
telah membuat Yoriko bisa melakukannya? Apa yang telah membuat Yoriko bisa
membuktikan kepada dirinya bahwa dia mampu?
Tahu
pertanyaannya tidak akan mampu ia jawab sendirian, ia pun akhirnya tahu kemana
ia akan pergi. Yoriko berjalan menuju halte bus terdekat, dan tidak lama Yoriko
menunggu disana sampai bus yang diinginkannya tiba.
Yoriko menatap
bangunan gereja Katolik yang ada di hadapannya. Bangunan megah berdesain
campuran gaya Eropa dan Jepang yang memiliki menara lonceng seperti gereja
favorit Yoriko. Malam sudah tiba dan orang-orang lebih memilih menghabiskan
waktu mereka di rumah atau menyelesaikan pekerjaan di kantor, gereja pun sepi.
Yoriko
melangkahkan kakinya memasuki pekarangan gereja. Hanya ada seorang petugas
keamanan yang menyapanya, dari tatapannya satpam itu pasti penasaran kenapa ada
seorang wanita mengenakan ‘kostum’ gotik seperti orang-orang penyuka musik
metal memasuki gereja malam-malam begini.
Sesampainya
di depan pintu masuk altar gereja, Yoriko mencelupkan jarinya ke dalam air suci
yang tersedia di sebelah pintu. Ia membentuk tanda salib di tubuhnya sebagai tanda
penghormatan sebelum memasuki gereja.
Di dalam
gereja yang luas, tidak ada siapapun yang duduk di bangku. Yoriko hanya
mendapati seorang biarawati sedang merapikan altar gereja. Biarawati paruh baya
itu memberikan sebuah senyuman ramah pada Yoriko kemudian ia pergi melalui
pintu belakang.
Yoriko
berjalan menyusuri altar yang berkarpet merah, mengambil tempat duduk persis di
depan altar. Ia menaruh tas ransel di sampingnya dan menatap patung Bunda Maria
yang berdiri dengan anggun di altar.
“hanya ini
tempat yang bisa kutuju, karena aku tidak tahu harus kemana lagi...” Yoriko
mulai mencurahkan isi hatinya. “ini hanya di antara kita berdua, Bunda, aku
harus mengakui beberapa minggu ini sedikit berat bagiku.”
Suara Yoriko
yang bercerita kepadaNya menggema di seluruh sudut ruangan. Tetapi Yoriko tidak
peduli, dia bisa merahasiakan segalanya di depan orang-orang, namun dia tidak
bisa merahasiakan satu hal kecil pun di hadapanNya.
“aku sedikit
teringat akan masa kecilku...” ujar Yoriko. “Kau pasti tahu aku cukup payah
waktu itu, hanya bisa menuruti perkataan orang lain dan menerima segala ejekan
dari teman-teman karena menjadi diriku sendiri...”
Yoriko
menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang sebentar lagi mengalir dari
matanya. Ia menggenggam erat-erat kalung salib pemberian Avaron di lehernya, “makanya
aku bercita-cita ingin pergi dari sini, mencari tempat baru dimana orang yang
ada disana tidak tahu siapa aku, menjadi aku yang baru...”
Yoriko
mengangkat kepalanya, menatap Bunda Maria yang seakan juga ikut menatapnya
penuh kasih, yang selalu siap mendengarkan apapun yang Yoriko ceritakan
padaNya. “namun ketika aku kembali kemari, ternyata tempat ini masih
menganggapku sama seperti dulu.”
“aku
berterima kasih padaMu, berkat kasihMu melalui teman-teman baruku, aku bisa
menjadi lebih kuat menjalani hidup ini. Aku selalu berpikir bahwa aku akan
selalu sendirian, dan ketika aku menerima semua perhatian dan kasih sayang
mereka, aku menjadi berpikir... apakah aku akan mengecewakan mereka dengan
menjadi diriku sendiri?”
Yoriko
menautkan jemarinya dan menundukkan kepalanya. “hanya kepadaMu aku bisa
berbicara dengan lepas seperti ini, Bunda. Maka dari itu, kumohon, berikanlah
aku petunjuk dan kekuatan. Aku tidak ingin menjadi seperti aku yang dulu
lagi...”
Selesai berdoa, Yoriko berjalan
perlahan meninggalkan altar, seolah ia merasa berat harus lepas dari dekapan
Sang Pencipta yang begitu menenangkan hatinya. Namun ketika dia sampai tepat di
depan pintu, dia melihat seorang pria berdiri di ambangnya. Kehadiran pria itu
sangat berarti bagi Yoriko, dia berlari kecil ke arahnya dan memeluknya erat.
“aku mendapat firasat kalau hari
ini kau membutuhkanku.” Ujar Hitomu di telinga Yoriko.
“ya, kau benar...” pelukan
Yoriko semakin erat pada sahabatnya itu. Sebuah pelukan hening sudah memiliki
banyak arti tanpa harus berbicara apapun lagi.
Hitomu melepaskan pelukan mereka
dan menautkan jemarinya di tangan Yoriko, menariknya pelan keluar dari gereja.
“ayo kita pulang. Kau nampak sangat kelelahan hari ini.”
Yoriko mengangguk pelan sambil tersenyum
haru dan mengusap air mata terakhirnya. Pada akhirnya, tidur Yoriko di malam
itu, adalah tidur ternyaman dan terpulas yang pernah ia rasakan.
Keesokan harinya, Yoriko
dibangunkan oleh suara seorang pria yang sangat keras tepat di telinganya. Suara
itu sudah tidak asing lagi untuk Yoriko, ia menampar pelan wajah pemilik suara
yang berbaring di sampingnya.
“aku malas bangun, Hitomu.
Biarkan aku tidur lebih lama lagi...” Yoriko menutupi wajahnya dengan bantal.
“tapi kau tidak mendengar nada
dering teleponmu terus berbunyi?” Hitomu mengguncang-guncangkan tubuh Yoriko
yang masih ditutupi selimut hangat.
“hah... biarkan saja, aku sedang
cuti. Mungkin itu hanya Aya...”
“oh ya? Kalau begitu, kenapa
nama yang tertera di caller ID namanya Makibao?” pertanyaan polos Hitomu
membuat Yoriko langsung bangun dengan sekali hentakan. Dia merebut handphonenya
dari tangan Hitomu. Yoriko mendapat 3 panggilan tidak terjawab dan sebuah
e-mail yang sekarang ia baca dari Shou.
“sial, dia menanyaiku apa aku
bisa bekerja pagi ini...” gerutu Yoriko. Yoriko baru saja mendapatkan
kedamaiannya semalam, dan ia tidak ingin kedamaiannya itu diganggu oleh pria
cerewet yang tidak bisa mengatur kehidupannya sendiri. Pria itu harus tahu
kalau salah satu cara Yoriko bisa meraih kedamaiannya adalah dengan melupakan
orang itu ada.
Yoriko tahu betul bila ia
menolak atau mengabaikan perintah Shou, kedamaiannya bisa hancur
berkeping-keping. Maka dari itu, dia memutuskan untuk menghadapi sumber
masalahnya.
Melihat Yoriko bangkit dari
tidurnya dan buru-buru bersiap-siap, Hitomu tercengang. “siapa Makibao? Kalau
tidak salah, dia kan tokoh sapi atau kuda dari anime Makibao, bukan?”
“ceritanya panjang, Hitomu.”
Yoriko tidak sempat bercerita bila ia memberi nama Shou di kontaknya adalah ilham
dari Avaron yang pernah bercerita nama itu adalah julukan darinya untuk Shou.
E-mail yang dikirimkan Shou
kepadanya sampai satu jam yang lalu, dimana Shou menginginkan Yoriko datang
pada pukul 9 pagi. Itu berarti, Yoriko hanya memiliki waktu setengah jam untuk
sampai ke kantor PSC. Belum lagi dia harus mengantri di Starbucks untuk membeli
kopi untuk kelima personel dan mengambil hasil desain kostum untuk konser
mereka nanti.
Secara asal Yoriko mengambil
pakaian yang akan ia kenakan dari peti matinya. Dress hitam sederhana, mantel
hitam, dan sepasang kaos kaki selutut. Tanpa sempat menyatap sarapan terlebih
dulu, Yoriko langsung membereskan barang-barang yang akan ia bawa ke dalam tas
ranselnya lalu berlari keluar dari rumahnya dengan sepatu boot yang kemarin ia
pakai.
Saking terburu-burunya Yoriko,
ia bahkan tidak berpamitan sama sekali pada Hitomu yang sekarang menggelengkan
kepala, keheranan melihat Yoriko yang bisa secepat itu seperti orang kesetanan
hanya demi memenuhi panggilan Shou.
Shou melihat jam tangannya,
sudah hampir 1 jam Yoriko belum datang. Sudah berapa kali wanita ini datang
terlambat saat bekerja? Mana mungkin dia masih tidur di kamar, tidak tahu jika
tadi Shou meninggalkan panggilan tidak terjawab dan beberapa e-mail di
handphonenya? Bila Yoriko tidak bisa bekerja pagi ini, kenapa ia tidak
mengabarinya saja? Shou bisa saja mencari orang lain untuk dipekerjakan.
“dia masih belum datang juga?”
Tora masuk ke dalam ruang Alice Nine sambil membawa beberapa bungkus roti dan
ocha dalam kemasan botol yang ia beli dalam perjalanannya menuju ke kantor.
“dia tidak profesional sekali,
kalau dia membutuhkan pekerjaan ini seharusnya dia sadar diri.” Gerutu Shou
kesal.
Tora melemparkan salah satu
bungkus roti rasa cokelat ke tangan Shou. “mungkin dia masih bersiap-siap? Kita
mendadak sekali meminta dia bekerja pagi ini, bukan? Dia pasti juga harus
meminta izin pada Avaron lebih dulu.”
Shou menghela nafas. Dia membuka
bungkus roti dan menggigitnya sedikit. “mungkin.”
“ayolah, tidak ada gunanya kau
risau di sofa. Lebih baik setelah kau selesai makan kita langsung mulai saja.
Toh Yoriko hanya kemari untuk membawakan kopi dan mengantar desain kostum kita.
Salah sendiri kau menyuruh kita mulai latihan pagi-pagi begini.” Kata Tora.
Sebenarnya bukan kemauan Shou
meminta teman-temannya melakukan latihan pagi sekali. Shou paham Saga, Tora dan
Hiroto sampai tidak tidur hanya untuk berlatih dan melakukan promo konser
mereka. Nao juga harus sampai rela menginap di kantor untuk menciptakan variasi
drum. Shou sendiri juga sibuk melatih vokalnya supaya penampilannya lebih
mantap saat konser nanti.
Namun karena sepupunya yang
sedang menginap di apartemennya begitu menjengkelkan, Shou lebih memilih
berlatih pagi demi menghindari orang itu. Shou benci segala hal yang dilakukan
sepupunya di apartemennya. Mengomelinya bila Shou tidak tidur saat tengah
malam, memaksa Shou bangun subuh lalu pergi lari pagi, memasakkannya sarapan—tapi
harus Shou akui, pancake dan waffle buatan sepupunya enak juga—menyuruhnya
lebih perhatian sedikit dalam mengurus rumahnya. Ayolah, kaos yang dipakai Shou
pagi ini masih bisa dipakai walaupun sudah 3 hari tidak dicuci.
Terkadang Shou heran apakah makhluk
yang menginap di apartemennya itu adalah seorang gay atau ibunya?
“kau jahat sekali menyuruh kami
latihan pagi-pagi begini...” Nao masuk ke ruangan sambil terus menguap.
Sesekali tangannya mengusap kantuk di matanya supaya pergi. Saking mengantuknya,
Nao sampai tersandung di antara peralatan drumnya sendiri yang ada di sudut
ruangan.
Ekspresi yang ada di wajah
Hiroto dan Saga yang masuk kemudian juga tidak jauh berbeda dari Nao. Sudah
kelihatan jelas mereka pasti tidak tidur lagi semalam.
“oh... sengaja aku bekerja dari
pagi sampai ketemu pagi supaya kita bisa menikmati Sakura awal bulan depan...”
Saga menjatuhkan diri di atas sofa yang sekarang baginya terasa sangat empuk
seperti kasur di kamarnya.
“biarkan aku tidur lagi...
setidaknya satu jam saja...” sahut Hiroto. Sekarang dia menyesal kenapa dia
tidak menyimpan futon ekstra di ruangan ini.
“wow, kalian benar-benar
berantakan hari ini.” kata Tora. “jangan sampai manajer kita melihat kalian
dalam keadaan seperti ini.”
“biarkan saja. Acara wawancara
untuk majalah yang-aku-lupa-namanya itu masih diadakan minggu depan, tenang
saja.” jawab Nao enteng. “jangan lupa kau juga ikut wawancara itu, Shou.”
Untuk saat ini, Shou rela
menerima pekerjaan dalam bentuk apapun selama itu bisa membuatnya menjauh dari
sepupunya selama ia masih menginap di tempatnya. Kalau bisa, selamanya.
“ngomong-ngomong, dimana Yoriko?
Tidak biasanya dia terlambat membawa kopi kita.” Saga melihat jam tangannya.
“aku benar-benar butuh kopi sekarang.”
“sudah berapa gelas yang kau
minum dari kemarin?” tanya Tora.
“entahlah... tidak sampai 10, kurasa...” Saga menghitung dengan jarinya meskipun hitungannya tidak tepat.
“pantas saja kau terlihat
seperti zombi.” Tora berdecak. Kemudian ia menaruh sisa roti yang belum dimakan
ke atas meja depan sofa. “kalian sudah sarapan belum?”
“ugh... jangan bilang kau
mengajak kami latihan pagi karena sepupu menyebalkanmu yang kau ceritakan
kemarin.” Hiroto mengambil roti rasa keju dan mulai memakannya dengan lahap.
Shou tidak menjawab. Sayangnya,
apa yang diucapkan Hiroto benar adanya. “dia baru datang semalam dan sudah
sangat menyusahkanku. Memangnya siapa yang memiliki apartemen? Aku, bukan? Lalu
siapa yang berhak mengaturnya? Tentu saja aku. Tapi siapa yang cerewet dan
bertingkah sok mengatur seperti ibuku? Dia.”
“siapa namanya? Aku harus
memberikan ucapan selamat untuknya.” Sindir Hiroto.
“Juri. Ucapan selamat untuk
apa?” jawab Shou bingung.
“karena dia berhasil
mengganggumu sampai membuat kami semua menderita begini. Entah apa kau atau dia
yang seharusnya kuhajar karena mengganggu tidur pagiku. Dua-duanya juga boleh.”
Alhasil, Shou melemparkan bantal
ke wajah Hiroto.
“tapi Hiroto benar.” Timpal
Saga. Dia menggulung tubuhnya di sofa. “kalian berdua mengganggu tidur pagi
kami...”
“sebenarnya, tidur pagi itu
tidak baik untuk kesehatan kalian karena bisa menyebabkan diabetes dan liver.”
suara seorang pria tiba-tiba memotong pembicaraan mereka.
“Juri??” Shou terbelalak melihat
sepupunya berdiri di depan pintu ruangan mereka. “sedang apa kau disini?”
Juri pun masuk ke dalam. Keempat
teman Shou dibuat tercengang oleh penampilan Juri, kemeja berlapis sweater
rajutan tangan warna cokelat, celana kain, sepatu pantofel, dan rambutnya
sangat klimis dan rapi. Sungguh berbeda jauh dari Shou yang cuek dan urakan.
“aku membawakanmu ini. kau pasti
akan membutuhkannya.” Juri mendekati Shou sambil menyerahkan sebuah kantong
kertas berisi pedal gitar dan mini amplifier. Shou tidak membalas ucapan Juri,
dia masih sibuk bertanya-tanya kenapa Juri bisa tahu basecampnya ada disini.
“aku tahu itu peralatan penting
untuk band, ya kan?” kata Juri. “kenapa kau bisa lupa?”
Tentu saja Shou lupa. Tadi pagi
dia memprioritaskan cara bagaimana ia bisa melarikan dari Juri daripada
memikirkan peralatan bandnya.
“kau... Juri Kohara? Sepupu yang
diceritakan Shou pada kami?” tanya Tora. Sekarang sepertinya hanya dia yang
masih terlihat waras dan lebih bisa mengendalikan suasana yang canggung ini.
“ya. Aku baru datang dari
Inggris beberapa hari lalu. Tadinya aku ingin menginap di hotel, tapi ayah Shou
menyuruhku tinggal di apartemen Shou agar aku bisa lebih akrab dengan Shou.” Juri
memberikan senyuman hangatnya.
Dasar penjilat, gerutu Shou
dalam hati.
“oh, kalau begitu, selamat
datang.” Tora sedikit canggung apa dia harus membungkuk memberi salam seperti
budaya Jepang, atau berjabat tangan karena Juri sudah lama tinggal di Eropa.
“kau pasti rindu negara ini sampai ingin pindah kerja disini.”
“ngg... tidak juga. Aku lahir
dan besar di Inggris, aku hanya mengunjungi Jepang beberapa kali dalam setahun.
Berhubung aku ingin sekali belajar budaya dari pihak ayahku, aku memutuskan
tinggal disini.”
“untuk ukuran orang yang lahir
dan besar di Inggris, bahasa Jepangmu fasih juga.” Sahut Saga.
“yah...” Juri terkekeh pelan.
“aku termasuk cepat dalam belajar.”
Keempat teman Shou
mengangguk-anggukkan kepala mereka sebagai tanda mereka sangat mengerti kenapa
Shou selalu dibanding-bandingkan oleh ayahnya.
“karena kau sudah terlanjur
datang...” timpal Hiroto. “kenapa kau tidak duduk saja dan lihat kami berlatih?
Kami ada pertunjukan konser dalam waktu dekat.”
Juri terlihat sangat antusias. Ia
mengambil tempat duduk di sebelah Shou. “tentu saja! Aku selalu ingin tahu
bagaimana kehidupan Shou di bandnya.”
Shou mendesis kesal. Kenapa orang
ini tidak langsung pergi dari sini saja? Jika ia ingin belajar tentang budaya
Jepang, Shou yakin Tokyo menyediakan banyak sekali tempat sebagai sarana untuk
belajar kecuali basecamp mereka.
“kenapa kau terlihat tidak suka,
Shou?” panggil Tora. “kau pasti senang, bukan, Juri-san bisa melihat penampilan
hebatmu.”
Apa yang dikatakan Tora adalah
sebuah sinyal yang ditangkap oleh Shou. Tora benar, meski Shou membenci Juri
setengah mati, tapi Juri bisa menjadi tiket untuk meyakinkan ayahnya menjadi
bagian dari sebuah band adalah pilihan tepat dan tidak sia-sia. Bila Juri
bercerita pada beliau bagaimana bagusnya Shou saat berlatih dan tampil di
konser, bisa saja ayahnya akan sedikit lebih memberikan perhatian padanya.
“kau benar.” Shou mengambil tas
kantong amplifier mininya dan berdiri dengan bangga. “kau harus lihat kami
tampil, Juri.”
“kau juga harus lihat desain
kostum kami. Sangat menarik!” seru Nao dari belakang drum setnya. “sedikit
bergaya Eropa, tetapi juga mencirikan jati diri band kami.”
“wow.” Ucap Juri. “kalau begitu,
aku harus melihatnya.”
“sayangnya asisten kami belum
datang.” Timpal Saga. “mungkin kau harus menunggu beberapa saat.”
“oh, oh! Bicara soal kostum, aku
sedikit menyukai penampilanmu hari ini, Juri-san. Kau mengingatkanku pada
asisten kami juga.” Kata Nao. “selera modenya juga sangat unik.”
Shou memutar matanya. Masih
belum cukupkah kedatangan Juri menjengkelkannya? Kenapa teman-temannya masih
harus membahas Yoriko? Namun bicara tentang Yoriko, wanita itu masih belum
datang juga. Entah kenapa perasaan Shou sedikit cemas tentang fakta ini.
“apa maksudmu dengan... selera
modenya yang unik?” Juri menyatukan kedua alisnya, penasaran tentang siapa
gadis yang dibicarakan Nao.
“ah, kau pasti tahu maksudku
setelah ia datang.”
Beberapa detik kemudian, pintu
ruangan mereka dibuka secara tergesa-gesa oleh seseorang. Orang itu membawa
kantong kertas berisi 5 kopi panas, tas ransel di punggung, dan sebuah map
berisi desain di tangan satunya.
Orang itu adalah seorang wanita,
berambut hitam legam dan berponi rata, gaya berpakaiannya tidak usah diragukan
lagi kengeriannya, ditambah paduan smoky eyes di mata indahnya dan lipstik
merah kehitaman di bibirnya, orang akan berpikir dia adalah hantu yang
bergentayangan di siang hari.
Namun gadis itu terengah-engah,
keringat mengucur di wajahnya karena baru saja berlari demi mengejar
keterlambatannya bekerja hari ini. Tanpa mempedulikan tatapan menusuk Shou bagaikan
es tajam dan kekagetan keempat temannya, Yoriko langsung berkata. “halo, maaf
sekali aku terlambat. Aku tahu kalian tidak mau tahu alasan kenapa aku bisa
terlambat, tapi aku membawakan kalian kopi dan hasil desain kostum kalian. Semoga
kalian tidak terlalu marah.”
Yoriko sama sekali tidak mau
mendengar ocehan dan omelan Shou mengenai keterlambatannya hari ini. Jadi dia
langsung menaruh seluruh barang bawaannya, melepas mantelnya dan menggantungnya
di rak mantel belakang pintu, mengambil buku catatan dan pulpen dari ranselnya kemudian
mulai bekerja. “aku menghubungi manajer kalian akan latihan pagi ini. Sementara
kalian semua latihan, aku akan menyiapkan makan siang, melakukan persiapan
sound check untuk panggung, dan...”
“tunggu...” sela Juri mendekati
Yoriko. “aku pernah bertemu denganmu sebelumnya.”
“kau yakin? Kau bisa saja salah
orang, karena banyak orang di kota ini yang berdandan seperti aku...” jawab
Yoriko tanpa mengalihkan perhatiannya sedikit pun dari buku catatannya.
“tentu saja aku yakin. Walaupun
banyak orang yang berdandan sepertimu, tapi hanya kau yang paling kuingat.”
Juri menyentuh dagu Yoriko dengan jemarinya dan mengangkatnya pelan. “karena
kita pernah bertemu beberapa hari lalu...”
Yoriko terhenti saat orang itu
menyentuh wajahnya. Baru pertama kali seseorang menyentuh wajahnya secara
lembut seperti ini. Ketika ia mengangkat kepalanya, ia nyaris menjatuhkan
pulpennya saat dia melihat wajah orang itu di depannya. Mulutnya menganga dan
mata sipitnya langsung berubah bulat. Terbata-bata sekaligus terkejut, Yoriko
berkata, “k...kau... kau yang ada di restoran steak tempo hari...”
Tidak hanya Yoriko yang terkejut
pada sosok pria misterius yang berhasil membuatnya mengagumi pria itu dalam
waktu singkat dan mereka kembali bertemu di tempat yang sangat tidak terduga
ini, kelima personel Alice Nine juga turut menjatuhkan rahang mereka.
“kalian... saling kenal?” Tora
melihat Juri dan Yoriko satu per satu. “kenapa bisa...?”
“tidak juga. Kami hanya pernah
bertemu di sebuah restoran tempo hari. Waktu itu aku berkata padanya kami pasti
akan bertemu lagi, dan ternyata itu benar.” Juri memandang Yoriko yang masih
belum bisa menghilangkan rasa kagetnya. “aku Juri Kohara, sepupu Shou yang
menyebalkan, salam kenal.”
“ngg... aku Yoriko Ishihara...
asisten bandnya Shou yang aneh, senang bertemu denganmu lagi.” Jawab Yoriko
kikuk.
Sementara Yoriko dan Juri saling
berkenalan, para anggota Alice Nine sibuk berbisik-bisik tentang kedua orang
itu.
“menurutku mereka cocok juga,
ya. Maksudku, mereka kan... sama-sama aneh.” Bisik Hiroto di telinga Saga.
“tapi bukan aneh yang buruk, melainkan aneh yang...”
Nao ikut turun dari drum setnya
dan bergabung bersama yang lain. “kalian benar. Mereka kan sama-sama pernah
tinggal di Inggris, pasti mereka bisa dengan mudah cocok.”
“tentu saja mereka cocok. Mereka
berdua adalah orang yang dibenci oleh Shou sejak pertama kali mereka muncul.”
Tora menimpali dan melirik jahil Shou yang wajahnya menggeram sempurna.
“nampaknya, kalau mereka mau, mereka bisa menjalin kisah cinta yang akan
berakhir sangat sempurna.”
“aku tidak tahu apa tujuanmu
menggodaku, Tora...” Shou menggeram. “aku benar-benar tidak tahu.”
“kebetulan sekali mereka bisa
bertemu disini. Kudengar mereka pernah bertemu di sebuah restoran steak. Terserah
kalian mau percaya atau tidak, ini pasti takdir. Ya, tidak diragukan lagi,
mereka pasti cocok.” Saga mendukung ucapan teman-temannya.
Kedua telinga Shou mulai panas
mendengar komentar teman-temannya mengenai pasangan aneh itu. Tetapi dia tidak
bisa menahan diri untuk tidak berpaling dari mereka yang masih asyik mengobrol
di depan pintu. Mereka terlihat seperti sepasang sahabat lama yang sudah tidak
bertemu bertahun-tahun.
Samar-samar Shou mendengar apa
yang dikatakan Juri kepada Yoriko, yang kemudian membuat Yoriko tertawa pelan
saat mendengarnya. Dari gestur dan bahasa tubuh mereka, sepertinya tidak ada
kecanggungan. Baru pertama kali ini Shou melihat Yoriko berbicara dan tertawa
lepas, bahkan Shou saja yang lebih lama mengenal Yoriko belum pernah mendapat
perlakuan seperti itu.
Saat ia melihat senyuman tulus
yang ditujukan kepada Juri, Shou baru menyadari Yoriko sebenarnya cantik. Cantik
sebagai dirinya sendiri.
“apa!? Kau pasti bercanda,
Yoriko-san!” dan baru pertama kali ini Shou melihat Juri berteriak penuh
kegirangan.
“kalau kau tidak percaya, tidak
masalah. Aku bisa memperlihatkanmu naskah-naskah mentah yang belum dan yang
pernah kupublikasikan di internet.” Yoriko membalas Juri dengan senyuman
bangga.
“ada apa, Juri-san?” tanya Tora
ingin tahu. “kenapa kau tiba-tiba berteriak tadi?”
“kalian tidak tahu?” Juri
menengok ke arah mereka dengan tatapan tidak percaya. “kalian tidak tahu siapa
Yoriko Izanami?”
Kelima orang di depan Juri
menggelengkan kepala dalam waktu serentak.
“mereka tidak tahu soal itu,
Juri-san...” Yoriko berbisik di samping Juri.
“memangnya siapa Yoriko
Izanami?” sahut Tora.
“well, dia seorang penulis cerita fiksi di internet, karyanya cukup
terkenal dan aku salah satu penggemar tulisannya. Aku bahkan sedikit meniru
gaya tulisannya di beberapa cerita fiksiku. Aku sungguh tidak menyangka akan
bertemu pengarang hebat itu secara langsung.” Juri menunjuk Yoriko. “seharusnya
kalian merasa beruntung!”
Ucapan Juri dibalas oleh
keheningan dari kelima personel. Juri dan Yoriko paham, mereka pasti jarang
menghabiskan waktu di internet hanya untuk membaca cerita yang panjang dan
berat. Tetapi ada sesuatu di mata mereka yang menyiratkan kekaguman mereka pada
Yoriko yang baru mereka ketahui ia penulis terkenal di internet tetapi dia
masih tetap bersikap sederhana di dunia nyata.
Kecuali Shou yang rasa
keheranannya dicampur oleh kekesalannya yang memuncak. Mengetahui sepupunya
ternyata memiliki kemampuan menulis juga, nyalinya semakin menciut saja.