21
Sudah
berselang 3 hari sejak pertengkarannya dengan Yoriko pada malam menyedihkan
itu. Tidak sepatah kata pun terucap dari salah satu mereka baik secara langsung
maupun tidak. Shou berusaha untuk tidak memikirkan apa yang telah dilakukannya
pada malam itu sehingga ia membuat pemikirannya sendiri. Selama 3 hari ini
meski ia selalu menyangkalnya pada dirinya sendiri ia tidak bisa berhenti
memikirkan Yoriko dan rasa bersalahnya kepada gadis itu.
Bagaimana
jadinya kalau Yoriko sesungguhnya tidak bersalah? Bagaimana jadinya jika Yoriko
benar-benar memiliki penjelasan atau sesuatu yang harus dikatakannya pada malam
itu dan Shou tidak memberikannya kesempatan? Apa sesungguhnya yang ingin
dikatakan Yoriko pada malam itu?
Shou
mengurung diri di apartemennya selama 3 hari ini, bermain bersama Chirori yang
sepertinya semakin merindukan keberadaan gadis unik itu, menonton film-film
yang tidak pernah Shou tonton sampai habis karena tertidur di tengah malam,
sampai mencoba untuk menulis lagu baru dan menatap kosong handphonenya,
mengharapkan e-mail atau telepon dari Yoriko tanpa sadar.
Ia merasa
resah dan gelisah karena rasa bersalahnya itu selalu ia tutupi dengan
penyangkalan itu. Ia merasa tersakiti oleh Yoriko yang mengundangnya ke acara
yang Yoriko tahu pasti akan melukai hati Shou, dan tentunya Shou berhak untuk
marah bukan?
Pagi itu ia
terjaga dari tidurnya yang tidak nyenyak, ketika ia menerima e-mail dari Nao
yang menyuruhnya datang ke studio tempat mereka berkumpul seperti biasa. Dengan
terpaksa ia berpakaian rapi dan mengambil kunci mobilnya.
Suasana
studio tampak lengang dan hanya ada beberapa orang karena Alice Nine sedang
libur. Tetapi ketika Shou memasuki ruang berkumpul, ia melihat keempat teman
bandnya duduk di sofa, dengan wajah murung dan tidak bersemangat.
Melihat
kesuraman di wajah teman-temannya yang selalu ceria dan optimis, Shou tahu ada
sesuatu yang sangat salah. “Ada apa, teman-teman?”
Serentak
mereka menghela napas lesu dalam waktu bersamaan. Shou mendekati mereka dan
mendapati selembar surat di tangan Nao. Ia yakin sumber kesedihan mereka
berasal dari lembar surat yang sudah kusut karena berkali-kali dibaca itu.
Tanpa perlawanan Shou mengambil surat itu dari tangan Nao dan membacanya dengan
seksama.
Begitu ia
selesai membaca, Shou langsung merasa tidak percaya dengan apa yang tertulis di
surat itu. Ia melakukan hal sama yang dilakukan teman-temannya beberapa saat
lalu, membaca ulang surat itu berkali-kali, memastikan isi surat itu bukanlah
candaan belaka. Namun pada akhirnya Shou harus menerima bahwa surat itu
menyiratkan kesedihan yang sangat mendalam, serta kata-katanya yang singkat
namun jujur itu seakan telah mengisap habis seluruh semangat mereka.
“Kenapa ia
berhenti, Shou?” beberapa menit kemudian Nao pun berbicara. Suaranya bergetar
seolah ia sedang menahan tangis, dan Nao bukanlah orang yang mudah menangis.
“Kau tahu alasannya?”
Ingin sekali
Shou menjawab sesuatu yang menghibur dan berkata semua ini pasti hanya lelucon
demi temannya agar tidak menangis.
“Apakah kita
melakukan kesalahan padanya?” imbuh Saga pelan dan merasa bersalah. “Maksudku,
aku pernah mengambil bekal makan siangnya tempo hari, tapi itu bukan
masalahnya, kan?”
“Apa yang
bisa kita bisa lakukan tanpanya?” tanya Hiroto. “Dia datang dan memberikan arti
bagi hidup kita lalu pergi begitu saja?”
“Shou, kau
tahu soal ini?” Tora bertanya dan kini seluruh mata tertuju pada Shou. Mereka
menginginkan jawaban. “Tidak mungkin secara mendadak Yoriko mengirimkan surat
pengunduran diri seperti ini.”
Shou tidak
mampu berkata apapun. Ia hanya terpaku di tempatnya berdiri, tidak sanggup
membalas tatapan mereka. Ia tidak mengira seluruh ucapannya malam itu telah
berpengaruh sejauh ini. Separah itukah ia menyakiti Yoriko sampai gadis itu
memutuskan untuk tidak lagi bertemu dengan dirinya dan teman-temannya?
“Lebih baik
kau jawab sekarang karena aku tahu ini pasti ada hubungannya denganmu.” Nao
berdiri dan mencengkram kerah Shou dengan kencang. Bukanlah amarah atau emosi
yang tersirat di mata Nao, melainkan kesedihan dan ingin mencari jawaban dari
temannya yang mematung. “Jawab!!”
Tora berdiri
untuk memisahkan mereka berdua. “Tenanglah, Nao. Dia juga sama terkejutnya
seperti kita semua.”
“Tidak bisa
begitu, Tora. Selama 4 tahun ini kita semua memaklumi dirinya, kita semua
berusaha mendekati dan memahaminya, tetapi ia selalu egois sampai Yoriko tidak
ingin bertemu dengan kita lagi! Benar begitu, Shou!? Jawab!” seru Nao tidak
tertahankan lagi, setitik air mata mengalir dari mata pria yang selalu
berseri-seri itu.
“Apa yang kau
tahu, Shou? Lebih baik ceritakan pada kami.” Bujuk Tora dengan tenang.
“Tidak
semuanya salahku, kau tahu...” ujar Shou lirih. Ia lalu menceritakan kejadian
yang memilukan pada malam itu. Segalanya terjadi dengan sangat cepat, meski
begitu masih terngiang di benak Shou suara Yoriko yang memanggilnya, gadis yang
terengah-engah karena berlari mengejarnya, yang kemudian Shou hancurkan
perasaannya dengan segelintir kata yang baru ia sadari sangat menyakitkan. Ia
tahu gadis itu masih berdiri disana dan menangis ketika Shou terus berjalan
meninggalkannya, tetapi satu hal lagi yang ia telah sadari, apa yang
dilakukannya telah berakhir menjadi ucapan selamat tinggal yang tak terucap.
Keempat
temannya hanya bisa tertunduk lesu. Kesal, kecewa, dan rasa sedih bercampur aduk
setelah Shou menyelesaikan ceritanya. Nasi telah menjadi bubur, mereka tahu
Yoriko tidak akan memaafkannya.
“Hanya karena
ini dia memutuskan untuk pergi? Kenapa?” Shou masih belum mengerti.
“Kau tidak
tahu, ya?” Nao menyahut dengan kasar. “Kurasa karena kau terlalu memikirkan
dirimu sendiri kau jadi tidak tahu.”
“Maksudmu?”
“Selama ini
Yoriko bisa bertahan dari caci makimu, dari sikap dinginmu, ia sudah terbiasa
dengan sikapmu yang tidak pernah menganggapnya ada. Namun saat kau mengucapkan
kata-kata itu dengan penuh kebencian dan kemudian tiba-tiba ia memutuskan untuk
pergi, kau tidak tahu alasannya?” Nao hampir saja menarik kerah Shou lagi untuk
ketidak tahuannya.
“Apa, Nao?
Apa maksudmu?” Shou juga menginginkan jawaban.
“Alasannya
adalah, Yoriko mulai mencintaimu. Aku tidak tahu bagaimana bisa, tetapi
begitulah kenyataannya.” Jawab Tora.
Mendengar itu
Shou malah tertawa seolah itu adalah hal yang lucu. “Mana mungkin. Kalian tidak
pernah mendengar langsung darinya, bukan?”
“Masa kau
tidak menyadarinya? Perubahan sikapnya padamu, setiap perhatiannya yang
tersembunyi, dan tanpa diberitahu aku bisa melihatnya sendiri, dari caranya
melihat dirimu.” Kata Tora.
“Itu tidak
mungkin! Dia pasti berhenti karena aku sudah mengetahui kedoknya? Masa kau juga
tidak tahu dia sudah mengambil alih perhatian kalian dan berlagak polos di
depan kalian?” Shou terus-menerus menyangkal.
“Aku
menawarinya pekerjaan karena aku tahu dia bukan orang yang seperti itu, Shou.”
Kata Tora sinis. “Aku juga tidak paham mengapa ia bisa mencintai orang seperti
kau.”
“Lihat? Kau
benar! Yoriko tidak mungkin mencintaiku! Kalian semua tahu dia menyukai Juri,
bukan? Ada kemungkinan dia mendekatiku karena ingin mendapatkan sepupuku itu!”
kata Shou tetap tidak merasa bersalah.
“Lebih baik
ia mencintai Juri daripada kau, Shou. Lagipula tanpamu mereka sudah bisa
bersatu.” Timpal Hiroto tidak kalah sinis.
“Tunggu,
kalian menyalahkanku?” tanya Shou.
“Ya, karena
kau menyakiti orang yang mencintaimu. Kau terlalu egois.” Jawab Tora. “Lebih
baik kau cepat meminta maaf padanya sebelum terlambat.”
Shou menatap
Tora dalam-dalam, meminta petunjuk. “Kenapa?”
“Karena
sebelum semuanya terlambat, kau pun juga harus sadar...” Tora menarik napasnya
dalam-dalam dan menyelesaikan kata-katanya. “Kau juga mencintainya...”
***
Tahu Yoriko
mematikan handphonenya sehingga Shou dan teman-temannya tidak bisa menghubungi
gadis itu, Shou memutuskan pergi ke petshop agar ia bisa menemui Yoriko. Shou
tidak tahu bagaimana reaksi dan sikap Yoriko terhadapnya nanti, ia juga tidak
tahu apakah Yoriko mau memaafkannya atau tidak, yang terpenting ia harus
menemui gadis itu.
Ketika petshop
itu sudah ada di depan mata, Shou teringat saat-saat dulu dimana ia setiap hari
melintasi pintu masuk itu dan bekerja seperti orang biasa. Dia tidak berpikir
pertemanannya dengan Avaron dan Aya akan membawanya sejauh ini. Shou juga ingat
dulu dia bukan orang yang menyebalkan. Yah, meski menyebalkan tetapi dia tidak
pernah menyakiti orang lain seperti sekarang, bukan?
Shou tidak
langsung membuka pintu masuk. Ia mengintip ke dalam, mencari tahu apakah gadis
yang dicarinya ada di dalam dalam keadaan baik-baik saja. Yoriko bukanlah gadis
pendendam, dia akan melupakan kejadian yang lalu dan terlihat ceria seperti
biasanya. Shou membayangkan Yoriko akan menertawakannya atas kata-kata
konyolnya 3 hari lalu dan memaafkannya.
Tetapi ketika
Shou membaca lagi surat yang ditulis dengan penuh keputus asaan itu, Shou
terpaksa menelan kenyataan bahwa itu tidak mungkin. Ia bahkan merasa tidak
pantas menemui gadis itu. Namun ia tetap membuka pintu itu juga, mencoba untuk
mengutarakan permintaan maafnya.
Shou hanya
mendapati Aya berdiri di balik meja kasir saat ia memasuki petshop. Petshop ini
terlihat lengang. Gadis itu menyambutnya dengan wajah penuh kekesalan. Shou
tahu betul sahabatnya hampir tidak pernah menampakkan ekspresi itu di wajahnya
yang selalu ceria. Ini pasti karena Yoriko juga.
“Selamat
datang.” Aya berkata dengan dingin, seolah ia tidak pernah mengenal Shou.
“Aya...” Shou
hanya bisa berkata lirih ketika mendapat sambutan itu. Sedikit pun Aya tidak
mau membalas tatapan Shou ketika ia telah berada di depannya. “Aku tahu kau...”
“Berani
sekali kau datang kemari.” Potong Aya ketus. “Kau punya nyali juga ternyata.”
“Aku datang
kesini untuk meminta maaf.” Shou berujar.
Mendengar itu
Aya tertawa sinis selama beberapa saat. “Apa? Baru sekarang kau meminta maaf?
Membutuhkan waktu selama itu untuk menurunkan gengsimu, Shou?”
Shou tidak
menjawab apapun. Gantinya ia memberikan surat dari Yoriko yang sudah kusut itu.
Ketika Aya membacanya, reaksinya sama seperti Shou saat ia pertama kali
membacanya.
“Itu karena
ucapanku kepadanya tempo hari, Aya. Dia menarik dirinya karena aku.” Shou
mengaku. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa bersalahnya lagi. “Untuk itu aku
ingin meminta maaf kepadanya. Apa dia ada disini?”
Aya juga
tidak menjawab. Sambil menghela napas sedih ia menaruh surat itu di antara
mereka. “Aku tidak bertemu dengan Yoriko lagi sejak kejadian itu. Dia sangat
terpukul pada malam itu, Shou.”
Shou pun
mengetahui Yoriko tidak berhenti menangis ketika ia meninggalkannya. Gadis itu
seperti mayat hidup, tatapan matanya kosong seolah ia pergi entah kemana.
Tubuhnya seakan tidak memiliki aura kehidupan lagi. Matanya sembap dan ia terus
menggigit bibirnya sampai berdarah.
Shou hampir
tidak percaya mendengarnya. Gadis seperti Yoriko... mengapa?
“Kalau tidak
salah dia ingin berbicara sesuatu denganku. Aku terlalu marah sampai tidak
menanyakan itu. Menurutmu apa yang ingin dia bicarakan?” tanya Shou.
Lagi-lagi Aya
tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sedih dan meremas tangannya. Dari situ Shou
tahu gadis itu sedang menahan tangisnya.
“Dia...” Aya
terbata-bata. “Yoriko, dia ingin menyatakan perasaannya padamu. Dia berhak
marah padaku karena aku mengatakan ini padamu, tapi kau harus tahu, Shou. Dia
mencintaimu.”
Shou kembali
terpaku. Itu sebabnya Yoriko begitu terpukul sampai ia tidak mau menemuinya
lagi. Shou telah menghancurkan perasaannya.
“Kenapa,
Shou?” mata Aya mulai berkaca-kaca. “Kenapa kau tidak mau merendahkan egomu dan
mendengarkan orang lain sedikit saja? Dia begitu antusias malam itu, sampai ia menuliskannya
di novel karangannya dengan harapan kau mau menerimanya.”
“Dia mencintaiku?”
butuh beberapa lama bagi Shou untuk mencerna seluruh cerita Aya. Dia masih
berpikir telinganya salah mendengar ketika Aya berkata Yoriko mencintainya.
“Ini salahku.
Seharusnya aku tidak mendorongnya cepat-cepat menyatakan perasaannya padamu.
Seharusnya aku juga sadar bagaimana dirimu yang sekarang.” Kata Aya resah.
“Sekarang Yoriko menutup dirinya rapat-rapat untuk dunia.”
Semakin
banyak Aya bercerita bagaimana terpuruknya Yoriko karena dirinya, Shou semakin
ciut untuk menemukan gadis itu lagi. Permintaan maaf tidak akan menghapus
segala kesalahan yang telah dilakukannya. Terlebih lagi ketika ia baru
mengetahui Yoriko selama ini mencintainya. Ingin rasanya Shou menangis disaat
itu juga.
Mengapa?
Mengapa ia terlambat menyadarinya?
Lalu ketika
Aya juga bercerita alasan mengapa Yoriko diminta oleh Aya dan Avaron mengundang
Shou pada malam itu karena mereka juga ingin mempererat persahabatan mereka
lagi yang telah lama merenggang. Bagi Aya, ini semua tidak sepenuhnya kesalahan
Shou, tetapi mereka juga.
Aya
mengingatkan Shou bahwa kehadiran Yoriko seperti pemersatu mereka semua. Tanpa
Yoriko, Shou tidak akan menginjakkan kakinya ke petshop ini dan berbicara
dengan Aya setelah sekian lamanya. Begitu pun hubungan Shou dengan Avaron yang
mulai membaik meski Shou masih terus menipu diri. Tanpa Yoriko juga, hubungan
persaudaraan Shou dan Juri tidak akan pernah akur.
Disaat itulah
Aya keluar dari meja kasir dan memeluk Shou erat-erat, seakan mereka adalah
sahabat yang terpisah oleh jarak yang sangat jauh dan baru bertemu sekarang.
Shou juga hampir tidak sanggup menahan rasa harunya dan berkali-kali meminta
maaf kepada Aya, sahabat lamanya yang tidak akan pernah lupa siapa diri Shou
yang sebenarnya.
“Sekarang aku
adalah seorang yang egois dan berhati dingin, Aya. Mengapa gadis baik itu bisa
mencintaiku?” tanya Shou lirih.
Aya tertawa
pelan mendengar pertanyaan Shou yang polos itu. Ia melepas pelukan mereka dan
menjawab, “Kurasa dia sudah mengenal siapa dirimu yang dulu, jauh sebelum
kalian bertemu.”
“Maksudmu?”
Aya pun
menyebut kalau Yoriko sedang menulis novel dan ia memberitahu Shou sebuah nama.
“Kau familiar dengan nama Spencer Williams?”
Samar-samar
Shou teringat nama itu, tetapi ia lupa pernah mendengarnya dimana. Ia
menggeleng dengan ragu sebagai jawaban.
“Percaya atau
tidak, saat Yoriko pertama kali melihatmu, kau mengingatkannya pada tokoh
ciptaannya sendiri, Spencer Williams. Benar-benar mirip secara fisik sesuai
gambar yang dibuatnya dan sama brengseknya seperti di cerita karangan Yoriko
itu.” Aya menjawab dengan sedikit candaan.
Shou
terperangah dan kembali teringat saat pertama kali ia dan Yoriko bertemu.
Pantas saja Yoriko memanggil dirinya dengan nama Spencer Williams saat mereka
berkenalan.
“Walau di
mulut Yoriko selalu menyangkal, tetapi aku tahu di hatinya dia sangat penasaran
denganmu. Makanya dia mengambil pekerjaan menjadi asistenmu, tahan dengan
segala sikapmu yang mengesalkan, karena ia ingin mengenal siapa dirimu. Begitu
ia menemukan jati dirimu dan melihat siapa dirimu sebenarnya, ia langsung
mencintaimu.”
Ucapan Tora
ada benarnya. Ketika Yoriko sudah mulai bisa keluar dari dunianya untuk
menggapai Shou, ia masih terjebak di dalam kotak imajinasinya sendiri, terlalu
takut untuk mengintip keluar.
“Walau aku
sendiri tidak tahu bagaimana ia bisa melihat siapa dirimu yang sebenarnya.” Aya
meneruskan.
Shou langsung
tahu bagaimana Yoriko bisa melihatnya. Malam dimana mereka menghabiskan waktu
di pohon sakura... Yoriko ternyata jujur atas segalanya yang diceritakan pada Shou.
Malam ketika mereka saling memperlihatkan diri mereka yang sebenarnya meski
hanya sesaat.
“Apakah sudah
terlambat bagiku meminta maaf kepadanya, Aya?” tanya Shou. “Apakah dia mau
membuka dirinya lagi kepada kita?”
Aya mendesah
sedih. “Mungkin dia membutuhkan waktu. Jika ia tetap mencintaimu ia pasti akan
memaafkanmu.”
“Aku
meragukannya.” Ujar Shou putus asa. “Bagaimana ia bisa terus mencintai orang
yang telah benar-benar menghancurkan dunianya?”
Aya memahami
keputus asaan Shou. Dia pasti juga tidak kalah terpukulnya. “Kurasa sekarang
kitalah yang harus membawa Yoriko kembali kepada kita. Dan kau tahu, Shou?
Selama ini aku selalu menganggap dirimu yang sebenarnya sedang pergi berkelana
ke suatu tempat dan aku disini hanya bisa menantinya pulang. Kurasa aku tahu
dia pergi kemana...”
“Ya, dia menuntun
seorang gadis yang sangat unik kepadaku tetapi dengan bodohnya aku
mengabaikannya.” Jawab Shou penuh sesal.
“Kalau begitu,
tugasnya telah selesai. Dia sudah kembali. Sekarang giliranmu untuk memperbaikinya.”
Aya tersenyum dan kembali memeluk Shou.
***
Spencer memberikan sebuah ciuman manis di
bibirnya, sebuah ciuman selamat malam yang tidak akan pernah ia lupakan.
Jika ini adalah mimpi, Judy pasti sudah
bangun sekarang. Tetapi tidak. Dia masih merasakan sentuhan lembut tangan
Spencer di dirinya, yang menarik Judy semakin dekat padanya. Kedua bibir mereka
masih melekat dengan sempurna bak potongan puzzle yang cocok, seolah mereka
memang ditakdirkan untuk sama lain.
Maka dari itu, dia terus memejamkan matanya.
Judy tidak tahu berapa lama mereka seperti
ini. Semenit? Dua menit? Lima menit? Entahlah. Dia terlalu sibuk mengabadikan
momen ini di dalam pikirannya. Oh, seandainya dia memiliki ingatan eidetik
seperti para jenius yang sering ia tonton di film. Segalanya sempurna sudah.
Namun di dunia ini tidak ada satu pun yang
sempurna...
Ketika Judy terpaksa membuka matanya saat ia
mendengar suara raungan senjata yang memisahkan mereka berdua. Raungan ganas
yang memberikan rasa sakit dengan sangat cepat di tubuh Judy hingga ia tidak
merasakannya. Sampai Spencer mendorong tubuhnya yang lemas ke tanah.
Lalu Judy melihat darah yang sangat banyak
mengalir di perutnya. Serta wajah Spencer yang dipenuhi kekalutan dan
memintanya untuk terus menatap matanya.
Judy tersenyum. Dia tidak akan pernah bosan
menatap mata kekasihnya yang seperti zamrud itu. Walaupun rasa sakit itu mulai
menjalari seluruh tubuhnya dan memaksa matanya untuk terus menutup, Judy tetap
memaksakan dirinya menatap mata teduh itu.
Bagaikan perahu tertambat yang tertarik oleh
arus deras, Judy tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Pada akhirnya kegelapan
pun memenuhi dirinya lagi. Menyadarkannya bahwa kenyataan akan selalu
mendahului mimpi mereka.
Jika
ini adalah kematiannya, Judy akan berterima kasih pada Tuhan. Bukan karena ia
mati sebagai seorang agen spesial yang berjuang demi negaranya. Melainkan
karena ia mati di dalam pelukan orang yang dicintainya.
Baginya itu adalah sebuah kematian yang
sangat istimewa.
***
Yoriko
terbangun dalam keadaan terengah-engah pada tengah malam itu. Terbangun oleh
mimpi yang sama, hantaman timah panas itu terasa nyata, membuat keringat
membasahi sekujur tubuhnya.
Mengapa sejak
malam itu Yoriko merasa dirinya sangat kacau dan tidak terarah? Saat Shou meninggalkannya,
perasaannya sama seperti yang Judy rasakan. Seakan sesuatu mencabut nyawanya,
ia merasa kosong.
Untuk sesaat,
Yoriko menahan air matanya. Ia menyatukan kedua tangannya dan berdoa agar Tuhan
melindunginya dari mimpi buruk. Ia mencari rosario yang selalu berada di sisi
futonnya setiap malam. Walaupun Yoriko terpuruk, ia selalu tahu ia tidak akan
pernah benar-benar sendirian.
Sambil
terjaga di pembaringannya, Yoriko memikirkan mengapa ia terus memimpikan hal
buruk itu. Kenapa semua yang ia tulis tentang Judy dan Spencer menguasai
hidupnya? Tidak hentinya ia bertanya pada Tuhan apa yang direncanakanNya untuk
Yoriko.
Mungkin Ia
memberikan jawabannya satu per satu, seperti puzzle yang harus Yoriko satukan.
Salah satu potongan itu pun turun, ketika Yoriko mendengar seseorang memanggil
namanya di kamarnya yang sunyi.
Yoriko
bangkit dan melihat Hitomu duduk di sisi futonnya.
“Hei,
Hitomu... ada apa kau datang tengah malam begini?” sapa Yoriko pada sahabatnya
yang terlihat pucat itu.
“Yoriko-chan...”
bisik Hitomu. “Kau tidak apa-apa?”
“Ya, aku
tidak apa-apa.” Yoriko berusaha ceria. “Kau tahulah, hanya mimpi buruk.”
“Akhir-akhir
ini kau tidak pergi kemana pun lagi selain ke petshop. Kau ada masalah?” tanya
Hitomu khawatir. Yoriko serasa seperti disengat es saat Hitomu menyentuh
wajahnya.
“Yah, aku ada
sedikit masalah. Tapi aku akan baik-baik saja.” Yoriko tertawa pelan, bersikap
seakan dia tidak memiliki masalah besar karena ia lebih memikirkan kemurungan
yang terlukis di wajah Hitomu. “Ada apa, Hitomu? Kenapa kau pucat dan murung
seperti ini? Kau tidak seperti biasanya...”
“Sebelumnya
aku harus memastikan terlebih dulu kau baik-baik saja...” Hitomu berujar.
“Karena apa yang akan kubicarakan akan sangat...” mendadak ucapan Hitomu tertahan.
“Sangat apa,
Hitomu? Jangan membuatku takut...” Yoriko sadar ada sesuatu yang tidak beres.
“Aku...”
Hitomu tidak sanggup membalas tatapan mata Yoriko. Ia membenarkan posisi
duduknya dan menarik tangan Yoriko untuk digenggamnya. “Maaf jika ini menyakitkanmu,
Yoriko-chan. Tapi aku tidak punya pilihan lain...”
Yoriko tidak
mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Hitomu, menantikan apapun hal
menyakitkan yang akan diucapkannya.
“Aku harus
pergi, Yoriko-chan...”
Untuk sesaat,
sekali lagi, sesuatu seperti mencabut nyawanya sekali lagi saat Yoriko
mendengarnya. Kata-kata Hitomu yang pelan seakan meluncur seperti peluru yang
bersarang tepat di hati Yoriko yang ia pikir sudah tidak ada lagi disana,
membuatnya hancur berkeping-keping.
“Pe... pergi?
Kemana?” Yoriko kebingungan. Ia harus tahu alasan kenapa Hitomu yang selalu
bersamanya tiba-tiba harus pergi.
“Aku tidak
bisa memberitahumu.” Jawab Hitomu nyaris tak terdengar. “Aku tidak bisa lagi
bersamamu, Yoriko-chan...”
Yoriko jelas
tidak bisa menerima alasan itu. Ia berusaha keras menahan amarah dan berkata
dengan sengit, “Kau tidak bisa begitu, Hitomu! Teganya kau meninggalkanku
disaat aku...” kata-kata Yoriko tertahan oleh air matanya yang mulai mengalir.
Hitomu tidak
membalas ucapan Yoriko. Walau Yoriko tahu perasaan Hitomu sama sedihnya, Yoriko
tidak sekuat Hitomu dalam menahannya. Pada akhirnya Yoriko terisak. “Kenapa,
Hitomu? Kenapa kau harus pergi?”
“Kau tidak
membutuhkan aku lagi, Yoriko-chan. Aku ada karena kau membutuhkanku. Aku ada di
sisimu untuk membantumu.”
Yoriko
terperangah. Bagaimana Hitomu bisa mengatakan itu ketika Yoriko benar-benar
sangat membutuhkannya?
“Aku selalu
mengamatimu sejak kau menginjakkan kakimu di Jepang. Kau berubah, Yoriko...”
Hitomu meneruskan.
“Lantas? Apakah
itu sesuatu yang buruk bagimu? Kalau ya, aku bisa merubahnya, Hitomu!” Yoriko
rela melakukan apapun untuk mempertahankan pemuda yang merupakan sahabat
satu-satunya ini.
“Tidak,
Yoriko. Bukan perubahan yang negatif...” jawab Hitomu tetap sabar. “Aku senang
melihatmu lebih ceria, lebih terbuka, dan menunjukkan kepada orang lain betapa
baiknya dirimu. Sekarang kau tidak malu menunjukkan jati dirimu kepada mereka.
Aku sendiri tidak bisa mengukur seberapa senangnya aku karena itu.”
“Lalu, kenapa
kau ingin pergi, Hitomu?” tangisan Yoriko semakin keras. “Kau tidak tahu,
segala hal yang kulakukan itu ternyata salah. Aku telah menyakiti seseorang
karenanya...”
“Ingat,
Yoriko-chan. Di balik air yang keruh tersimpan mutiara. Kau harus
memperhatikannya lebih baik. Mungkin sekarang segalanya terasa buruk, namun aku
yakin kau bisa mengubahnya. Kau gadis terkuat yang pernah kukenal.”
Rasanya sulit
menerima nasihat dari seseorang yang harus meninggalkannya tiba-tiba tanpa
sebab. Namun Yoriko hanya bisa mengangguk pelan. Hitomu memberikan sapu
tangannya untuk mengusap air mata di wajah Yoriko.
“Jangan
bersedih, Yoriko-chan...” Hitomu menghiburnya. “Walau aku pergi, aku tidak akan
melupakanmu. Kau akan mendapatkan pendamping yang lebih baik.”
Yoriko
tertawa sinis. “Mana mungkin...”
“Kau
memberikan keyakinan pada Judy ia bisa memperoleh harapan. Kenapa kau tidak?” tanya
Hitomu.
“Ya, sebelum
dia ditembak oleh pembunuh yang ia tangani kasusnya...” kata Yoriko sarkastik.
Namun Hitomu
malah tersenyum lembut. “Kau bisa merubah nasibnya, Yoriko-chan. Hidupnya ada
di tanganmu sekarang. Sama seperti nasibmu.”
Mendengarnya
Yoriko langsung memeluk Hitomu seerat-eratnya dan menangis di pundak sahabatnya.
“Hitomu...”
“Jangan
menangis lagi, Yoriko-chan. Kepergianku bukanlah akhir segalanya.” Kata Hitomu
seraya membalas pelukan Yoriko.
Yoriko
mengangguk pelan di dalam pelukannya. Ia pun bertanya seperti anak kecil,
“Maukah kau tinggal sebentar sebelum kau pergi?”
Lalu Yoriko
merasakan Hitomu tersenyum kepadanya. “Tentu saja, Yoriko-chan.”
Yoriko tidak
melepaskan pelukan itu agar Hitomu tidak bisa pergi. Sepertinya Hitomu
memahaminya. Mereka pun terus seperti itu sampai pagi, dimana Yoriko mulai bisa
melepaskan kepergian Hitomu untuk selamanya.
Ketika air
matanya sudah mengering saat menatap Hitomu yang menghilang di ambang pintu,
Yoriko memberikan selamat tinggalnya yang tidak terucap, berharap seluruh pesan
yang diberikan Hitomu bisa membuatnya lebih tabah dari sebelumnya.