Thursday, October 24, 2013

Enough

As much as I wanna be myself
It’ll never be enough
Like a star that has no constellation
A sun that covered with clouds

A nice dress that has a tear
A beautiful shoe with no one fits to wear
A crown jewelry covered with mud
A polished button that doesn’t fit with any suits

A delicate fairy with no wings
A fierce dragon with no fire breaths
A wonderful rose with no petals
A dangerous mermaid with no voice

A sweet candy without sugar
A spicy pepper rice without pepper
A fluffy pancake without maple sauce
A crispy fish finger without custard

A divine yet unfinished sentence
A missing verse on a poem

I’ll never be enough

Sunday, October 20, 2013

The Delusion (21)

21

Sudah berselang 3 hari sejak pertengkarannya dengan Yoriko pada malam menyedihkan itu. Tidak sepatah kata pun terucap dari salah satu mereka baik secara langsung maupun tidak. Shou berusaha untuk tidak memikirkan apa yang telah dilakukannya pada malam itu sehingga ia membuat pemikirannya sendiri. Selama 3 hari ini meski ia selalu menyangkalnya pada dirinya sendiri ia tidak bisa berhenti memikirkan Yoriko dan rasa bersalahnya kepada gadis itu.

Bagaimana jadinya kalau Yoriko sesungguhnya tidak bersalah? Bagaimana jadinya jika Yoriko benar-benar memiliki penjelasan atau sesuatu yang harus dikatakannya pada malam itu dan Shou tidak memberikannya kesempatan? Apa sesungguhnya yang ingin dikatakan Yoriko pada malam itu?

Shou mengurung diri di apartemennya selama 3 hari ini, bermain bersama Chirori yang sepertinya semakin merindukan keberadaan gadis unik itu, menonton film-film yang tidak pernah Shou tonton sampai habis karena tertidur di tengah malam, sampai mencoba untuk menulis lagu baru dan menatap kosong handphonenya, mengharapkan e-mail atau telepon dari Yoriko tanpa sadar.

Ia merasa resah dan gelisah karena rasa bersalahnya itu selalu ia tutupi dengan penyangkalan itu. Ia merasa tersakiti oleh Yoriko yang mengundangnya ke acara yang Yoriko tahu pasti akan melukai hati Shou, dan tentunya Shou berhak untuk marah bukan?

Pagi itu ia terjaga dari tidurnya yang tidak nyenyak, ketika ia menerima e-mail dari Nao yang menyuruhnya datang ke studio tempat mereka berkumpul seperti biasa. Dengan terpaksa ia berpakaian rapi dan mengambil kunci mobilnya.

Suasana studio tampak lengang dan hanya ada beberapa orang karena Alice Nine sedang libur. Tetapi ketika Shou memasuki ruang berkumpul, ia melihat keempat teman bandnya duduk di sofa, dengan wajah murung dan tidak bersemangat.

Melihat kesuraman di wajah teman-temannya yang selalu ceria dan optimis, Shou tahu ada sesuatu yang sangat salah. “Ada apa, teman-teman?”

Serentak mereka menghela napas lesu dalam waktu bersamaan. Shou mendekati mereka dan mendapati selembar surat di tangan Nao. Ia yakin sumber kesedihan mereka berasal dari lembar surat yang sudah kusut karena berkali-kali dibaca itu. Tanpa perlawanan Shou mengambil surat itu dari tangan Nao dan membacanya dengan seksama.

Begitu ia selesai membaca, Shou langsung merasa tidak percaya dengan apa yang tertulis di surat itu. Ia melakukan hal sama yang dilakukan teman-temannya beberapa saat lalu, membaca ulang surat itu berkali-kali, memastikan isi surat itu bukanlah candaan belaka. Namun pada akhirnya Shou harus menerima bahwa surat itu menyiratkan kesedihan yang sangat mendalam, serta kata-katanya yang singkat namun jujur itu seakan telah mengisap habis seluruh semangat mereka.

“Kenapa ia berhenti, Shou?” beberapa menit kemudian Nao pun berbicara. Suaranya bergetar seolah ia sedang menahan tangis, dan Nao bukanlah orang yang mudah menangis. “Kau tahu alasannya?”

Ingin sekali Shou menjawab sesuatu yang menghibur dan berkata semua ini pasti hanya lelucon demi temannya agar tidak menangis.

“Apakah kita melakukan kesalahan padanya?” imbuh Saga pelan dan merasa bersalah. “Maksudku, aku pernah mengambil bekal makan siangnya tempo hari, tapi itu bukan masalahnya, kan?”

“Apa yang bisa kita bisa lakukan tanpanya?” tanya Hiroto. “Dia datang dan memberikan arti bagi hidup kita lalu pergi begitu saja?”

“Shou, kau tahu soal ini?” Tora bertanya dan kini seluruh mata tertuju pada Shou. Mereka menginginkan jawaban. “Tidak mungkin secara mendadak Yoriko mengirimkan surat pengunduran diri seperti ini.”

Shou tidak mampu berkata apapun. Ia hanya terpaku di tempatnya berdiri, tidak sanggup membalas tatapan mereka. Ia tidak mengira seluruh ucapannya malam itu telah berpengaruh sejauh ini. Separah itukah ia menyakiti Yoriko sampai gadis itu memutuskan untuk tidak lagi bertemu dengan dirinya dan teman-temannya?

“Lebih baik kau jawab sekarang karena aku tahu ini pasti ada hubungannya denganmu.” Nao berdiri dan mencengkram kerah Shou dengan kencang. Bukanlah amarah atau emosi yang tersirat di mata Nao, melainkan kesedihan dan ingin mencari jawaban dari temannya yang mematung. “Jawab!!”

Tora berdiri untuk memisahkan mereka berdua. “Tenanglah, Nao. Dia juga sama terkejutnya seperti kita semua.”

“Tidak bisa begitu, Tora. Selama 4 tahun ini kita semua memaklumi dirinya, kita semua berusaha mendekati dan memahaminya, tetapi ia selalu egois sampai Yoriko tidak ingin bertemu dengan kita lagi! Benar begitu, Shou!? Jawab!” seru Nao tidak tertahankan lagi, setitik air mata mengalir dari mata pria yang selalu berseri-seri itu.

“Apa yang kau tahu, Shou? Lebih baik ceritakan pada kami.” Bujuk Tora dengan tenang.

“Tidak semuanya salahku, kau tahu...” ujar Shou lirih. Ia lalu menceritakan kejadian yang memilukan pada malam itu. Segalanya terjadi dengan sangat cepat, meski begitu masih terngiang di benak Shou suara Yoriko yang memanggilnya, gadis yang terengah-engah karena berlari mengejarnya, yang kemudian Shou hancurkan perasaannya dengan segelintir kata yang baru ia sadari sangat menyakitkan. Ia tahu gadis itu masih berdiri disana dan menangis ketika Shou terus berjalan meninggalkannya, tetapi satu hal lagi yang ia telah sadari, apa yang dilakukannya telah berakhir menjadi ucapan selamat tinggal yang tak terucap.

Keempat temannya hanya bisa tertunduk lesu. Kesal, kecewa, dan rasa sedih bercampur aduk setelah Shou menyelesaikan ceritanya. Nasi telah menjadi bubur, mereka tahu Yoriko tidak akan memaafkannya.

“Hanya karena ini dia memutuskan untuk pergi? Kenapa?” Shou masih belum mengerti.

“Kau tidak tahu, ya?” Nao menyahut dengan kasar. “Kurasa karena kau terlalu memikirkan dirimu sendiri kau jadi tidak tahu.”

“Maksudmu?”

“Selama ini Yoriko bisa bertahan dari caci makimu, dari sikap dinginmu, ia sudah terbiasa dengan sikapmu yang tidak pernah menganggapnya ada. Namun saat kau mengucapkan kata-kata itu dengan penuh kebencian dan kemudian tiba-tiba ia memutuskan untuk pergi, kau tidak tahu alasannya?” Nao hampir saja menarik kerah Shou lagi untuk ketidak tahuannya.

“Apa, Nao? Apa maksudmu?” Shou juga menginginkan jawaban.

“Alasannya adalah, Yoriko mulai mencintaimu. Aku tidak tahu bagaimana bisa, tetapi begitulah kenyataannya.” Jawab Tora.

Mendengar itu Shou malah tertawa seolah itu adalah hal yang lucu. “Mana mungkin. Kalian tidak pernah mendengar langsung darinya, bukan?”

“Masa kau tidak menyadarinya? Perubahan sikapnya padamu, setiap perhatiannya yang tersembunyi, dan tanpa diberitahu aku bisa melihatnya sendiri, dari caranya melihat dirimu.” Kata Tora.

“Itu tidak mungkin! Dia pasti berhenti karena aku sudah mengetahui kedoknya? Masa kau juga tidak tahu dia sudah mengambil alih perhatian kalian dan berlagak polos di depan kalian?” Shou terus-menerus menyangkal.

“Aku menawarinya pekerjaan karena aku tahu dia bukan orang yang seperti itu, Shou.” Kata Tora sinis. “Aku juga tidak paham mengapa ia bisa mencintai orang seperti kau.”

“Lihat? Kau benar! Yoriko tidak mungkin mencintaiku! Kalian semua tahu dia menyukai Juri, bukan? Ada kemungkinan dia mendekatiku karena ingin mendapatkan sepupuku itu!” kata Shou tetap tidak merasa bersalah.

“Lebih baik ia mencintai Juri daripada kau, Shou. Lagipula tanpamu mereka sudah bisa bersatu.” Timpal Hiroto tidak kalah sinis.

“Tunggu, kalian menyalahkanku?” tanya Shou.

“Ya, karena kau menyakiti orang yang mencintaimu. Kau terlalu egois.” Jawab Tora. “Lebih baik kau cepat meminta maaf padanya sebelum terlambat.”

Shou menatap Tora dalam-dalam, meminta petunjuk. “Kenapa?”

“Karena sebelum semuanya terlambat, kau pun juga harus sadar...” Tora menarik napasnya dalam-dalam dan menyelesaikan kata-katanya. “Kau juga mencintainya...”

*** 

Tahu Yoriko mematikan handphonenya sehingga Shou dan teman-temannya tidak bisa menghubungi gadis itu, Shou memutuskan pergi ke petshop agar ia bisa menemui Yoriko. Shou tidak tahu bagaimana reaksi dan sikap Yoriko terhadapnya nanti, ia juga tidak tahu apakah Yoriko mau memaafkannya atau tidak, yang terpenting ia harus menemui gadis itu.

Ketika petshop itu sudah ada di depan mata, Shou teringat saat-saat dulu dimana ia setiap hari melintasi pintu masuk itu dan bekerja seperti orang biasa. Dia tidak berpikir pertemanannya dengan Avaron dan Aya akan membawanya sejauh ini. Shou juga ingat dulu dia bukan orang yang menyebalkan. Yah, meski menyebalkan tetapi dia tidak pernah menyakiti orang lain seperti sekarang, bukan?

Shou tidak langsung membuka pintu masuk. Ia mengintip ke dalam, mencari tahu apakah gadis yang dicarinya ada di dalam dalam keadaan baik-baik saja. Yoriko bukanlah gadis pendendam, dia akan melupakan kejadian yang lalu dan terlihat ceria seperti biasanya. Shou membayangkan Yoriko akan menertawakannya atas kata-kata konyolnya 3 hari lalu dan memaafkannya.

Tetapi ketika Shou membaca lagi surat yang ditulis dengan penuh keputus asaan itu, Shou terpaksa menelan kenyataan bahwa itu tidak mungkin. Ia bahkan merasa tidak pantas menemui gadis itu. Namun ia tetap membuka pintu itu juga, mencoba untuk mengutarakan permintaan maafnya.

Shou hanya mendapati Aya berdiri di balik meja kasir saat ia memasuki petshop. Petshop ini terlihat lengang. Gadis itu menyambutnya dengan wajah penuh kekesalan. Shou tahu betul sahabatnya hampir tidak pernah menampakkan ekspresi itu di wajahnya yang selalu ceria. Ini pasti karena Yoriko juga.

“Selamat datang.” Aya berkata dengan dingin, seolah ia tidak pernah mengenal Shou.

“Aya...” Shou hanya bisa berkata lirih ketika mendapat sambutan itu. Sedikit pun Aya tidak mau membalas tatapan Shou ketika ia telah berada di depannya. “Aku tahu kau...”

“Berani sekali kau datang kemari.” Potong Aya ketus. “Kau punya nyali juga ternyata.”

“Aku datang kesini untuk meminta maaf.” Shou berujar.

Mendengar itu Aya tertawa sinis selama beberapa saat. “Apa? Baru sekarang kau meminta maaf? Membutuhkan waktu selama itu untuk menurunkan gengsimu, Shou?”

Shou tidak menjawab apapun. Gantinya ia memberikan surat dari Yoriko yang sudah kusut itu. Ketika Aya membacanya, reaksinya sama seperti Shou saat ia pertama kali membacanya.

“Itu karena ucapanku kepadanya tempo hari, Aya. Dia menarik dirinya karena aku.” Shou mengaku. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa bersalahnya lagi. “Untuk itu aku ingin meminta maaf kepadanya. Apa dia ada disini?”

Aya juga tidak menjawab. Sambil menghela napas sedih ia menaruh surat itu di antara mereka. “Aku tidak bertemu dengan Yoriko lagi sejak kejadian itu. Dia sangat terpukul pada malam itu, Shou.”

Shou pun mengetahui Yoriko tidak berhenti menangis ketika ia meninggalkannya. Gadis itu seperti mayat hidup, tatapan matanya kosong seolah ia pergi entah kemana. Tubuhnya seakan tidak memiliki aura kehidupan lagi. Matanya sembap dan ia terus menggigit bibirnya sampai berdarah.

Shou hampir tidak percaya mendengarnya. Gadis seperti Yoriko... mengapa?

“Kalau tidak salah dia ingin berbicara sesuatu denganku. Aku terlalu marah sampai tidak menanyakan itu. Menurutmu apa yang ingin dia bicarakan?” tanya Shou.

Lagi-lagi Aya tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sedih dan meremas tangannya. Dari situ Shou tahu gadis itu sedang menahan tangisnya.

“Dia...” Aya terbata-bata. “Yoriko, dia ingin menyatakan perasaannya padamu. Dia berhak marah padaku karena aku mengatakan ini padamu, tapi kau harus tahu, Shou. Dia mencintaimu.”

Shou kembali terpaku. Itu sebabnya Yoriko begitu terpukul sampai ia tidak mau menemuinya lagi. Shou telah menghancurkan perasaannya.

“Kenapa, Shou?” mata Aya mulai berkaca-kaca. “Kenapa kau tidak mau merendahkan egomu dan mendengarkan orang lain sedikit saja? Dia begitu antusias malam itu, sampai ia menuliskannya di novel karangannya dengan harapan kau mau menerimanya.”

“Dia mencintaiku?” butuh beberapa lama bagi Shou untuk mencerna seluruh cerita Aya. Dia masih berpikir telinganya salah mendengar ketika Aya berkata Yoriko mencintainya.

“Ini salahku. Seharusnya aku tidak mendorongnya cepat-cepat menyatakan perasaannya padamu. Seharusnya aku juga sadar bagaimana dirimu yang sekarang.” Kata Aya resah. “Sekarang Yoriko menutup dirinya rapat-rapat untuk dunia.”

Semakin banyak Aya bercerita bagaimana terpuruknya Yoriko karena dirinya, Shou semakin ciut untuk menemukan gadis itu lagi. Permintaan maaf tidak akan menghapus segala kesalahan yang telah dilakukannya. Terlebih lagi ketika ia baru mengetahui Yoriko selama ini mencintainya. Ingin rasanya Shou menangis disaat itu juga.

Mengapa? Mengapa ia terlambat menyadarinya?

Lalu ketika Aya juga bercerita alasan mengapa Yoriko diminta oleh Aya dan Avaron mengundang Shou pada malam itu karena mereka juga ingin mempererat persahabatan mereka lagi yang telah lama merenggang. Bagi Aya, ini semua tidak sepenuhnya kesalahan Shou, tetapi mereka juga.

Aya mengingatkan Shou bahwa kehadiran Yoriko seperti pemersatu mereka semua. Tanpa Yoriko, Shou tidak akan menginjakkan kakinya ke petshop ini dan berbicara dengan Aya setelah sekian lamanya. Begitu pun hubungan Shou dengan Avaron yang mulai membaik meski Shou masih terus menipu diri. Tanpa Yoriko juga, hubungan persaudaraan Shou dan Juri tidak akan pernah akur.

Disaat itulah Aya keluar dari meja kasir dan memeluk Shou erat-erat, seakan mereka adalah sahabat yang terpisah oleh jarak yang sangat jauh dan baru bertemu sekarang. Shou juga hampir tidak sanggup menahan rasa harunya dan berkali-kali meminta maaf kepada Aya, sahabat lamanya yang tidak akan pernah lupa siapa diri Shou yang sebenarnya.

“Sekarang aku adalah seorang yang egois dan berhati dingin, Aya. Mengapa gadis baik itu bisa mencintaiku?” tanya Shou lirih.

Aya tertawa pelan mendengar pertanyaan Shou yang polos itu. Ia melepas pelukan mereka dan menjawab, “Kurasa dia sudah mengenal siapa dirimu yang dulu, jauh sebelum kalian bertemu.”

“Maksudmu?”

Aya pun menyebut kalau Yoriko sedang menulis novel dan ia memberitahu Shou sebuah nama. “Kau familiar dengan nama Spencer Williams?”

Samar-samar Shou teringat nama itu, tetapi ia lupa pernah mendengarnya dimana. Ia menggeleng dengan ragu sebagai jawaban.

“Percaya atau tidak, saat Yoriko pertama kali melihatmu, kau mengingatkannya pada tokoh ciptaannya sendiri, Spencer Williams. Benar-benar mirip secara fisik sesuai gambar yang dibuatnya dan sama brengseknya seperti di cerita karangan Yoriko itu.” Aya menjawab dengan sedikit candaan.

Shou terperangah dan kembali teringat saat pertama kali ia dan Yoriko bertemu. Pantas saja Yoriko memanggil dirinya dengan nama Spencer Williams saat mereka berkenalan.

“Walau di mulut Yoriko selalu menyangkal, tetapi aku tahu di hatinya dia sangat penasaran denganmu. Makanya dia mengambil pekerjaan menjadi asistenmu, tahan dengan segala sikapmu yang mengesalkan, karena ia ingin mengenal siapa dirimu. Begitu ia menemukan jati dirimu dan melihat siapa dirimu sebenarnya, ia langsung mencintaimu.”

Ucapan Tora ada benarnya. Ketika Yoriko sudah mulai bisa keluar dari dunianya untuk menggapai Shou, ia masih terjebak di dalam kotak imajinasinya sendiri, terlalu takut untuk mengintip keluar.

“Walau aku sendiri tidak tahu bagaimana ia bisa melihat siapa dirimu yang sebenarnya.” Aya meneruskan.

Shou langsung tahu bagaimana Yoriko bisa melihatnya. Malam dimana mereka menghabiskan waktu di pohon sakura... Yoriko ternyata jujur atas segalanya yang diceritakan pada Shou. Malam ketika mereka saling memperlihatkan diri mereka yang sebenarnya meski hanya sesaat.

“Apakah sudah terlambat bagiku meminta maaf kepadanya, Aya?” tanya Shou. “Apakah dia mau membuka dirinya lagi kepada kita?”

Aya mendesah sedih. “Mungkin dia membutuhkan waktu. Jika ia tetap mencintaimu ia pasti akan memaafkanmu.”

“Aku meragukannya.” Ujar Shou putus asa. “Bagaimana ia bisa terus mencintai orang yang telah benar-benar menghancurkan dunianya?”

Aya memahami keputus asaan Shou. Dia pasti juga tidak kalah terpukulnya. “Kurasa sekarang kitalah yang harus membawa Yoriko kembali kepada kita. Dan kau tahu, Shou? Selama ini aku selalu menganggap dirimu yang sebenarnya sedang pergi berkelana ke suatu tempat dan aku disini hanya bisa menantinya pulang. Kurasa aku tahu dia pergi kemana...”

“Ya, dia menuntun seorang gadis yang sangat unik kepadaku tetapi dengan bodohnya aku mengabaikannya.” Jawab Shou penuh sesal.

“Kalau begitu, tugasnya telah selesai. Dia sudah kembali. Sekarang giliranmu untuk memperbaikinya.” Aya tersenyum dan kembali memeluk Shou.

*** 

Spencer memberikan sebuah ciuman manis di bibirnya, sebuah ciuman selamat malam yang tidak akan pernah ia lupakan.

Jika ini adalah mimpi, Judy pasti sudah bangun sekarang. Tetapi tidak. Dia masih merasakan sentuhan lembut tangan Spencer di dirinya, yang menarik Judy semakin dekat padanya. Kedua bibir mereka masih melekat dengan sempurna bak potongan puzzle yang cocok, seolah mereka memang ditakdirkan untuk sama lain.

Maka dari itu, dia terus memejamkan matanya.

Judy tidak tahu berapa lama mereka seperti ini. Semenit? Dua menit? Lima menit? Entahlah. Dia terlalu sibuk mengabadikan momen ini di dalam pikirannya. Oh, seandainya dia memiliki ingatan eidetik seperti para jenius yang sering ia tonton di film. Segalanya sempurna sudah.

Namun di dunia ini tidak ada satu pun yang sempurna...

Ketika Judy terpaksa membuka matanya saat ia mendengar suara raungan senjata yang memisahkan mereka berdua. Raungan ganas yang memberikan rasa sakit dengan sangat cepat di tubuh Judy hingga ia tidak merasakannya. Sampai Spencer mendorong tubuhnya yang lemas ke tanah.

Lalu Judy melihat darah yang sangat banyak mengalir di perutnya. Serta wajah Spencer yang dipenuhi kekalutan dan memintanya untuk terus menatap matanya.

Judy tersenyum. Dia tidak akan pernah bosan menatap mata kekasihnya yang seperti zamrud itu. Walaupun rasa sakit itu mulai menjalari seluruh tubuhnya dan memaksa matanya untuk terus menutup, Judy tetap memaksakan dirinya menatap mata teduh itu.

Bagaikan perahu tertambat yang tertarik oleh arus deras, Judy tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Pada akhirnya kegelapan pun memenuhi dirinya lagi. Menyadarkannya bahwa kenyataan akan selalu mendahului mimpi mereka.

 Jika ini adalah kematiannya, Judy akan berterima kasih pada Tuhan. Bukan karena ia mati sebagai seorang agen spesial yang berjuang demi negaranya. Melainkan karena ia mati di dalam pelukan orang yang dicintainya.

Baginya itu adalah sebuah kematian yang sangat istimewa.

 ***

Yoriko terbangun dalam keadaan terengah-engah pada tengah malam itu. Terbangun oleh mimpi yang sama, hantaman timah panas itu terasa nyata, membuat keringat membasahi sekujur tubuhnya.

Mengapa sejak malam itu Yoriko merasa dirinya sangat kacau dan tidak terarah? Saat Shou meninggalkannya, perasaannya sama seperti yang Judy rasakan. Seakan sesuatu mencabut nyawanya, ia merasa kosong.

Untuk sesaat, Yoriko menahan air matanya. Ia menyatukan kedua tangannya dan berdoa agar Tuhan melindunginya dari mimpi buruk. Ia mencari rosario yang selalu berada di sisi futonnya setiap malam. Walaupun Yoriko terpuruk, ia selalu tahu ia tidak akan pernah benar-benar sendirian.

Sambil terjaga di pembaringannya, Yoriko memikirkan mengapa ia terus memimpikan hal buruk itu. Kenapa semua yang ia tulis tentang Judy dan Spencer menguasai hidupnya? Tidak hentinya ia bertanya pada Tuhan apa yang direncanakanNya untuk Yoriko.

Mungkin Ia memberikan jawabannya satu per satu, seperti puzzle yang harus Yoriko satukan. Salah satu potongan itu pun turun, ketika Yoriko mendengar seseorang memanggil namanya di kamarnya yang sunyi.

Yoriko bangkit dan melihat Hitomu duduk di sisi futonnya.

“Hei, Hitomu... ada apa kau datang tengah malam begini?” sapa Yoriko pada sahabatnya yang terlihat pucat itu.

“Yoriko-chan...” bisik Hitomu. “Kau tidak apa-apa?”

“Ya, aku tidak apa-apa.” Yoriko berusaha ceria. “Kau tahulah, hanya mimpi buruk.”

“Akhir-akhir ini kau tidak pergi kemana pun lagi selain ke petshop. Kau ada masalah?” tanya Hitomu khawatir. Yoriko serasa seperti disengat es saat Hitomu menyentuh wajahnya.

“Yah, aku ada sedikit masalah. Tapi aku akan baik-baik saja.” Yoriko tertawa pelan, bersikap seakan dia tidak memiliki masalah besar karena ia lebih memikirkan kemurungan yang terlukis di wajah Hitomu. “Ada apa, Hitomu? Kenapa kau pucat dan murung seperti ini? Kau tidak seperti biasanya...”

“Sebelumnya aku harus memastikan terlebih dulu kau baik-baik saja...” Hitomu berujar. “Karena apa yang akan kubicarakan akan sangat...” mendadak ucapan Hitomu tertahan.

“Sangat apa, Hitomu? Jangan membuatku takut...” Yoriko sadar ada sesuatu yang tidak beres.

“Aku...” Hitomu tidak sanggup membalas tatapan mata Yoriko. Ia membenarkan posisi duduknya dan menarik tangan Yoriko untuk digenggamnya. “Maaf jika ini menyakitkanmu, Yoriko-chan. Tapi aku tidak punya pilihan lain...”

Yoriko tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Hitomu, menantikan apapun hal menyakitkan yang akan diucapkannya.

“Aku harus pergi, Yoriko-chan...”

Untuk sesaat, sekali lagi, sesuatu seperti mencabut nyawanya sekali lagi saat Yoriko mendengarnya. Kata-kata Hitomu yang pelan seakan meluncur seperti peluru yang bersarang tepat di hati Yoriko yang ia pikir sudah tidak ada lagi disana, membuatnya hancur berkeping-keping.

“Pe... pergi? Kemana?” Yoriko kebingungan. Ia harus tahu alasan kenapa Hitomu yang selalu bersamanya tiba-tiba harus pergi.

“Aku tidak bisa memberitahumu.” Jawab Hitomu nyaris tak terdengar. “Aku tidak bisa lagi bersamamu, Yoriko-chan...”

Yoriko jelas tidak bisa menerima alasan itu. Ia berusaha keras menahan amarah dan berkata dengan sengit, “Kau tidak bisa begitu, Hitomu! Teganya kau meninggalkanku disaat aku...” kata-kata Yoriko tertahan oleh air matanya yang mulai mengalir.

Hitomu tidak membalas ucapan Yoriko. Walau Yoriko tahu perasaan Hitomu sama sedihnya, Yoriko tidak sekuat Hitomu dalam menahannya. Pada akhirnya Yoriko terisak. “Kenapa, Hitomu? Kenapa kau harus pergi?”

“Kau tidak membutuhkan aku lagi, Yoriko-chan. Aku ada karena kau membutuhkanku. Aku ada di sisimu untuk membantumu.”

Yoriko terperangah. Bagaimana Hitomu bisa mengatakan itu ketika Yoriko benar-benar sangat membutuhkannya?

“Aku selalu mengamatimu sejak kau menginjakkan kakimu di Jepang. Kau berubah, Yoriko...” Hitomu meneruskan.

“Lantas? Apakah itu sesuatu yang buruk bagimu? Kalau ya, aku bisa merubahnya, Hitomu!” Yoriko rela melakukan apapun untuk mempertahankan pemuda yang merupakan sahabat satu-satunya ini.

“Tidak, Yoriko. Bukan perubahan yang negatif...” jawab Hitomu tetap sabar. “Aku senang melihatmu lebih ceria, lebih terbuka, dan menunjukkan kepada orang lain betapa baiknya dirimu. Sekarang kau tidak malu menunjukkan jati dirimu kepada mereka. Aku sendiri tidak bisa mengukur seberapa senangnya aku karena itu.”

“Lalu, kenapa kau ingin pergi, Hitomu?” tangisan Yoriko semakin keras. “Kau tidak tahu, segala hal yang kulakukan itu ternyata salah. Aku telah menyakiti seseorang karenanya...”

“Ingat, Yoriko-chan. Di balik air yang keruh tersimpan mutiara. Kau harus memperhatikannya lebih baik. Mungkin sekarang segalanya terasa buruk, namun aku yakin kau bisa mengubahnya. Kau gadis terkuat yang pernah kukenal.”

Rasanya sulit menerima nasihat dari seseorang yang harus meninggalkannya tiba-tiba tanpa sebab. Namun Yoriko hanya bisa mengangguk pelan. Hitomu memberikan sapu tangannya untuk mengusap air mata di wajah Yoriko.

“Jangan bersedih, Yoriko-chan...” Hitomu menghiburnya. “Walau aku pergi, aku tidak akan melupakanmu. Kau akan mendapatkan pendamping yang lebih baik.”

Yoriko tertawa sinis. “Mana mungkin...”

“Kau memberikan keyakinan pada Judy ia bisa memperoleh harapan. Kenapa kau tidak?” tanya Hitomu.

“Ya, sebelum dia ditembak oleh pembunuh yang ia tangani kasusnya...” kata Yoriko sarkastik.

Namun Hitomu malah tersenyum lembut. “Kau bisa merubah nasibnya, Yoriko-chan. Hidupnya ada di tanganmu sekarang. Sama seperti nasibmu.”

Mendengarnya Yoriko langsung memeluk Hitomu seerat-eratnya dan menangis di pundak sahabatnya. “Hitomu...”

“Jangan menangis lagi, Yoriko-chan. Kepergianku bukanlah akhir segalanya.” Kata Hitomu seraya membalas pelukan Yoriko.

Yoriko mengangguk pelan di dalam pelukannya. Ia pun bertanya seperti anak kecil, “Maukah kau tinggal sebentar sebelum kau pergi?”

Lalu Yoriko merasakan Hitomu tersenyum kepadanya. “Tentu saja, Yoriko-chan.”

Yoriko tidak melepaskan pelukan itu agar Hitomu tidak bisa pergi. Sepertinya Hitomu memahaminya. Mereka pun terus seperti itu sampai pagi, dimana Yoriko mulai bisa melepaskan kepergian Hitomu untuk selamanya.


Ketika air matanya sudah mengering saat menatap Hitomu yang menghilang di ambang pintu, Yoriko memberikan selamat tinggalnya yang tidak terucap, berharap seluruh pesan yang diberikan Hitomu bisa membuatnya lebih tabah dari sebelumnya.