Monday, December 9, 2013

The Delusion (24)

24

                Tidak terasa berbulan-bulan telah berlalu. Musim semi penuh kenangan manis itu perlahan tergantikan oleh bulan-bulan penuh kekosongan. Dia menyadarinya dari perubahan suasana yang dirasakannya. Ketika bunga dan pepohonan mulai tumbuh, orang-orang menanggalkan mantel tebal mereka, es-es di jalanan mencair, musim flu telah lewat, dan kini tidak terasa olehnya semua itu berganti lagi. Namun tidak lama kemudian, dilihatnya pepohonan mulai meranggas, hawa dingin bertiup kencang mengundang kegalauan, langit pun kelam, orang-orang mulai mengenakan mantelnya lagi. Barulah ia sadar kini ia tengah berada di musim gugur.
                Meskipun hari dan bulan terus berganti, waktu tetap tidak bisa mengikis perasaannya. Walaupun orang silih berganti berusaha mengisi kehidupannya, tidak ada yang mampu mengisi kekosongannya. Berkaleng-kaleng bir ia habiskan namun kesedihannya tidak tertelan bersama minuman keras itu. Dia memisahkan diri dari dunia nyata, seperti orang gila di dalam lubang kesengsaraan. Seperti mesin yang terprogram, dia tetap menjalankan aktifitasnya seperti biasa. Namun satu pun tidak akan ada yang diingatnya saat ia pulang pada tengah malam dan berbaring di ranjangnya.
                Siang ini dia duduk di sofa bersama tabletnya, mencari sesuatu yang tidak jelas di internet. Samar-samar terdengar celotehan teman-teman bandnya tidak jauh darinya. Mereka terlihat bahagia sejauh ini. Baginya itu adalah satu hal yang melegakan.
                “Hei, Shou.” Hiroto melemparkan bantal kecil yang mengenai wajahnya, membuatnya berpaling untuk sesaat.
                “Apa?”
                “Kau ingin memakai kostum apa untuk tahun ini?” tanya Nao.
                “Kostum?” Shou mengerutkan dahi. “Kostum apa?”
                “Kau lupa minggu depan adalah Halloween?” mereka terkejut Shou lupa pada hari menyenangkan itu. “Ayolah, teman! Kau tahu itu salah satu hari kesukaanmu!”
                Halloween? Ya, dia ingat dulu dia sangat antusias pada hari itu. Dia rela menghabiskan uangnya sebanyak apapun demi kostum dan perlengkapannya setiap tahun. Tetapi sekarang, seperti raga yang tak berjiwa, dia tidak bisa sesemangat dulu.
                “Bagaimana kalau pahlawan super adalah tema kita tahun ini?” Tora mengusulkan.
                “Kalau begitu, aku ingin menjadi Spiderman!” Nao mengangkat tangannya tinggi-tinggi seperti anak kecil. Shou tidak bisa menahan senyumnya, Nao memang seperti itu setiap Halloween. Kalau bukan karena keempat temannya, dia bisa saja ikut bersama anak kecil meminta permen dari pintu ke pintu.
                “Aku terpikir untuk menjadi Iron Man, kalau bisa...” Saga menimbang-nimbang. “Thor atau Loki juga boleh...”
                “Menurut kalian kalau aku menjadi Deadpool bagaimana? Aku suka gayanya.” Kata Tora.
                “Kurasa aku ingin menjadi Hawkeye saja.” kata Hiroto.
                Shou diam saja mendengar mereka sibuk mendiskusikan kostum apa yang cocok untuk mereka kenakan selama beberapa lama hingga kelamaan ia ikut tertarik. Jika ia harus mengenakan kostum pahlawan super, dia bisa menjadi Dr. Strange. Tokoh itu sangat mirip dirinya, sombong dan dingin karena kesuksesannya yang sangat besar sebagai seorang dokter ternama namun kehilangan orang-orang yang disayanginya. Dokter itu mendapat kecelakaan dan berusaha keras mencari penyembuhnya sebelum bertemu penyihir yang dulu pernah menyelamatkannya saat dia masih kecil.
                “Dr. Strange? Pilihan yang bagus.” Tora mengangguk setuju. Dia sepertinya juga tahu cerita tentang tokoh itu.
                “Ya, jika kalian memaksaku memakai kostum. Tetapi aku tidak mau menyelenggarakan pestanya seperti dulu.” Shou memberi syarat.
                “Tenang saja. Kau tidak perlu menyelenggarakan pesta karena kita telah diundang.”
                “Ke pesta siapa?”
                Keempat temannya saling bertatapan beberapa lama, tampak ragu. Namun mereka menjawab juga, “Petshop Avaron akan mengadakan pesta halloween. Dia, Aya, dan Yoriko mengundang kita berlima untuk datang.”
                Seketika, sebuah pisau seolah menikamnya dengan tajam dari belakang saat sahabatnya mengingatkannya pada seseorang di petshop yang menjadi sumber kesedihannya. Namun entah mengapa ia tersenyum. Meskipun hatinya terluka, dia selalu tersenyum jika teringat gadis itu. Dia juga teringat Halloween pasti merupakan hari kesukaannya dan penasaran kira-kira gadis itu akan mengenakan kostum apa. Bagaimana kabarnya? Rasanya seperti berabad-abad dia tidak berbicara dengannya lagi. Terakhir kali mereka berbicara, kata-kata yang terlontar darinya hanya menyakiti gadis itu.
                “Tapi jika kau tidak ingin datang, tidak apa. Kami mengerti...” Saga memahami makna keheningan Shou. Namun Tora menyela, “Tidak. Tidak seru jika hanya berempat. Bukan Alice Nine namanya kalau tidak berlima. Dia harus ikut ke pesta itu atau kita tidak datang sama sekali.”
                Shou dapat memahami tuntutan Tora itu. Sahabatnya menginginkan dirinya melepaskan bebannya, menghadapi ketakutannya, dan menyelesaikan masalahnya. Dia malu untuk datang ke sana, dia tidak tahu harus menaruh mukanya di mana begitu ia bertemu gadis itu. Bagaimana jika gadis itu telah ceria dan tiba-tiba luka di hatinya kembali terbuka karena melihatnya.
                “Kau harus menghadapinya, Shou. Berapa lama lagi kau harus mengulur waktu?” desak Tora. “Cepat atau lambat, kalian harus berbicara lagi.”
                Shou mendesah pelan. Tora benar, dia harus bisa mengatasi masalahnya. Bagaimanapun juga, perasaan itu masih ada. Dia merindukan gadis itu, dia harus bertemu dan mendengar suara gadis itu lagi. Lalu dia akan mengakui perasaannya dengan secuil harga dirinya yang tersisa.

*** 

                “Halloween!!! Aku senang sekali Halloween!” seru Aya yang datang dengan membawa sekeranjang besar hiasan Halloween untuk dipajang di toko.
                Yoriko hanya tersenyum melihat keantusiasan sahabatnya jelang Halloween. Dia sedang merangkai satu set kerangka manusia yang telah dimilikinya selama 3 tahun di antara koleksi perlengkapan gotiknya untuk dipajang di jendela toko. Avaron sangat berterima kasih padanya karena dia ahli menghias tokonya menjadi seram dan gotik ini. Yoriko mengambil tema Petshop of Horrors. Suasana petshop akan diubah seperti petshop milik tokoh Count D di anime itu. Dia akan menambah tirai-tirai, memberikan nuansa oriental dan gotik, dia juga akan menghias kandang-kandang hewan dengan ornamen cantik, dan dia akan membakar dupa dengan wewangian seperti yang biasa dilakukan Count D untuk menampakkan wujud sesungguhnya hewan-hewan peliharaannya.
                “Jadi, kau akan menjadi siapa untuk hari H nanti?” tanya Aya sambil mengeluarkan hiasan-hiasan yang dibawanya di atas meja.
                “Kurasa aku akan menjadi Kuchisake Onna.” Jawab Yoriko sehingga Aya langsung berpaling terkejut.
                “Kuchisake Onna? Tidak kusangka!” pasti membutuhkan usaha keras untuk berdandan seperti hantu perempuan bermulut sobek itu. Tetapi ini Yoriko, dia pasti bisa melakukannya dengan baik.
                “Tapi, kali ini, aku akan sedikit kreatif dan membuat latar belakang untuk tokohku.” Kata Yoriko bangga. Dia akan mengenakan kostum pengantin wanita putih dengan kerudung kain layaknya pengantin wanita pada umumnya. Ceritanya, Kuchisake Onna itu dibunuh oleh kekasihnya menjelang hari pernikahan mereka.
                “Kau harus membuat kerudung itu menutupi wajahmu. Orang-orang akan berpikir kau berkostum sebagai seorang pengantin sehingga mereka akan mengira kau cantik, tapi mereka akan langsung terbirit-birit begitu membukanya!” Aya menambahkan usul.
                Yoriko tertawa. Itu sebuah usul yang sangat bagus. Setelah itu, tiba-tiba Aya langsung mendekatinya dengan raut serius. “Sungguh, Yoriko. Dari mana kau mendapat ide seperti itu? Jangan-jangan kau masih...”
                “Tidak, aku sudah membaik, Aya.” Elak Yoriko. “Ini tidak ada hubungannya dengan apapun.”
                “Benarkah? Aku masih khawatir, kau tahu. Kau masih tampak cukup kacau beberapa bulan ini...” tanya Aya prihatin.
                “Aku baik-baik saja, Aya. Tidak ada yang kututupi dan tidak ada yang kusimpan, sungguh.” Yoriko meyakinkannya. Memang benar dia sudah mulai membaik dan kembali menjalani hidupnya, namun dia tidak bisa melupakannya. Dia sudah melapangkan dadanya untuk memaafkan apapun yang diucapkan pria itu padanya tempo hari, tetapi dia masih terus mengingatnya. Terkadang ucapannya itu membangunkannya di tengah malam, terkadang dia juga menangis beberapa saat sebelum kembali tertidur. Masih ada pula beberapa kenangan manis bersama pria itu yang sanggup membuatnya tersenyum. Dia tidak ingin melupakan kenangan baik dan buruk itu, karena hanya kenangan itulah satu-satunya bukti bahwa mereka dulu pernah mengenal satu sama lain.
                “Bagus kalau begitu. Karena aku dan Avaron-san mengundang dia dan teman-temannya ke pesta kita!” seru Aya senang.
                “Apa!?”
                “Lho, kupikir kau sudah membaik...” kata Aya. “Jadi tidak masalah kan kalau dia datang...”
                “Bukan begitu...” Yoriko menjadi panik sendiri. Jika mereka bertemu bagaimana jadinya Yoriko? Akan ditaruh mana mukanya? Orang itu pasti akan jijik melihat wajahnya, apalagi dia akan menjadi Kuchisake Onna nanti!
                “Bagaimanapun juga, Yoriko. Kau harus menghadapinya juga. Tidak ada salahnya kan kalian bertemu untuk sekadar basa-basi? Kalau kau tidak ingin melihatnya, kau bisa menemani tamu lainnya atau membantuku saja. Jangan perlihatkan kelemahanmu di depannya!” Aya meyakinkannya.
                Ucapan Aya ada benarnya. Dia tidak bisa terus lari dari masalahnya. Pada akhirnya akan tiba saatnya dimana dia harus menghadapinya dan mengatasinya. Ini hanya pesta Halloween, tidak ada hal aneh yang akan terjadi, bukan?
                Di samping itu, dia merindukan pria itu. Walaupun dia mendengarkan lagu orang itu berkali-kali karena ingin mendengar suaranya saja, rasanya masih belum cukup. Meskipun dia sering melihat wajahnya terpampang di poster yang menempel di jalanan, dia masih belum puas. Dia ingin pria itu ada di hadapannya, dia ingin merasakan sentuhannya. Tidak masalah pria itu akan mencaci makinya, dia bisa melakukan itu sepuasnya, selama dia bisa mendengar suaranya lagi. Tidak masalah di pesta nanti dia hanya bisa memandangnya dari jauh, selama dia bisa melihatnya lagi. Memastikan dia baik-baik saja dan meneruskan hidupnya seperti yang dia lakukan.

                Lalu dengan secuil keberaniannya yang masih tersisa, dia akan meminta maaf pada pria itu karena telah mengacaukan kehidupannya dengan melakukan hal terburuk yang pernah dia lakukan padanya; mencintainya.

Thursday, November 21, 2013

The Delusion (23)

23

Mendengar kabar dari Juri bahwa ia telah kembali ke Jepang, Shou memutuskan untuk menemui sepupunya itu di tempat kerjanya, di rumah sakit pusat yang letaknya ternyata tidak terlalu jauh dari tempat tinggal Shou. Mengingat dia sedang menganggur di rumah dan dia juga harus membicarakan sesuatu dengan Juri, usai sarapan Shou langsung keluar dari apartemennya. Ia menaiki bis yang akan membawanya ke halte persis di seberang rumah sakit dalam waktu 15 menit.

Sebelum ia berhenti di halte bis, Shou mampir ke toko roti terdekat untuk membeli beberapa potong kue dan roti sebagai buah tangan. Ia tahu betapa sukanya Juri pada kue blackforest yang dibawanya sekarang.

Dalam perjalanan di bis, Shou memikirkan janji yang ia buat kepada Juri sebelum sepupunya itu pergi. Apakah Juri sudah tahu apa yang terjadi selama ia pergi? Apakah ia sudah menemui Yoriko dan mendengar gadis itu bercerita Shou telah menyakitinya?

Jika ya, Juri pasti marah besar padanya. Namun ketika Juri menghubunginya semalam, Juri terdengar baik-baik saja, seolah tidak ada masalah apapun. Bukannya membuatnya lega, Shou malah semakin was-was apakah Juri nanti akan menghakimi atau memarahinya saat mereka bertemu.

Saat ia hanyut di dalam pikirannya, tiba-tiba seseorang mencolek pundaknya. Seorang gadis remaja berseragam sekolah yang duduk di sampingnya. Gadis itu bertanya dengan begitu antusias dan tidak percaya, seakan Shou adalah hantu atau semacamnya. “Apakah kau Shou? Vokalis band Alice Nine?”

Tidak menyangka dan dalam keadaan tidak siap bertemu seorang penggemar pagi ini, Shou menjawab, “Ya, sayangnya begitu...”

Lalu ia mendengar ocehan itu seperti biasanya dari setiap penggemar yang ia temui. Pujian dan sanjungan yang hanya bisa Shou balas dengan senyuman. Ia mendengar sekilas tentang gadis itu datang ke konsernya, dan perasaannya yang takjub karena tidak menyangka ia bisa bertemu dengan idolanya di bis yang biasa membawanya ke sekolah setiap hari. Dan akhirnya... gadis itu mengeluarkan secarik kertas dan pena dan memberikannya Shou untuk sebuah tanda tangan sebagai cindera mata.

Shou tetap berusaha bersikap ramah dengan menorehkan tanda tangannya dan menyerahkannya pada gadis itu. Gadis yang tidak ia ingat namanya itu berkali-kali mengucapkan terima kasih dan memberikan ucapan seperti selamat berjuang dan kapan Shou dan bandnya akan mengeluarkan karya baru lagi.

Lalu sebelum gadis itu turun di halte berikutnya, ia memberikan pertanyaan akhirnya dengan sangat penasaran, “Kenapa anda menaiki bis pagi-pagi seperti ini? Anda ingin pergi kemana?”

Shou kebingungan hendak menjawab apa. Pasti akan sangat rumit dan panjang bila ia memberitahu gadis itu kemana tujuannya. “Ngg... hanya ingin jalan-jalan mencari inspirasi. Aku tidak ingin menaiki mobil karena inspirasiku berasal dari kehidupan sosial dan apa yang kucari itu bisa ditemukan di bis ini...”

Untunglah sang gadis percaya pada jawaban diplomatisnya namun sialnya malah semakin membuat gadis itu semakin kegirangan saja. Shou akhirnya bisa bernapas lega setelah gadis itu turun dari bis. Bangku kosong di sampingnya pun diisi oleh seorang pria tua yang baru memasuki bis dengan tongkat sebagai alat bantunya berjalan.

Pria itu tampak baik dan tidak banyak berbicara seperti gadis sekolah itu. Shou tidak perlu khawatir sekarang.

“Ingin bertemu siapa, anakku?” pria tua itu menyapanya dengan ramah. Entah Shou yang sudah lama tidak berinteraksi dengan dunia luar atau dia memang bukan orang yang ramah hingga ia merasa canggung disapa seperti itu oleh orang asing.

“Sepupuku.” Jawab Shou singkat.

Pria itu tersenyum. “Tidak banyak orang yang mau membeli banyak roti dari toko roti mahal jika bukan untuk orang istimewa.”

Ketika pria tua itu menyebut orang istimewa, Shou langsung teringat pada Yoriko. Shou mungkin juga akan membelikan gadis itu banyak roti dan kue hanya untuk membuat Yoriko tersenyum. Mungkin.

“Dia seorang dokter dan baru pindah dari luar negeri. Jadi... kurasa dia berhak mendapat sambutan yang sedikit istimewa.” Shou mulai terbuka pada pria tua asing di sampingnya itu, tanpa merasa curiga dan terganggu sedikit pun.

“Aah... seorang dokter rupanya.” Pria itu terkekeh. “Aku juga punya anak lelaki yang seorang dokter. Dia memutuskan membuka praktik di luar kota daripada di Tokyo.”

“Wow. Anda pasti bangga memiliki anak seperti itu.” Shou teringat bagaimana ayahnya selalu membandingkan dirinya dengan Juri dulu. Ia ingin tahu apakah ayahnya juga membanggakan Shou seperti yang dilakukan pria tua ini.

“Yah, dia hanya melakukan apa yang dirasa tepat untuk hidupnya, nak. Kulihat kau seusia dengannya, kurasa. Dan sebentar lagi ia akan segera menikah. Bagaimana denganmu?”

Shou menggaruk kepalanya tidak jelas. Pagi ini terasa sangat aneh. Pertama gadis penggemar tadi, sekarang kakek ini. “Ngg... kurasa aku tidak seberuntung putra anda...”

“Kau seorang pemuda tampan, nak.” Ujar pria itu. “Pasti tidak sulit bagimu untuk mendapatkan seorang gadis baik.”

Ya, dia akan mendapatkannya jikalau ia tidak bersikap brengsek dengan membiarkan gadis baik itu pergi begitu saja darinya. Oh Tuhan, alam semesta, atau apapun wujudmu, masih kurangkah Kau memberikan teguran ini dariMu? Shou menjerit di dalam hati.

“Yah, kuharap begitu.” jawab Shou seadanya. Ia berdiri dan berpamitan pada pria tua di sampingnya. “Maaf, sebentar lagi aku sampai. Terima kasih atas semangatnya.”

Pria tua itu melemparkan senyum padanya sebelum Shou turun dari bis. Begitu turun, Shou sekali lagi menarik napas dan menghembuskannya dengan lega beberapa kali. Sungguh, ia tidak akan menaiki bis lagi selama beberapa waktu.

Dari halte, Shou harus berjalan beberapa ratus meter agar mencapai zebra cross untuk menyeberang. Oleh karena itu, ia menyusuri padatnya arus pejalan kaki di trotoar. Sebagai seorang pria yang tingginya di atas rata-rata orang Jepang, Shou tetap merasa pendek dan tertelan oleh arus. Ia tidak akan pernah bisa menyamai langkah orang-orang di sekitarnya. Mereka melangkah secepat waktu berjalan, pakaian dan ekspresi wajah mereka selalu sama, terlihat seperti diburu oleh waktu yang selalu menghantui.

Setelah sekian lama, ia pun merasakan betapa kejamnya kota besar. Baru beberapa menit ia berada di antara lautan manusia ini, ia sadar selama ini ia terbuai oleh kenikmatan semu yang malah membuatnya semakin terhanyut. Kini ia sadar bahwa di jalanan ini, tidak peduli bagaimana penampilannya, gelar, ketenaran, dan lainnya, semua orang disini sama. Semua orang mengejar kehidupan yang lebih baik dengan caranya masing-masing. Shou ingat bagaimana ia melakukannya sebelum mendapatkan ketenaran itu.

Ketika ia berusaha untuk terus berjalan, ia melihat seseorang berjalan di antara kerumunan tepat di depannya. Sosok seorang gadis dengan jubah hitam menutupi tubuhnya, ia berjalan dengan sangat tenang. Seakan ia tidak terpengaruh oleh arus dan tidak diburu oleh waktu seperti yang lain.

Dari jubah hitam yang sangat unik itu, Shou langsung tahu siapa gadis itu dan memanggil namanya, “Yoriko!”

Sekilas gadis itu menoleh ke arahnya dengan wajahnya yang sendu. Senang Yoriko menyadari keberadaannya, Shou langsung berlari untuk meraih gadis itu. Tidak ada yang tahu betapa senangnya ia bisa bertemu gadis itu pagi ini, seolah mentari cerah menyinari hati Shou dan menghangatkannya.

Namun Yoriko tidak sedikit pun membalas senyumannya dan Shou keheranan dibuatnya. Apakah gadis itu masih marah padanya?

Shou berlari semakin cepat dan memotong kerumunan sampai ia hampir tersandung. Tetapi gadis yang dikejarnya seperti berjalan lebih cepat dari langkahnya. Shou terus memanggil namanya berkali-kali meski tidak digubris. Ia melihat Yoriko berbelok menuju zebra cross untuk menyeberang. Tanpa melihat kiri kanan, gadis itu terus berjalan, tidak sedikit pun melihat ada sebuah truk besar melaju dengan sangat cepat ke arahnya.

“Yoriko!!!” seru Shou dari pinggir jalan untuk menyadarkan gadis itu. Namun Yoriko hanya berbalik dan menatapnya tanpa ekspresi tepat di tengah jalan, membiarkan truk itu berjalan semakin dekat dan menghantam dirinya.

Tidak ingin melihat pemandangan mengerikan yang sebentar lagi akan dilihatnya, Shou menutup matanya. Berpikir ia akan mendengar suara klakson dan decitan rem serta hantaman yang sangat menyakitkan, Shou menunggu beberapa lama.

Namun ia tidak mendengar apapun. Perlahan-lahan ia membuka matanya, kerumunan berjalan seperti biasanya seolah tidak terjadi apapun. Seolah hanya Shou yang melihat seorang gadis berwajah sedih berdiri di tengah jalan, menyerahkan hidupnya begitu saja pada maut.

Saat Shou melihat tempat dimana gadis yang dirindukannya tadi berdiri, ia hanya menemukan kekosongan.

Gadis itu tidak pernah berada disana...

*** 

Shou memasuki rumah sakit dalam keadaan kalut dan bingung. Benarkah gadis yang ia lihat di persimpangan jalan barusan adalah Yoriko? Kemana gadis itu pergi? Bagaimana ia bisa menghilang begitu saja dalam sekejap di tengah jalan. Shou terus mengurut dahinya jika semua ini hanyalah bayangan atau ilusinya.

Tetapi Shou menampiknya. Mana mungkin? Gadis itu terlihat sangat nyata, seperti ia bisa disentuh. Jika tidak, mana mungkin gadis itu menoleh padanya saat Shou memanggil namanya?

Lamunannya terusik saat Shou mendengar handphonenya berdering. Ia mendapat e-mail dari Juri bahwa ia menunggu Shou di kafetaria rumah sakit.

Sambil berjalan menuju kafetaria, Shou memperhatikan suasana rumah sakit. Rumah sakit ini sangat besar dan memiliki fasilitas terlengkap di seluruh negeri. Shou takjub dengan usaha keras Juri untuk bisa diterima disini.

Kafetarianya juga luar biasa. Tidak seperti bayangan Shou yang mengira makanan kafetaria pasti sangat tidak mengundang nafsu makan dan menjijikkan, ia melihat daftar menu dan makanan yang tersedia di etalase ternyata membangkitkan selera makan. Seluruh menu juga disajikan dengan baik dan harganya terjangkau.

Shou melihat Juri dengan jas putihnya duduk di salah satu meja, menikmati segelas teh dan beberapa tangkup roti bakar keju. Melihat Juri dari jauh, Shou jadi bertanya-tanya mengapa Yoriko mencintai dirinya yang tidak ada apa-apanya dibanding Juri yang dari sini terlihat begitu sempurna.

“Hei...” Shou duduk di hadapan Juri dan menyapanya.

“Hei...” sahut Juri pelan sambil terus mengunyah makanannya.

“Aku membawa ini.” Shou memberikan bungkus roti yang dibawanya pada Juri.

“Oh... terima kasih. Dengan ini aku tidak perlu lagi membeli makan siang.” Juri menerima bungkusan roti itu dengan wajah berseri-seri.

“Aku mengganggumu?” Shou memastikan kedatangannya tidak mengganggu jadwal praktik Juri.

“Tidak. Jadwal praktikku masih 1 jam lagi.” Jawab Juri. Ia memakan potongan akhir rotinya dan menghabiskan tehnya.

“Oh...” jawab Shou datar.

Juri bisa menangkap Shou sedang gelisah karena sesuatu, terlebih Shou sama sekali tidak tertarik untuk memesan sesuatu dari kafetaria. “Aku masih bertanya-tanya kenapa Shou yang sedang hiatus dan senang bangun siang datang menemuiku sepagi ini.”

“Yah...” Shou tertawa gugup. “Pertama-tama aku ingin mengucapkan selamat datang kembali padamu.”

Juri memberikan tatapan tajam pada Shou agar sepupunya langsung ke inti pembicaraan. “Kau tidak apa-apa, Shou? Kau belum sarapan, ya?”

“Tidak, aku sudah sarapan.” Jawab Shou. “Aku ingin bercerita sesuatu padamu.”

“Silakan.”

Tanpa basa-basi lagi, Shou bercerita tentang keanehan yang ditemuinya tadi. Dari ia bertemu dengan penggemarnya, seorang kakek yang ramah, hingga sosok Yoriko di persimpangan jalan. Walaupun sulit bagi Juri untuk mempercayai cerita Shou, ia tahu Shou berkata jujur.

“Mungkin kau kelelahan.” Juri mengambil kesimpulan yang paling masuk akal. “Atau kau sedang mempunyai banyak pikiran.”

“Kau sudah menemui Yoriko, Juri?” tanya Shou.

“Tentu saja. Tapi kami tidak bertemu lagi sejak seminggu lalu. Dia terlihat sama persis seperti Yoriko yang kau lihat tadi. Kami juga tidak ada janji untuk bertemu hari ini disini. Mungkin kau salah lihat.” Jawab Juri tenang, tidak terpengaruh oleh cerita Shou.

Namun Shou masih bersikeras dan tidak percaya. “Mungkin dia datang tanpa memberitahumu?”

“Tidak, Shou. Aku cukup tahu bagaimana keadaan Yoriko. Dia tidak mungkin keluar dari rumahnya.” Jawab Juri tegas hingga Shou terdiam.

Hening sejenak sebelum Shou berkata pelan, “Kalau begitu... mungkin aku salah melihat?”

“Mungkin kau merindukannya.” Kata Juri santai, tidak peduli Shou dibuat terhenyak oleh ucapannya. Namun sebelum Shou membalasnya, Juri meneruskan. “Kalung itu milik Yoriko, bukan?”

Shou menunduk dan melihat kalung salib di lehernya. Juri ternyata cermat juga untuk menyadari ini milik Yoriko. “Kau tahu darimana?”

“Entah kau yang mendadak jadi religius atau kalung itu memang milik seorang gadis yang kukenal...” Juri bergumam. “Dimana kau menemukannya?”

“Di kamar yang kau gunakan untuk tidur di apartemenku...” jawab Shou.

Juri hanya mengangguk-angguk paham dan mengusap bibirnya dengan tisu. Ia memanggil seorang pelayan untuk membawakannya secangkir teh hangat lagi. “Aku tidak melihat kalung itu saat berkemas.”

Shou memandang Juri penuh rasa ingin tahu. Masih ada satu pertanyaan yang belum terjawab. “Kau tahu... aku sedikit menyinggung dirimu saat aku bertengkar dengan Yoriko tempo hari...”

Juri sekarang memperhatikan Shou dengan seksama. Ia ingin tahu bagaimana sudut pandang Shou tentang masalah ini.

“Aku pikir dia mencintaimu.” Kata Shou. “Tapi itu asumsi yang cukup masuk akal bagiku. Kalian berdua sangat dekat, rukun dan saling memahami. Semua orang pasti mengira kalian adalah pasangan kekasih. Ketika aku mendengar Yoriko selalu membicarakan dirimu, aku menjadi panas. Lalu aku juga ingin tahu apakah kau marah padaku karena aku tidak menepati janjiku padamu untuk menjaganya.”

“Kalau dipikir, aku dan Yoriko memang cocok menjadi pasangan.” Juri sedikit menggoda Shou sampai Shou merasakan jantungnya seperti berhenti. “Kelihatannya kau sudah tahu ia ternyata lebih mencintaimu daripada aku.”

Shou tersenyum masam. Sebenarnya ia sudah bisa melihatnya sejak awal, tetapi ia terlalu angkuh untuk menyadarinya. “Jadi kau tidak mencintainya?”

“Yoriko sudah seperti adik yang tidak pernah kumiliki. Lagipula, tidak ada gadis lain yang bisa menghadapi pria macam kau selain Yoriko.” Jawab Juri enteng. “Saat kau berjanji padaku untuk menjaganya, dari nanar matamu, aku tahu kau ingin menjaganya hanya untuk dirimu sendiri.”

Shou mengerang penuh sesal. “Ya... dan aku mengacaukan semuanya...”

“Sekarang giliran aku bertanya padamu.” nada bicara Juri membuat Shou terfokus padanya. Kali ini Juri tidak ingin mendapat jawaban main-main. “Kenapa kau sangat peduli pada perasaannya?”

“Ini pasti terdengar gila bahkan bagi diriku sendiri. Tapi kurasa...” meski ragu, tersirat rasa terpesona di balik nada bicara Shou. “Aku mencintainya...”

 ***

Sore di hari Minggu itu seperti biasanya Aya hendak keluar dari apartemennya untuk pergi bekerja. Dia menghabiskan jus jeruknya dan mengambil jaket sebelum ia membuka pintu apartemennya.

Namun saat ia membuka pintu, seorang gadis berdiri di depannya, membawa sepotong besar rainbow cake kesukaan Aya dengan wajah memohon.

“Yoriko...” kata Aya. Ia tidak ingat sudah berapa minggu ia tidak melihat sahabatnya yang selalu menghindar darinya dan tahu-tahu muncul di hadapannya dengan wajah tidak berdosa. Sedikit jengkel, Aya bertanya, “Apa yang kau lakukan disini?”

“Aku ingin berbicara denganmu. Kau mau kan?” Yoriko memohon.

“Aku harus bekerja sekarang. Kasihan Avaron-san menjaga petshop sendirian.” Balas Aya ketus. Bukannya dia marah atau benar-benar tidak ingin berbicara pada Yoriko, tetapi ia ingin tahu mengapa Yoriko muncul begitu saja di hadapannya seolah tidak ada apapun yang terjadi.

“Kumohon. Aku berjanji ini tidak akan lama. Aku membawa rainbow cake kesukaanmu. Akan sangat sayang jika kau lewatkan, bukan?” kata Yoriko sambil menyeringai menggoda dan mencondongkan rainbow cake itu ke wajah Aya.

“Hh... baiklah...” Aya pun luluh. Siapa yang tidak menolak jika disogok kue kesukaan? Ia menyuruh Yoriko masuk ke dalam apartemennya.

Yoriko menaruh rainbow cake yang dibawanya di atas meja. Tadinya ia hendak membuka tutup plastik cake itu dan menaruhnya di atas piring, tetapi Aya lebih dulu memintanya berbicara.

Yoriko melihat sahabatnya berdiri di depannya, menyilangkan kedua tangannya di dada dengan wajah serius, mendesaknya untuk segera membicarakan apapun yang hendak Yoriko bicarakan. Yoriko pun dengan kepala tertunduk berkata, “Aku datang kesini untuk meminta maaf...”

Aya diam sejenak sebelum menjawab, “Kenapa tiba-tiba kau meminta maaf?”

“Karena aku mengabaikanmu beberapa minggu ini. Aku tidak menjawab panggilanmu dan menghindar darimu...” kata Yoriko. “Aku tahu kau sahabatku dan memang wajar bagimu untuk peduli, tapi...”

“Kenapa, Yoriko?” Aya menyelanya. “Apa karena kau berpikir aku tidak akan mengerti dengan keadaanmu? Atau karena aku sama bersalahnya seperti yang lain?”

“Tidak, Aya...” Yoriko berujar. “Aku...”

“Kalau begitu, karena apa!?” Aya menyelanya sekali lagi. Kali ini dengan nada tinggi dan dengan mata berkaca-kaca. “Aku benar-benar bingung dengan sikapmu yang sedikit pun tidak membukakan pintu untukku. Aku tahu di dalam sana kau kesepian, sedih, dan membutuhkan teman. Selama ini aku tidak bisa berpikir dengan fokus karena aku selalu memikirkan dirimu! Aku takut selama kau sendirian sesuatu terjadi padamu!”

“Mungkin karena aku terbiasa sendirian.” Jawab Yoriko. “Aku tidak pernah menceritakan masalahku pada orang lain dan menyelesaikan semuanya sendiri. Kurasa itu sudah menjadi kebiasaan...”

“Apa itu berarti kau tidak percaya padaku atau tidak benar-benar menganggapku sahabatmu, Yoriko?” tanya Aya pelan.

“Tidak, Aya. Justru karena kau sahabatku aku tidak ingin kau ikut merasakan rasa sakit yang seperti kurasakan. Serta aku tidak ingin kau melihatku dalam keadaan hancur.”

“Yoriko, sahabat itu selalu ada dalam suka dan duka. Aku tidak peduli keadaanmu hancur atau apa selama aku bisa berada disitu untuk membagi dukamu denganku. Aku tidak peduli jika aku harus memasuki duniamu karena aku sangat ingin memahaminya, Yoriko. Jika orang lain tidak peduli, aku peduli. Aku akan melakukan apa saja agar aku bisa meraihmu, bahkan jika itu termasuk memasuki imajinasimu.” kata Aya dengan emosi yang campur aduk. “Seharusnya kau bangga bisa memiliki imajinasi setinggi itu sehingga kau bisa membangun kerajaanmu sendiri. Tetapi layaknya sebuah kerajaan, pemerintahannya tidak akan berjalan jika pemimpin tidak memiliki bawahan.”

“Aku tahu...” Yoriko tersenyum tipis. Tiba-tiba ia mulai menitikkan air mata. “Karena itu aku sangat bahagia mendengar ucapanmu barusan. Kau harus tahu satu hal, Aya...”

“Apa?”

“Kaulah alasan mengapa aku kembali ke negara ini. Tanpamu, aku pasti masih berada di luar sana, berkelana tanpa arah. Karenamu, aku memiliki harapan dan kehidupan. Kebaikan orang-orang di sekitarku menyadarkanku bahwa masih ada orang yang mau memberikan pertolongan tanpa pamrih. Dan salah satunya adalah kau, Aya.”

Aya terperangah mengetahui dialah alasan Yoriko untuk mengakhiri petualangannya. Namun Yoriko berkata bahwa petualangan terbaiknya adalah disini, ketika ia merasakan cinta, kasih sayang, canda tawa, hingga kesedihan secara nyata. Bagi Yoriko itu adalah sebuah berkah terindah. Semua itu tidak akan pernah ia dapatkan saat ia berkelana di luar sana.

“Bagaimana aku bisa benci pada seorang gadis yang mempertemukan diriku dengan orang yang selalu kucintai dengan tulus?” Air mata Yoriko mengalir semakin deras seiring dengan senyum merekah di bibirnya. “Sekali lagi, maafkan aku, Aya. Atas segalanya.”

Melihat Yoriko menangis, Aya pun turut menitikkan air mata. Tanpa ragu lagi mereka pun berpelukan. “Tentu saja, Yoriko. Bagaimana aku bisa benci pada seorang gadis yang sudah jauh-jauh kembali ke Jepang hanya untukku?”

“Sepakat setelah ini tidak akan ada pertengkaran lagi?” Yoriko melepaskan pelukan mereka dan mengacungkan jari kelingkingnya.


Aya mengusap air matanya terlebih dulu sebelum menautkan jarinya, “Ya, tentu saja...”

Tuesday, November 5, 2013

The Delusion (22)

22

Ketika Hitomu meninggalkannya, tidak hanya raga Yoriko yang terasa kosong. Jiwanya resah, ia dirundungi berbagai macam mimpi buruk yang tidak pernah dibayangkannya. Dia melakukan aktifitasnya seperti berjalan sambil tidur, terkadang ia tidak sadar dengan beberapa hal yang dilakukannya. Pernah suatu pagi ia terbangun di meja belajarnya ketika seharusnya ia tertidur di futon. Segalanya ia lalui seperti mimpi yang membosankan, di pagi hari ia bekerja seperti biasa sambil menghindari orang banyak dan pulang di sore hari dengan tidak terlihat.

Dia melakukan apapun yang bisa dilakukannya di waktu senggang. Menulis tanpa henti, melukis ketika matanya sudah lelah berada di depan layar laptop. Lukisannya tidak secerah dulu, semuanya bergambar abstrak dan memancarkan kesuraman. Sesekali ia menangis tanpa alasan yang jelas.

Malam itu Yoriko sedang menggelar futonnya untuk tidur meskipun jam masih menunjukkan pukul 7 malam. Ia mendengar seseorang mengetuk pintu apartemennya.

Siapakah itu? Yoriko bertanya-tanya. Ia tidak ingat kapan terakhir kali seorang tamu menginjakkan kaki di apartemennya yang sempit ini. Lagipula dia tidak pernah memiliki pengunjung lain selain Aya yang selalu ia hindari jika gadis itu mengetuk pintunya.

Yoriko sempat memutuskan membiarkan siapapun yang menunggunya di depan pergi karena berpikir tidak ada orang di rumah. Namun sepertinya orang itu tidak menyerah. Lima menit Yoriko menunggu, orang itu tetap mengetuk pintunya dan memanggil nama Yoriko.

Suara itu bukan milik Aya. Yoriko berjalan menuju pintu dan mengintip dari lubang pintu. Tora sedang berdiri di depan apartemennya tanpa merasa putus asa menanti Yoriko membukakan pintu untuknya.

“Aku tahu kau ada disana, Yoriko.” Kata Tora seakan tahu Yoriko sedang mengintipinya.

Akhirnya Yoriko membuka pintunya karena tidak enak hati pada temannya itu. Tora yang melihat perubahan di diri Yoriko sedikit tercengang. Entah gadis ini sadar atau tidak sekarang ia benar-benar terlihat seperti hantu.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Tora.

“Yah, seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja.” jawab Yoriko sedikit enggan. Dia masih bertanya-tanya kenapa Tora tiba-tiba datang ke rumahnya.

“Syukurlah.” Tora memaksakan senyum karena jawaban Yoriko sama sekali berkebalikan dari keadaan sebenarnya. “Aku kemari ingin memastikan kabarmu. Kau tidak menghubungi kami sekali pun sejak kau mengirimkan surat pengunduran diri itu. Kau seperti ditelan bumi, Yoriko.”

“Sekali lagi, aku baik-baik saja, Tora. Jangan khawatirkan aku lagi, oke?”

Tahu Yoriko adalah orang yang keras kepala, Tora tidak mau memaksa Yoriko untuk mengakui keadaannya. “Kalau begitu, kau mau menemani aku membeli kopi di dekat sini?”

“Apa? Tapi, Tora... aku...” Yoriko hendak menolak sebelum Tora lebih dulu menyelanya.

“Tidak akan lama, Yoriko. Mungkin kau tidak tahu, tapi kami semua merindukanmu. Aku mewakili teman-temanku disini dan aku sendiri benar-benar ingin mendengar ceritamu.” Tora membujuknya. “Walau kau berpikir kami tidak peduli, namun sebaliknya. Aku yang memintamu bekerja untuk kami. Ketika kau memutuskan untuk berhenti, aku juga merasa bertanggung jawab. Kumohon, sekali ini saja, dan aku tidak akan mengganggumu lagi.”

Yoriko mendesah pelan. Sia-sia saja ia terus menolak jika Tora memiliki alasan kuat untuk mengajaknya berbicara. Lagipula, dia memang berhutang banyak pada temannya ini. Akhirnya Yoriko pun setuju. Ia mengambil jubahnya dan keluar bersamanya.

*** 

Setelah membeli segelas kopi hangat di kios terdekat, Tora mengajak Yoriko ke taman di belakang apartemen Yoriko. Taman itu masih dikunjungi oleh beberapa pasangan maupun karyawan yang melewati taman untuk memotong jalan sepulang kerja. Karena memiliki penerangan yang cukup dan tidak terlalu padat pepohonannya, taman itu dianggap aman oleh orang-orang pada malam hari.

Mereka duduk di sebuah bangku panjang tepat di pinggir jalan setapak dimana orang berlalu-lalang. Tidak ada topik berarti yang mereka bicarakan dan Yoriko hanya membalas ucapan Tora seadanya.

Namun ketika mereka sudah duduk, Tora sudah tidak tahan lagi melontarkan apa yang sangat ingin ia utarakan. “Mengapa kau pergi dari kami, Yoriko? Yah, aku tetap menghormati keputusanmu, apapun itu. Tapi aku ingin tahu alasannya.”

Selama beberapa menit Yoriko tidak menjawab, dan Tora memaklumi. Dia melihat gadis itu sangat gelisah karena tangannya selalu memainkan gelas kopi di tangannya. Setelah bersabar menunggu, Yoriko akhirnya menjawab, “Karena aku tidak pantas berada di antara kalian.”

“Kenapa?” tanya Tora tidak mengerti. “Ceritakan saja, Yoriko. Kumohon. Aku tidak akan menceritakannya pada siapapun.”

Percaya Tora akan menyimpan rahasianya, Yoriko pun bercerita bagaimana Shou terang-terangan berkata ia tidak menyukai keberadaannya. Shou yang menganggap Yoriko hanyalah seorang gadis aneh dan manipulatif. Ketika Shou mengucapkan semua itu, Yoriko tersadar ia juga seorang gadis delusional yang menganggap Shou mau menerimanya. Sebagai jalan yang terbaik untuk mereka berdua, Yoriko yang sudah melihat Shou apa adanya kini memutuskan menghilang darinya.

Yoriko seharusnya berada di dalam kegelapan, dia tidak pantas menjadi bayang-bayang Shou yang selalu disinari cahaya.

Yoriko meminta maaf pada Tora sebagai perwakilan Alice Nine atas sikapnya. Yoriko tidak bermaksud demikian, menghilang begitu saja tanpa jejak. Tetapi mau bagaimana lagi. Itulah satu-satunya pilihan yang tersisa.

Setelah menyerap penjelasan Yoriko, Tora mengambil kesimpulan. “Kau mencintai Shou, Yoriko?”

Cara Tora bertanya padanya seperti seorang kakak yang ingin tahu isi hati adiknya. Lembut dan tidak memaksa. Yoriko berhak untuk tidak menjawab namun ia mengaku juga tanpa terbebani. “Ya, aku mencintainya...”

Ketika cinta sudah berada di antara semua ini, segalanya akan terasa rumit namun baik Yoriko maupun Tora merasa lega. Tora tahu masalah ini akan selesai cepat atau lambat. Jika ini memang menyangkut soal cinta, biarlah waktu yang menjawab.

“Sudah kuduga.” Tora tersenyum. “Sayang sekali Shou tidak mendengarnya darimu...”

“Kalaupun dia tahu sekarang, sudah tidak ada gunanya lagi, Tora.” Kata Yoriko pasrah. “Biarlah dia tenang dengan tanpa kehadiranku. Ini untuk kebaikan kami.”

“Orang idiot itu...” Tora bergumam seraya mengutuk Shou. Temannya telah kehilangan kesempatan untuk dicintai seseorang.

“Berjanjilah kau tidak akan memberitahu Shou dan yang lainnya soal ini.” pinta Yoriko sungguh-sungguh.

“Untunglah aku orang yang cuek, jadi tenang saja, Yoriko.” Tora menyanggupi dengan gaya khasnya. Mereka berdua tertawa sejenak. Menertawakan ironi yang ada.

“Lalu, setelah ini? Apa yang akan kau lakukan?” tanya Tora.

Yoriko tidak tahu ingin menjawab apa. Kabut masih menutupi jalan pikiran Yoriko. “Entahlah. Mungkin aku akan mencari pekerjaan lain sebagai pengganti. Tetapi aku tidak tahu kapan...”

“Tidak apa, Yoriko. Kau bisa memulainya lagi perlahan-lahan. Kapanpun kau siap.” Kata Tora.
“Asal kau tahu, Yoriko. Kami semua akan selalu menunggumu untuk siap muncul di antara kami. Aku yakin Shou pasti menyesal atas perbuatannya padamu. Kau mau memaafkannya, kan?”

“Aku memaafkannya, Tora.” Ujar Yoriko tulus. “Bagaimanapun juga aku selalu memaafkannya, aku tidak tahu kenapa.”

“Mungkin kekuatan cinta mengalahkan segalanya?” Tora menebak.

Itu adalah sebuah pertanyaan yang mereka sudah tahu jawabannya.

*** 

Yoriko terbiasa sendirian. Selama hidupnya, ia selalu sendirian dan tidak pernah mempermasalahkannya. Sejak kecil ia hidup di panti asuhan ia diajarkan untuk mandiri dan tidak pernah bergantung pada orang lain. Yoriko besar tanpa orang tua, hingga ia bertemu dengan Hitomu, ia tidak pernah mempunyai teman.

Yoriko pertama kali ia bertemu sahabatnya itu saat ia memasuki SMA. Di antara siswa lainnya, Hitomu berjiwa bebas seperti Yoriko. Mereka bisa membicarakan apapun sampai lupa waktu hingga mereka menciptakan ide gila untuk keluar dari Jepang demi berpetualang.

Itulah yang diingat Yoriko ketika ia menginjakkan kaki di bandara Narita siang ini. Ribuan orang yang terhanyut oleh kesibukan masing-masing memadati bandara. Ada yang ingin berbisnis, berlibur, dan berpetualang mengadu nasib seperti Yoriko beberapa tahun lalu. Meski sendirian, Yoriko tidak pernah merasa kesepian. Imajinasinya yang luas membuatnya bertahan dari kejamnya dunia dan menciptakan banyak karya tersembunyi.

Karena terbiasa sendirian, Yoriko sampai tidak sadar dia sudah 2 minggu lebih mengurung diri di apartemennya. Mengisolasi diri dari dunia luar, menghabiskan waktu dengan menulis dan melukis, kegiatan yang tidak akan pernah bisa orang lain renggut darinya. Panggilan orang lain tidak pernah digubrisnya, bahkan dari Aya sekalipun. Satu-satunya alasan mengapa ia pergi ke bandara ini adalah ia ingin menepati janjinya.

Duduk di bangku ruang tunggu, Yoriko sekali lagi melihat jam tangannya. Sebentar lagi orang yang hendak dijemputnya keluar dari pintu kedatangan. Sambil menunggu orang itu ia menikmati segelas kopi hangat di tangan dan mengingat betapa menyedihkannya dirinya. Ada alasan lain mengapa Yoriko lebih suka menyendiri. Jika ia menyendiri, tidak akan ada orang yang terluka. Semuanya terbukti ketika ia memutuskan membaur dengan orang-orang. Dia kehilangan orang yang ia cintai dan mengacaukan segalanya. Ya, dia memang lebih pantas sendirian.

Yoriko mendengar pengumuman dari pengeras suara bandara bahwa pesawat yang ditumpangi orang yang ditunggunya telah mendarat. Ia langsung beranjak dan mengambil segulung besar poster yang telah dilukisnya selama 3 hari. Ia berdiri di depan pintu kedatangan dan membuka lebar-lebar poster itu, tidak mempedulikan pandangan orang-orang di sekitarnya akan kehebohannya.

Tidak lama kemudian, Yoriko melihat sosok yang sangat ia kenal muncul dari pintu kedatangan. Orang itu memakai mantel cokelat yang sama saat ia berpamitan pada Yoriko beberapa minggu lalu. Ia terkejut sekaligus senang melihat Yoriko sudah menanti dirinya sesuai janji, dengan membawa poster besar “Selamat datang kembali, Juri!” di tangannya.

Juri tersenyum lebar dan dengan cepat berjalan sambil menarik kopernya ke arah Yoriko, ia sudah tidak sabar melepas rindunya kepada gadis itu. Namun ketika mereka sudah saling berhadapan, Juri menyadari ada sesuatu yang salah di diri Yoriko.

Yoriko yang selalu bersemangat itu kini telah kehilangan senyumnya. Meski poster ucapan selamat datang itu dibuat seceria mungkin dan penuh warna, Juri tetap melihat kesedihan di mata Yoriko. Kesedihan yang tidak bisa dilukiskan.

“Yoriko... kau tidak apa-apa?” tanya Juri lembut.

Tubuh Yoriko hampir melemas ketika ia merasakan kelembutan Juri. Terlebih lagi ia mendengar suaranya setelah sekian lama. Ia langsung memeluk Juri, tidak sanggup lagi menahan rasa rindunya.

“Setelah ini kau tidak akan pergi lagi, kan?” Yoriko terisak di dalam pelukan Juri.

“Oh, Yoriko...” Juri memahami kekalutan Yoriko. Ia memberikan jawaban yang sanggup meyakinkan Yoriko. “Aku tidak akan pergi kemana-mana lagi. Aku berjanji.”

*** 

Sepulang dari bandara, Juri membawa Yoriko ke apartemen barunya di pusat kota. Apartemen yang sudah ia persiapkan sebelum ia kembali ke London untuk mengurus kepindahannya. Apartemen itu sama mewahnya seperti milik Shou, terletak di lantai 15 di gedung apartemen yang tinggi menjulang. Jika apartemen Shou terkesan sederhana dan lengang, apartemen Juri malah terkesan sebaliknya.

Sesuai tebakan Yoriko jika mengingat Juri adalah kutu buku blasteran Inggris dan Jepang, apartemen barunya seperti rumah pedesaan di Inggris. Baik dinding maupun lantai terdiri dari kayu dan setiap di sudut ruangan ia pasti menemukan rak buku yang siap diisi oleh berbagai buku. Apartemen ini akan terasa seperti perpustakaan jika sudah selesai ditata.

“Maaf kalau masih berantakan.” Kata Juri sungkan. Beberapa perabotan seperti kursi-kursi, lemari, dan meja masih ditutupi oleh kain putih dan belum diatur dengan rapi. Mereka sempat mampir ke minimarket saat perjalanan tadi untuk membeli bahan makanan karena dapur masih kosong.

Juri pun memberi tur singkat tentang apartemen barunya ini. Ia berkata akan menaruh hiasan-hiasan dinding khas Jepang dan barang-barang antik koleksinya dari Inggris di ruang tamu dan ruang santai. Ia juga menyiapkan ruang kerja khusus yang dikelilingi oleh rak buku daripada dinding. Dapurnya tidak terlalu luas tetapi memadai dan langsung terhubung ke ruang makan yang terang karena memiliki jendela yang sangat besar, memberikan pemandangan kota yang padat akan gedung-gedung dan keramaian. Juri hendak memasang tirai di jendela itu karena dia menginginkan sedikit privasi.

Juri juga senang bisa menemukan apartemen yang berjarak tidak jauh dari rumah sakit tempatnya bekerja nanti. Makanya tanpa terlalu banyak berpikir lagi ia langsung mengambil apartemen ini saat agen real estate menawarkannya.

“Bagaimana menurutmu?” tanya Juri ketika mereka hampir selesai berkeliling.

Yoriko tersenyum dan memuji, “Masih membutuhkan sedikit perbaikan di beberapa sudut. Namun kurasa ini akan menjadi salah satu rumah terindah yang pernah kudatangi.”

Puas dengan pujian Yoriko, Juri berkata, “Tenang saja. Anggap ini rumahmu juga. Nanti kau akan kuberikan kunci ekstra agar kau bisa memasuki apartemen ini kapanpun kau mau.”

Wajah Yoriko yang selama ini selalu murung menjadi berbinar mendengar ucapan Juri. “Benarkah?”

“Ya. Terutama setelah kau melihat ini.” Juri menarik tangan Yoriko, membawanya ke ruangan selanjutnya. Ruangan terujung di koridor dan tidak terlalu mencolok pintunya. Namun Yoriko tahu di balik pintu ini, tersimpan sebuah kejutan yang khusus disiapkan Juri untuknya.

Ruangan yang ternyata lebih luas dari ruangan yang lain dan serba putih. Saat Yoriko menyibak kain-kain putih yang menutupi seluruh perabotan, ia terperangah. Rak buku, kanvas dan peralatan melukis lainnya, meja kerja lengkap dengan komputernya, dan sebuah kamera dengan lampu studio. Walaupun masih berantakan, tetapi Yoriko bisa membayangkan apa yang akan ia dan Juri lakukan di ruangan ini.

“Tadinya aku tidak tahu ruangan ekstra ini akan kujadikan apa. Tapi kalau dipikir lagi, jika ini menjadi markas rahasia kita untuk membuat karya disini, akan sangat menghasilkan sesuatu yang besar, bukan?” kata Juri. “Kau juga bisa memindahkan seluruh lukisan, sketsa, dan karya senimu yang lain disini kalau kau mau.”

Yoriko hampir menangis bahagia atas kebaikan Juri yang begitu besar padanya. Baru kali ini seseorang memberikan sesuatu yang sangat berarti baginya. Mimpi apa semalam ia sampai mendapatkan sebuah studio ini.

“Jika kau sedang bersedih atau tidak tahu lagi kemana kau harus menuju, kau bisa datang kesini. Kita bisa menaruh buku-buku yang bisa menghiburmu di rak buku ini dan membacanya disana.” Juri menunjuk ambang jendela yang diberi bantal sehingga nyaman untuk diduduki.

“Juri, aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih padamu.” Yoriko menatap matanya dan menitikkan air mata. “Kau... terlalu baik padaku. Katakan padaku bagaimana aku bisa membalasnya.”

“Kau tidak harus berterima kasih pada teman yang selalu menyayangimu, Yoriko-chan.” Kata Juri. “Aku hanya ingin kau bahagia. Kau tidak akan pernah sendirian.”

“Yoriko-chan, aku tahu saat ini segalanya terasa sulit bagimu. Tetapi bukan berarti semuanya meninggalkanmu. Masih ada yang membutuhkan kehadiranmu. Aku dan Aya salah satunya. Aya pasti sangat mengkhawatirkanmu saat ini.” Juri meneruskan. “Kumohon, janganlah menyerah dulu.”

Yoriko kembali memeluk Juri. Entah mengapa ada setitik kehangatan turut mengalir di diri Yoriko, memberitahunya bahwa ia tidak akan pernah sendirian. Meski saat ini ia menangis lagi, namun ia berjanji setelah ini ia akan menjadi orang yang lebih kuat dari sebelumnya.

“Bagaimana kalau sekarang kita minum teh dan menenangkan diri? Kau bisa melanjutkan ceritamu tentang sepupuku yang menyusahkan itu.” ajak Juri.

Yoriko tertawa pelan. “Ya, tentu saja.”

*** 

Mereka menyeduh teh apel dan menata beberapa potong biskuit sebagai teman mengobrol. Juri menata cangkir dan piring dengan rapi di meja ruang santai yang sudah mereka bersihkan terlebih dulu. Yoriko menuang teh dari teko dengan hati-hati ke dalam cangkir dan kembali lagi ke dapur dengan membawa gelas kecil berisi gula cair. Kebiasaan minum teh ala orang Inggris sudah menjadi tradisi di antara mereka.

Juri dan Yoriko saling membantu menggeret sofa yang tergeletak di ujung ruangan ke depan meja sebagai tempat mereka duduk. Setelah semuanya siap, mereka membanting diri ke atas empuknya sofa yang nyaman.

“Aku sudah membaca naskahmu.” Jawab Juri.

Yoriko langsung menegakkan posisi duduknya, menanti apapun yang akan dikatakan Juri tentang tulisannya. “Bagaimana menurutmu?”

“Kau jatuh cinta pada Shou, ya?” Juri menyebutkan kesimpulan dari naskah tersebut sambil sedikit menggoda Yoriko. Mendadak pipi Yoriko memerah karena Juri dengan mudah menebaknya.

“Da... darimana kau tahu?” Yoriko penasaran.

“Dari caramu mengembangkan karakter Spencer dan Judy. Mulanya kau menulis Spencer dengan bayang-bayang Shou, tapi sekarang kau bisa memisahkan diri mereka di beberapa bab terakhir yang kubaca. Ditambah lagi dengan ceritamu saat perjalanan kesini, kesimpulan ini semakin kuat saja.” jawab Juri.

“Selain itu, kau memiliki saran lain yang bisa kau berikan padaku?” tanya Yoriko.

“Ya, aku telah mengedit sedikit naskahmu, tidak apa, kan? Terlepas dari itu, kurasa kau harus meneruskan perjuangan Judy. Sekarang sudah sejauh mana kau meneruskan ceritamu?”

Yoriko beringsut lebih dekat ke Juri dan menyandarkan kepalanya di pundak sahabatnya. Lalu ia berkata pelan, “Judy... aku membuat Judy sekarat...” ia bercerita tentang adegan terakhir yang ia tulis.

“Lho, kenapa?” Juri tidak menyangka. Belum pernah sekalipun ia melihat Yoriko menyerah begitu saja dengan karakter yang ditulisnya. Yoriko selalu optimis dengan setiap tulisannya.

“Mungkin aku terbawa oleh perasaanku sendiri?” kata Yoriko. “Aku tidak seperti dulu lagi, Juri. Dulunya aku bisa menulis dengan lancar tetapi sekarang... apa itu buruk?”

Juri melingkarkan lengannya di pundak Yoriko sebelum menjawab, “Ada perbedaan antara tahu dan merasakan. Sebagai seorang penulis, kau tahu bagaimana membuat adegan yang sedih dengan baik karena kau tahu apa itu kesedihan. Namun lain ceritanya jika kau pernah mengalami rasa kesedihan itu secara langsung, tanpa sadar kau akan menuliskannya penuh dengan perasaan karena kau pernah merasakannya. Makanya kita lebih suka mendengar orang lain menyatakan perasaannya secara langsung karena seteliti dan secermat apapun kita mengamati orang lain, kita masih tetap berasumsi.”

“Jadi... itu bukan hal yang buruk?” Yoriko memastikan.

“Entahlah...” jawab Juri. “Tetapi yang pasti, itu membuatnya menjadi lebih manusiawi dalam menulis. Bukankah kita diharuskan menjadi seperti itu?”

“Terkadang disaat kita harus melanjutkan hidup, kita harus membuat lembar baru. Meskipun kita berusaha mengatasinya dengan terapi, berdoa, alkohol, hingga narkoba, kita tidak akan bisa menyingkirkan rasa sedih itu karena kita sendiri yang terus menyimpannya. Cara terbaik adalah, merelakan segalanya, memaafkan semuanya, dan mengasihi sesama. Jika ada yang ingin menghancurkan semangatmu, siapa yang membutuhkan mereka? Bukan hal gila kalau kau memutuskan mengulang semuanya dari awal.”

Yoriko tersenyum mendengar nasihat dari Juri. “Apa kau mendengar itu dari khotbah di gereja?”

Mereka berdua tertawa.

“Oke, sekarang kita membahas tentang dirimu.” Kata Yoriko. “Bagaimana pekerjaan barumu?”

“Berita bagusnya...” jawab Juri. “Aku akan mulai bekerja Senin depan di rumah sakit pusat. Aku akan mengecek lingkungan kerjaku besok dan mempersiapkan semuanya.”

Yoriko mengerutkan dahi. “Apa ada berita buruknya?”

“Ya, mungkin aku tidak akan bisa bersamamu sesering dulu. Jadwal praktek akan sangat menyita waktuku...” kata Juri lesu. “Kau tidak keberatan, kan?”

“Tidak masalah.” Yoriko memaklumi. “Asal kita bisa makan siang bersama.”

“Tenang saja. Aku akan tetap pergi ke gereja bersamamu setiap hari Minggu. Kau pasti senang, kan?”

Yoriko bersorak. Akhirnya dia tidak harus pergi ke gereja sendirian mulai sekarang.

*** 

Rasanya seperti terjebak di dalam kesengsaraan yang tidak terbatas. Ketika dirinya yang seharusnya bisa melakukan banyak hal dan mempermainkan apapun kini hanya duduk lemas seperti seonggok batang kayu yang tidak berarti.

Shou tidak tahu berapa lama ia seperti ini. Rasa sedih, sesal, dan kebingungan berkecamuk sehingga membuatnya tidak terarah. Mengapa baru sekarang ia merasakan sakitnya hidup di dalam kesengsaraan? Apakah selama 4 tahun ini dia menghadapinya dengan berpura-pura tidak peduli dan tidak memiliki perasaan?

Saat ia mematikan perasaannya setelah sekian lama, tidak menyangka akan sesakit ini saat ia memutuskan untuk berubah.

Shou tersenyum pahit. Setidaknya ia tahu ia masih memiliki hati.

Shou ingin sekali berteriak. Menumpahkan kekesalan dan kesedihan yang terkubur semakin dalam karena ia selalu menyembunyikannya. Dia ingin sekali bertemu gadis itu dan berbicara dengannya. Hanya dialah kepada siapa Shou bisa berkata jujur, ia selalu merasa lega gadis itu seperti mengangkat secuil beban di dalam dirinya setiap kali ia melihat Yoriko. Seperti gadis itu mengangkat duri di dalam dagingnya.

Ingin sekali Shou melangkahkan kakinya dan pergi mencari Yoriko. Namun ia selalu tertahan. Bagaimana kalau Yoriko tidak mau memaafkannya? Bagaimana jika Yoriko tidak mau menemuinya lagi? Ia masih terkurung di dalam kotak asumsi yang menyesatkan.

Shou mengambil teleponnya. Ia menekan nomor telepon yang sudah ribuan kali ia hubungi. Nomor telepon yang selalu menyambungkannya ke kotak suara, memperdengarkan suara seorang gadis yang dengan ceria berkata ia akan menghubunginya kembali.

Namun gadis itu tidak pernah menghubunginya. Meskipun begitu, Shou tetap meninggalkan pesan untuk ratusan kalinya disana.

“Hei, Yoriko. Sekali lagi, aku ingin tahu kabarmu. Kenapa handphonemu tidak pernah diaktifkan lagi?” Shou berusaha membuat suaranya terdengar seakan ia baik-baik saja. “Semua disini mencari dan merindukanmu. Tora, Saga, Nao, Hiroto, dan Chirori...”

Sejenak ada jeda. Untuk kata-kata tak terucap yang membuat Shou bimbang. Ia sedikit berkhayal seseorang di seberang sana membalas ucapannya.

“Yah, pokoknya mereka disini menantimu. Jadi cepatlah memberi kabar. Sampai jumpa.” Shou langsung menutup teleponnya.

Shou menarik napas dalam-dalam. Apa yang baru saja ia lakukan?

“Sepertinya tidak hanya kami saja yang merindukannya.” Sebuah suara menyahut dari belakang Shou. Tora berdiri sambil memegangi jaketnya, menatap lurus Shou dengan mata tajamnya. Ia mendengar semua yang Shou katakan di telepon barusan.

“Hei... dari mana kau masuk?” Shou sedikit kaget dengan kedatangan sahabatnya di waktu yang larut ini.

“Kau memberiku kunci cadangan.” Tora mengingatkannya. Ia memperhatikan Shou dari atas sampai bawah. “Wow, kau benar-benar kacau. Kapan terakhir kali kau mandi?”

Shou tidak menjawab pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban itu. “Ada apa kau kesini selarut ini?”

“Pertama, aku ingin memastikan keadaanmu. Sudah 2 minggu kau tidak keluar rumah. Kedua, aku baru saja pergi minum kopi dengan Yoriko. Kau mungkin ingin mendengar ceritanya.” Tora bisa melihat jawabannya telah membuat Shou tertarik.

“Kau... bertemu dengannya? Bagaimana bisa?” Shou nyaris tidak percaya.

“Kau ketuk pintu rumahnya, dan asalkan kau mengenal Yoriko luar dalam, kurasa kau bisa mengajaknya keluar dengan mudah.” Jawab Tora sedikit menyindir.

Shou tidak mempedulikan sindiran itu. “Lalu, bagaimana kabarnya? Apa kalian membicarakan diriku? Apa dia masih marah pada kita?”

“’kita’?” Tora mengangkat alisnya. “Selama ini tidak pernah ada kata ‘kita’ baginya, Shou. Semua ini hanya di antara kau dan dia. Setelah perbincanganku dengannya, aku langsung bisa menilai dia bukanlah gadis yang manipulatif.”

“Kau bohong, Tora.” Shou tahu Tora memiliki sesuatu yang disembunyikan dan ia mendesaknya. “Kau tahu sesuatu. Dia mengucapkan sesuatu padamu.”

Tora sama sekali tidak terpengaruh oleh desakan itu. Pria itu menggantungkan mantelnya di kloset terdekat dan menjawab, “Apakah itu penting bagimu?”

Entah mengapa saat ini segala hal yang diucapkan Yoriko kepada Tora terasa sangat penting bagi Shou.

“Tolonglah, Tora. Apa yang dia katakan?” Shou terus meminta sambil memelas.

“Kurasa akan sangat lancang jika aku mengatakannya.” Tora mengangkat bahu dan bersikap seolah ia tidak mau tahu dan tidak ingin ikut campur. “Kau ada kamar atau sofa yang bisa kujadikan tempat untuk kutiduri?”

“Ya...” jawab Shou pelan. “Kau bisa gunakan kamar tamu.”

Sambil bersiul Tora berjalan menuju kamar yang dimaksud. Sementara Shou masih terpaku di tempatnya berdiri, memikirkan apa yang dikatakan Yoriko pada Tora sampai sahabat terdekatnya itu tidak mau membuka mulut atas sesuatu yang disampaikan.

“Hei, Shou.” Panggil Tora dari dalam kamar tamu. “Kesini sebentar.”

Shou menyanggupi panggilan Tora dan beranjak kesana. Ia melihat Tora sedang berdiri di sisi tempat tidur seraya menggenggam sesuatu. “Tadi aku sedang membereskan tempat tidur dan menemukan ini di bawah bantal. Apa ini milikmu?”

Shou mendekati Tora untuk melihat lebih jelas benda apa yang dimaksud. Sebuah kalung salib emas yang jelas sekali bukan milik Shou. “Tidak. Ini bukan milikku.”

“Tunggu, rasanya aku pernah melihat ini...” Tora berusaha mengingat. Lalu dia teringat sosok Yoriko yang selalu memakai kalung ini dengan bangga. “Oh! Ini milik Yoriko! Kenapa bisa ada disini?”

Shou lalu teringat Yoriko pernah menghabiskan malam disini bersama Juri. Pasti gadis itu melepas kalungnya sebelum ia tidur dan lupa mengambilnya lagi.

“Kalau begitu, ini menjadi amanatmu sekarang.” Tora menyerahkan kalung itu pada Shou.

“Eh... kenapa?” Shou tidak mengerti. Bukankah yang menemukan yang harus mengembalikan kepada yang punya?

“Seorang Yoriko yang religius tidak mungkin bisa lupa pada kalung kesayangannya itu. Lagipula kau pemilik rumah ini, jadi ini tanggung jawabmu untuk mengembalikannya.” Tora menjelaskan.

“Kalau dia tidak pernah lupa, kenapa ia bisa meninggalkannya?” tanya Shou.

“Entahlah... mungkin ini takdir? Jika kau ingin bersikap naif, sekaranglah saatnya Shou.” Jawab Tora.


Shou tidak tahu harus bereaksi apa atas ucapan Tora. Jika ini memang takdir, berarti ini menjadi ironis ketika sebuah kalung salib menjadi pengingatnya, seolah ini adalah petunjuk Tuhan. Namun ia mencoba untuk meyakininya. Ia melingkarkan kalung itu di lehernya, agar ia merasa Yoriko selalu berada di dekatnya.