22
Ketika Hitomu
meninggalkannya, tidak hanya raga Yoriko yang terasa kosong. Jiwanya resah, ia
dirundungi berbagai macam mimpi buruk yang tidak pernah dibayangkannya. Dia
melakukan aktifitasnya seperti berjalan sambil tidur, terkadang ia tidak sadar
dengan beberapa hal yang dilakukannya. Pernah suatu pagi ia terbangun di meja
belajarnya ketika seharusnya ia tertidur di futon. Segalanya ia lalui seperti
mimpi yang membosankan, di pagi hari ia bekerja seperti biasa sambil
menghindari orang banyak dan pulang di sore hari dengan tidak terlihat.
Dia melakukan
apapun yang bisa dilakukannya di waktu senggang. Menulis tanpa henti, melukis
ketika matanya sudah lelah berada di depan layar laptop. Lukisannya tidak
secerah dulu, semuanya bergambar abstrak dan memancarkan kesuraman. Sesekali ia
menangis tanpa alasan yang jelas.
Malam itu
Yoriko sedang menggelar futonnya untuk tidur meskipun jam masih menunjukkan
pukul 7 malam. Ia mendengar seseorang mengetuk pintu apartemennya.
Siapakah itu?
Yoriko bertanya-tanya. Ia tidak ingat kapan terakhir kali seorang tamu
menginjakkan kaki di apartemennya yang sempit ini. Lagipula dia tidak pernah
memiliki pengunjung lain selain Aya yang selalu ia hindari jika gadis itu
mengetuk pintunya.
Yoriko sempat
memutuskan membiarkan siapapun yang menunggunya di depan pergi karena berpikir
tidak ada orang di rumah. Namun sepertinya orang itu tidak menyerah. Lima menit
Yoriko menunggu, orang itu tetap mengetuk pintunya dan memanggil nama Yoriko.
Suara itu
bukan milik Aya. Yoriko berjalan menuju pintu dan mengintip dari lubang pintu.
Tora sedang berdiri di depan apartemennya tanpa merasa putus asa menanti Yoriko
membukakan pintu untuknya.
“Aku tahu kau
ada disana, Yoriko.” Kata Tora seakan tahu Yoriko sedang mengintipinya.
Akhirnya
Yoriko membuka pintunya karena tidak enak hati pada temannya itu. Tora yang
melihat perubahan di diri Yoriko sedikit tercengang. Entah gadis ini sadar atau
tidak sekarang ia benar-benar terlihat seperti hantu.
“Bagaimana
kabarmu?” tanya Tora.
“Yah, seperti
yang kau lihat. Aku baik-baik saja.” jawab Yoriko sedikit enggan. Dia masih
bertanya-tanya kenapa Tora tiba-tiba datang ke rumahnya.
“Syukurlah.”
Tora memaksakan senyum karena jawaban Yoriko sama sekali berkebalikan dari
keadaan sebenarnya. “Aku kemari ingin memastikan kabarmu. Kau tidak menghubungi
kami sekali pun sejak kau mengirimkan surat pengunduran diri itu. Kau seperti
ditelan bumi, Yoriko.”
“Sekali lagi,
aku baik-baik saja, Tora. Jangan khawatirkan aku lagi, oke?”
Tahu Yoriko
adalah orang yang keras kepala, Tora tidak mau memaksa Yoriko untuk mengakui
keadaannya. “Kalau begitu, kau mau menemani aku membeli kopi di dekat sini?”
“Apa? Tapi,
Tora... aku...” Yoriko hendak menolak sebelum Tora lebih dulu menyelanya.
“Tidak akan
lama, Yoriko. Mungkin kau tidak tahu, tapi kami semua merindukanmu. Aku
mewakili teman-temanku disini dan aku sendiri benar-benar ingin mendengar
ceritamu.” Tora membujuknya. “Walau kau berpikir kami tidak peduli, namun
sebaliknya. Aku yang memintamu bekerja untuk kami. Ketika kau memutuskan untuk
berhenti, aku juga merasa bertanggung jawab. Kumohon, sekali ini saja, dan aku
tidak akan mengganggumu lagi.”
Yoriko
mendesah pelan. Sia-sia saja ia terus menolak jika Tora memiliki alasan kuat
untuk mengajaknya berbicara. Lagipula, dia memang berhutang banyak pada
temannya ini. Akhirnya Yoriko pun setuju. Ia mengambil jubahnya dan keluar
bersamanya.
***
Setelah
membeli segelas kopi hangat di kios terdekat, Tora mengajak Yoriko ke taman di
belakang apartemen Yoriko. Taman itu masih dikunjungi oleh beberapa pasangan
maupun karyawan yang melewati taman untuk memotong jalan sepulang kerja. Karena
memiliki penerangan yang cukup dan tidak terlalu padat pepohonannya, taman itu
dianggap aman oleh orang-orang pada malam hari.
Mereka duduk
di sebuah bangku panjang tepat di pinggir jalan setapak dimana orang
berlalu-lalang. Tidak ada topik berarti yang mereka bicarakan dan Yoriko hanya
membalas ucapan Tora seadanya.
Namun ketika
mereka sudah duduk, Tora sudah tidak tahan lagi melontarkan apa yang sangat
ingin ia utarakan. “Mengapa kau pergi dari kami, Yoriko? Yah, aku tetap
menghormati keputusanmu, apapun itu. Tapi aku ingin tahu alasannya.”
Selama
beberapa menit Yoriko tidak menjawab, dan Tora memaklumi. Dia melihat gadis itu
sangat gelisah karena tangannya selalu memainkan gelas kopi di tangannya.
Setelah bersabar menunggu, Yoriko akhirnya menjawab, “Karena aku tidak pantas
berada di antara kalian.”
“Kenapa?”
tanya Tora tidak mengerti. “Ceritakan saja, Yoriko. Kumohon. Aku tidak akan
menceritakannya pada siapapun.”
Percaya Tora
akan menyimpan rahasianya, Yoriko pun bercerita bagaimana Shou terang-terangan
berkata ia tidak menyukai keberadaannya. Shou yang menganggap Yoriko hanyalah
seorang gadis aneh dan manipulatif. Ketika Shou mengucapkan semua itu, Yoriko
tersadar ia juga seorang gadis delusional yang menganggap Shou mau menerimanya.
Sebagai jalan yang terbaik untuk mereka berdua, Yoriko yang sudah melihat Shou
apa adanya kini memutuskan menghilang darinya.
Yoriko seharusnya
berada di dalam kegelapan, dia tidak pantas menjadi bayang-bayang Shou yang
selalu disinari cahaya.
Yoriko
meminta maaf pada Tora sebagai perwakilan Alice Nine atas sikapnya. Yoriko
tidak bermaksud demikian, menghilang begitu saja tanpa jejak. Tetapi mau
bagaimana lagi. Itulah satu-satunya pilihan yang tersisa.
Setelah
menyerap penjelasan Yoriko, Tora mengambil kesimpulan. “Kau mencintai Shou,
Yoriko?”
Cara Tora
bertanya padanya seperti seorang kakak yang ingin tahu isi hati adiknya. Lembut
dan tidak memaksa. Yoriko berhak untuk tidak menjawab namun ia mengaku juga
tanpa terbebani. “Ya, aku mencintainya...”
Ketika cinta
sudah berada di antara semua ini, segalanya akan terasa rumit namun baik Yoriko
maupun Tora merasa lega. Tora tahu masalah ini akan selesai cepat atau lambat.
Jika ini memang menyangkut soal cinta, biarlah waktu yang menjawab.
“Sudah kuduga.”
Tora tersenyum. “Sayang sekali Shou tidak mendengarnya darimu...”
“Kalaupun dia
tahu sekarang, sudah tidak ada gunanya lagi, Tora.” Kata Yoriko pasrah.
“Biarlah dia tenang dengan tanpa kehadiranku. Ini untuk kebaikan kami.”
“Orang idiot
itu...” Tora bergumam seraya mengutuk Shou. Temannya telah kehilangan
kesempatan untuk dicintai seseorang.
“Berjanjilah
kau tidak akan memberitahu Shou dan yang lainnya soal ini.” pinta Yoriko
sungguh-sungguh.
“Untunglah
aku orang yang cuek, jadi tenang saja, Yoriko.” Tora menyanggupi dengan gaya
khasnya. Mereka berdua tertawa sejenak. Menertawakan ironi yang ada.
“Lalu,
setelah ini? Apa yang akan kau lakukan?” tanya Tora.
Yoriko tidak
tahu ingin menjawab apa. Kabut masih menutupi jalan pikiran Yoriko. “Entahlah.
Mungkin aku akan mencari pekerjaan lain sebagai pengganti. Tetapi aku tidak
tahu kapan...”
“Tidak apa,
Yoriko. Kau bisa memulainya lagi perlahan-lahan. Kapanpun kau siap.” Kata Tora.
“Asal kau
tahu, Yoriko. Kami semua akan selalu menunggumu untuk siap muncul di antara
kami. Aku yakin Shou pasti menyesal atas perbuatannya padamu. Kau mau
memaafkannya, kan?”
“Aku
memaafkannya, Tora.” Ujar Yoriko tulus. “Bagaimanapun juga aku selalu
memaafkannya, aku tidak tahu kenapa.”
“Mungkin
kekuatan cinta mengalahkan segalanya?” Tora menebak.
Itu adalah
sebuah pertanyaan yang mereka sudah tahu jawabannya.
***
Yoriko
terbiasa sendirian. Selama hidupnya, ia selalu sendirian dan tidak pernah
mempermasalahkannya. Sejak kecil ia hidup di panti asuhan ia diajarkan untuk
mandiri dan tidak pernah bergantung pada orang lain. Yoriko besar tanpa orang
tua, hingga ia bertemu dengan Hitomu, ia tidak pernah mempunyai teman.
Yoriko
pertama kali ia bertemu sahabatnya itu saat ia memasuki SMA. Di antara siswa
lainnya, Hitomu berjiwa bebas seperti Yoriko. Mereka bisa membicarakan apapun
sampai lupa waktu hingga mereka menciptakan ide gila untuk keluar dari Jepang
demi berpetualang.
Itulah yang
diingat Yoriko ketika ia menginjakkan kaki di bandara Narita siang ini. Ribuan
orang yang terhanyut oleh kesibukan masing-masing memadati bandara. Ada yang
ingin berbisnis, berlibur, dan berpetualang mengadu nasib seperti Yoriko
beberapa tahun lalu. Meski sendirian, Yoriko tidak pernah merasa kesepian.
Imajinasinya yang luas membuatnya bertahan dari kejamnya dunia dan menciptakan
banyak karya tersembunyi.
Karena
terbiasa sendirian, Yoriko sampai tidak sadar dia sudah 2 minggu lebih
mengurung diri di apartemennya. Mengisolasi diri dari dunia luar, menghabiskan
waktu dengan menulis dan melukis, kegiatan yang tidak akan pernah bisa orang
lain renggut darinya. Panggilan orang lain tidak pernah digubrisnya, bahkan
dari Aya sekalipun. Satu-satunya alasan mengapa ia pergi ke bandara ini adalah
ia ingin menepati janjinya.
Duduk di
bangku ruang tunggu, Yoriko sekali lagi melihat jam tangannya. Sebentar lagi
orang yang hendak dijemputnya keluar dari pintu kedatangan. Sambil menunggu
orang itu ia menikmati segelas kopi hangat di tangan dan mengingat betapa menyedihkannya
dirinya. Ada alasan lain mengapa Yoriko lebih suka menyendiri. Jika ia
menyendiri, tidak akan ada orang yang terluka. Semuanya terbukti ketika ia
memutuskan membaur dengan orang-orang. Dia kehilangan orang yang ia cintai dan
mengacaukan segalanya. Ya, dia memang lebih pantas sendirian.
Yoriko
mendengar pengumuman dari pengeras suara bandara bahwa pesawat yang ditumpangi
orang yang ditunggunya telah mendarat. Ia langsung beranjak dan mengambil
segulung besar poster yang telah dilukisnya selama 3 hari. Ia berdiri di depan
pintu kedatangan dan membuka lebar-lebar poster itu, tidak mempedulikan
pandangan orang-orang di sekitarnya akan kehebohannya.
Tidak lama
kemudian, Yoriko melihat sosok yang sangat ia kenal muncul dari pintu
kedatangan. Orang itu memakai mantel cokelat yang sama saat ia berpamitan pada
Yoriko beberapa minggu lalu. Ia terkejut sekaligus senang melihat Yoriko sudah
menanti dirinya sesuai janji, dengan membawa poster besar “Selamat datang
kembali, Juri!” di tangannya.
Juri tersenyum
lebar dan dengan cepat berjalan sambil menarik kopernya ke arah Yoriko, ia
sudah tidak sabar melepas rindunya kepada gadis itu. Namun ketika mereka sudah
saling berhadapan, Juri menyadari ada sesuatu yang salah di diri Yoriko.
Yoriko yang
selalu bersemangat itu kini telah kehilangan senyumnya. Meski poster ucapan
selamat datang itu dibuat seceria mungkin dan penuh warna, Juri tetap melihat
kesedihan di mata Yoriko. Kesedihan yang tidak bisa dilukiskan.
“Yoriko...
kau tidak apa-apa?” tanya Juri lembut.
Tubuh Yoriko
hampir melemas ketika ia merasakan kelembutan Juri. Terlebih lagi ia mendengar
suaranya setelah sekian lama. Ia langsung memeluk Juri, tidak sanggup lagi
menahan rasa rindunya.
“Setelah ini
kau tidak akan pergi lagi, kan?” Yoriko terisak di dalam pelukan Juri.
“Oh,
Yoriko...” Juri memahami kekalutan Yoriko. Ia memberikan jawaban yang sanggup
meyakinkan Yoriko. “Aku tidak akan pergi kemana-mana lagi. Aku berjanji.”
***
Sepulang dari
bandara, Juri membawa Yoriko ke apartemen barunya di pusat kota. Apartemen yang
sudah ia persiapkan sebelum ia kembali ke London untuk mengurus kepindahannya.
Apartemen itu sama mewahnya seperti milik Shou, terletak di lantai 15 di gedung
apartemen yang tinggi menjulang. Jika apartemen Shou terkesan sederhana dan lengang,
apartemen Juri malah terkesan sebaliknya.
Sesuai
tebakan Yoriko jika mengingat Juri adalah kutu buku blasteran Inggris dan
Jepang, apartemen barunya seperti rumah pedesaan di Inggris. Baik dinding
maupun lantai terdiri dari kayu dan setiap di sudut ruangan ia pasti menemukan
rak buku yang siap diisi oleh berbagai buku. Apartemen ini akan terasa seperti
perpustakaan jika sudah selesai ditata.
“Maaf kalau
masih berantakan.” Kata Juri sungkan. Beberapa perabotan seperti kursi-kursi,
lemari, dan meja masih ditutupi oleh kain putih dan belum diatur dengan rapi.
Mereka sempat mampir ke minimarket saat perjalanan tadi untuk membeli bahan
makanan karena dapur masih kosong.
Juri pun
memberi tur singkat tentang apartemen barunya ini. Ia berkata akan menaruh
hiasan-hiasan dinding khas Jepang dan barang-barang antik koleksinya dari
Inggris di ruang tamu dan ruang santai. Ia juga menyiapkan ruang kerja khusus
yang dikelilingi oleh rak buku daripada dinding. Dapurnya tidak terlalu luas
tetapi memadai dan langsung terhubung ke ruang makan yang terang karena
memiliki jendela yang sangat besar, memberikan pemandangan kota yang padat akan
gedung-gedung dan keramaian. Juri hendak memasang tirai di jendela itu karena
dia menginginkan sedikit privasi.
Juri juga
senang bisa menemukan apartemen yang berjarak tidak jauh dari rumah sakit
tempatnya bekerja nanti. Makanya tanpa terlalu banyak berpikir lagi ia langsung
mengambil apartemen ini saat agen real estate menawarkannya.
“Bagaimana
menurutmu?” tanya Juri ketika mereka hampir selesai berkeliling.
Yoriko
tersenyum dan memuji, “Masih membutuhkan sedikit perbaikan di beberapa sudut.
Namun kurasa ini akan menjadi salah satu rumah terindah yang pernah kudatangi.”
Puas dengan
pujian Yoriko, Juri berkata, “Tenang saja. Anggap ini rumahmu juga. Nanti kau
akan kuberikan kunci ekstra agar kau bisa memasuki apartemen ini kapanpun kau
mau.”
Wajah Yoriko
yang selama ini selalu murung menjadi berbinar mendengar ucapan Juri.
“Benarkah?”
“Ya. Terutama
setelah kau melihat ini.” Juri menarik tangan Yoriko, membawanya ke ruangan
selanjutnya. Ruangan terujung di koridor dan tidak terlalu mencolok pintunya.
Namun Yoriko tahu di balik pintu ini, tersimpan sebuah kejutan yang khusus
disiapkan Juri untuknya.
Ruangan yang
ternyata lebih luas dari ruangan yang lain dan serba putih. Saat Yoriko
menyibak kain-kain putih yang menutupi seluruh perabotan, ia terperangah. Rak
buku, kanvas dan peralatan melukis lainnya, meja kerja lengkap dengan
komputernya, dan sebuah kamera dengan lampu studio. Walaupun masih berantakan,
tetapi Yoriko bisa membayangkan apa yang akan ia dan Juri lakukan di ruangan
ini.
“Tadinya aku
tidak tahu ruangan ekstra ini akan kujadikan apa. Tapi kalau dipikir lagi, jika
ini menjadi markas rahasia kita untuk membuat karya disini, akan sangat
menghasilkan sesuatu yang besar, bukan?” kata Juri. “Kau juga bisa memindahkan
seluruh lukisan, sketsa, dan karya senimu yang lain disini kalau kau mau.”
Yoriko hampir
menangis bahagia atas kebaikan Juri yang begitu besar padanya. Baru kali ini
seseorang memberikan sesuatu yang sangat berarti baginya. Mimpi apa semalam ia
sampai mendapatkan sebuah studio ini.
“Jika kau
sedang bersedih atau tidak tahu lagi kemana kau harus menuju, kau bisa datang
kesini. Kita bisa menaruh buku-buku yang bisa menghiburmu di rak buku ini dan membacanya
disana.” Juri menunjuk ambang jendela yang diberi bantal sehingga nyaman untuk diduduki.
“Juri, aku
tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih padamu.” Yoriko menatap matanya
dan menitikkan air mata. “Kau... terlalu baik padaku. Katakan padaku bagaimana
aku bisa membalasnya.”
“Kau tidak
harus berterima kasih pada teman yang selalu menyayangimu, Yoriko-chan.” Kata
Juri. “Aku hanya ingin kau bahagia. Kau tidak akan pernah sendirian.”
“Yoriko-chan,
aku tahu saat ini segalanya terasa sulit bagimu. Tetapi bukan berarti semuanya
meninggalkanmu. Masih ada yang membutuhkan kehadiranmu. Aku dan Aya salah
satunya. Aya pasti sangat mengkhawatirkanmu saat ini.” Juri meneruskan.
“Kumohon, janganlah menyerah dulu.”
Yoriko
kembali memeluk Juri. Entah mengapa ada setitik kehangatan turut mengalir di
diri Yoriko, memberitahunya bahwa ia tidak akan pernah sendirian. Meski saat
ini ia menangis lagi, namun ia berjanji setelah ini ia akan menjadi orang yang
lebih kuat dari sebelumnya.
“Bagaimana
kalau sekarang kita minum teh dan menenangkan diri? Kau bisa melanjutkan
ceritamu tentang sepupuku yang menyusahkan itu.” ajak Juri.
Yoriko
tertawa pelan. “Ya, tentu saja.”
***
Mereka menyeduh
teh apel dan menata beberapa potong biskuit sebagai teman mengobrol. Juri
menata cangkir dan piring dengan rapi di meja ruang santai yang sudah mereka
bersihkan terlebih dulu. Yoriko menuang teh dari teko dengan hati-hati ke dalam
cangkir dan kembali lagi ke dapur dengan membawa gelas kecil berisi gula cair.
Kebiasaan minum teh ala orang Inggris sudah menjadi tradisi di antara mereka.
Juri dan
Yoriko saling membantu menggeret sofa yang tergeletak di ujung ruangan ke depan
meja sebagai tempat mereka duduk. Setelah semuanya siap, mereka membanting diri
ke atas empuknya sofa yang nyaman.
“Aku sudah
membaca naskahmu.” Jawab Juri.
Yoriko
langsung menegakkan posisi duduknya, menanti apapun yang akan dikatakan Juri
tentang tulisannya. “Bagaimana menurutmu?”
“Kau jatuh
cinta pada Shou, ya?” Juri menyebutkan kesimpulan dari naskah tersebut sambil
sedikit menggoda Yoriko. Mendadak pipi Yoriko memerah karena Juri dengan mudah
menebaknya.
“Da...
darimana kau tahu?” Yoriko penasaran.
“Dari caramu
mengembangkan karakter Spencer dan Judy. Mulanya kau menulis Spencer dengan
bayang-bayang Shou, tapi sekarang kau bisa memisahkan diri mereka di beberapa
bab terakhir yang kubaca. Ditambah lagi dengan ceritamu saat perjalanan kesini,
kesimpulan ini semakin kuat saja.” jawab Juri.
“Selain itu, kau
memiliki saran lain yang bisa kau berikan padaku?” tanya Yoriko.
“Ya, aku
telah mengedit sedikit naskahmu, tidak apa, kan? Terlepas dari itu, kurasa kau
harus meneruskan perjuangan Judy. Sekarang sudah sejauh mana kau meneruskan
ceritamu?”
Yoriko beringsut
lebih dekat ke Juri dan menyandarkan kepalanya di pundak sahabatnya. Lalu ia
berkata pelan, “Judy... aku membuat Judy sekarat...” ia bercerita tentang
adegan terakhir yang ia tulis.
“Lho,
kenapa?” Juri tidak menyangka. Belum pernah sekalipun ia melihat Yoriko
menyerah begitu saja dengan karakter yang ditulisnya. Yoriko selalu optimis
dengan setiap tulisannya.
“Mungkin aku
terbawa oleh perasaanku sendiri?” kata Yoriko. “Aku tidak seperti dulu lagi,
Juri. Dulunya aku bisa menulis dengan lancar tetapi sekarang... apa itu buruk?”
Juri
melingkarkan lengannya di pundak Yoriko sebelum menjawab, “Ada perbedaan antara
tahu dan merasakan. Sebagai seorang penulis, kau tahu bagaimana membuat adegan
yang sedih dengan baik karena kau tahu
apa itu kesedihan. Namun lain ceritanya jika kau pernah mengalami rasa
kesedihan itu secara langsung, tanpa sadar kau akan menuliskannya penuh dengan
perasaan karena kau pernah merasakannya. Makanya kita lebih suka mendengar
orang lain menyatakan perasaannya secara langsung karena seteliti dan secermat
apapun kita mengamati orang lain, kita masih tetap berasumsi.”
“Jadi... itu
bukan hal yang buruk?” Yoriko memastikan.
“Entahlah...”
jawab Juri. “Tetapi yang pasti, itu membuatnya menjadi lebih manusiawi dalam
menulis. Bukankah kita diharuskan menjadi seperti itu?”
“Terkadang
disaat kita harus melanjutkan hidup, kita harus membuat lembar baru. Meskipun
kita berusaha mengatasinya dengan terapi, berdoa, alkohol, hingga narkoba, kita
tidak akan bisa menyingkirkan rasa sedih itu karena kita sendiri yang terus
menyimpannya. Cara terbaik adalah, merelakan segalanya, memaafkan semuanya, dan
mengasihi sesama. Jika ada yang ingin menghancurkan semangatmu, siapa yang
membutuhkan mereka? Bukan hal gila kalau kau memutuskan mengulang semuanya dari
awal.”
Yoriko
tersenyum mendengar nasihat dari Juri. “Apa kau mendengar itu dari khotbah di
gereja?”
Mereka berdua
tertawa.
“Oke,
sekarang kita membahas tentang dirimu.” Kata Yoriko. “Bagaimana pekerjaan
barumu?”
“Berita
bagusnya...” jawab Juri. “Aku akan mulai bekerja Senin depan di rumah sakit
pusat. Aku akan mengecek lingkungan kerjaku besok dan mempersiapkan semuanya.”
Yoriko
mengerutkan dahi. “Apa ada berita buruknya?”
“Ya, mungkin
aku tidak akan bisa bersamamu sesering dulu. Jadwal praktek akan sangat menyita
waktuku...” kata Juri lesu. “Kau tidak keberatan, kan?”
“Tidak
masalah.” Yoriko memaklumi. “Asal kita bisa makan siang bersama.”
“Tenang saja.
Aku akan tetap pergi ke gereja bersamamu setiap hari Minggu. Kau pasti senang,
kan?”
Yoriko
bersorak. Akhirnya dia tidak harus pergi ke gereja sendirian mulai sekarang.
***
Rasanya
seperti terjebak di dalam kesengsaraan yang tidak terbatas. Ketika dirinya yang
seharusnya bisa melakukan banyak hal dan mempermainkan apapun kini hanya duduk
lemas seperti seonggok batang kayu yang tidak berarti.
Shou tidak
tahu berapa lama ia seperti ini. Rasa sedih, sesal, dan kebingungan berkecamuk
sehingga membuatnya tidak terarah. Mengapa baru sekarang ia merasakan sakitnya
hidup di dalam kesengsaraan? Apakah selama 4 tahun ini dia menghadapinya dengan
berpura-pura tidak peduli dan tidak memiliki perasaan?
Saat ia mematikan
perasaannya setelah sekian lama, tidak menyangka akan sesakit ini saat ia
memutuskan untuk berubah.
Shou
tersenyum pahit. Setidaknya ia tahu ia masih memiliki hati.
Shou ingin
sekali berteriak. Menumpahkan kekesalan dan kesedihan yang terkubur semakin
dalam karena ia selalu menyembunyikannya. Dia ingin sekali bertemu gadis itu
dan berbicara dengannya. Hanya dialah kepada siapa Shou bisa berkata jujur, ia
selalu merasa lega gadis itu seperti mengangkat secuil beban di dalam dirinya
setiap kali ia melihat Yoriko. Seperti gadis itu mengangkat duri di dalam
dagingnya.
Ingin sekali
Shou melangkahkan kakinya dan pergi mencari Yoriko. Namun ia selalu tertahan.
Bagaimana kalau Yoriko tidak mau memaafkannya? Bagaimana jika Yoriko tidak mau
menemuinya lagi? Ia masih terkurung di dalam kotak asumsi yang menyesatkan.
Shou
mengambil teleponnya. Ia menekan nomor telepon yang sudah ribuan kali ia
hubungi. Nomor telepon yang selalu menyambungkannya ke kotak suara,
memperdengarkan suara seorang gadis yang dengan ceria berkata ia akan
menghubunginya kembali.
Namun gadis
itu tidak pernah menghubunginya. Meskipun begitu, Shou tetap meninggalkan pesan
untuk ratusan kalinya disana.
“Hei, Yoriko.
Sekali lagi, aku ingin tahu kabarmu. Kenapa handphonemu tidak pernah diaktifkan
lagi?” Shou berusaha membuat suaranya terdengar seakan ia baik-baik saja.
“Semua disini mencari dan merindukanmu. Tora, Saga, Nao, Hiroto, dan
Chirori...”
Sejenak ada
jeda. Untuk kata-kata tak terucap yang membuat Shou bimbang. Ia sedikit
berkhayal seseorang di seberang sana membalas ucapannya.
“Yah,
pokoknya mereka disini menantimu. Jadi cepatlah memberi kabar. Sampai jumpa.”
Shou langsung menutup teleponnya.
Shou menarik
napas dalam-dalam. Apa yang baru saja ia lakukan?
“Sepertinya
tidak hanya kami saja yang merindukannya.” Sebuah suara menyahut dari belakang
Shou. Tora berdiri sambil memegangi jaketnya, menatap lurus Shou dengan mata
tajamnya. Ia mendengar semua yang Shou katakan di telepon barusan.
“Hei... dari
mana kau masuk?” Shou sedikit kaget dengan kedatangan sahabatnya di waktu yang
larut ini.
“Kau
memberiku kunci cadangan.” Tora mengingatkannya. Ia memperhatikan Shou dari
atas sampai bawah. “Wow, kau benar-benar kacau. Kapan terakhir kali kau mandi?”
Shou tidak
menjawab pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban itu. “Ada apa kau kesini
selarut ini?”
“Pertama, aku
ingin memastikan keadaanmu. Sudah 2 minggu kau tidak keluar rumah. Kedua, aku
baru saja pergi minum kopi dengan Yoriko. Kau mungkin ingin mendengar
ceritanya.” Tora bisa melihat jawabannya telah membuat Shou tertarik.
“Kau...
bertemu dengannya? Bagaimana bisa?” Shou nyaris tidak percaya.
“Kau ketuk
pintu rumahnya, dan asalkan kau mengenal Yoriko luar dalam, kurasa kau bisa
mengajaknya keluar dengan mudah.” Jawab Tora sedikit menyindir.
Shou tidak
mempedulikan sindiran itu. “Lalu, bagaimana kabarnya? Apa kalian membicarakan
diriku? Apa dia masih marah pada kita?”
“’kita’?”
Tora mengangkat alisnya. “Selama ini tidak pernah ada kata ‘kita’ baginya,
Shou. Semua ini hanya di antara kau dan dia. Setelah perbincanganku dengannya,
aku langsung bisa menilai dia bukanlah gadis yang manipulatif.”
“Kau bohong,
Tora.” Shou tahu Tora memiliki sesuatu yang disembunyikan dan ia mendesaknya.
“Kau tahu sesuatu. Dia mengucapkan sesuatu padamu.”
Tora sama
sekali tidak terpengaruh oleh desakan itu. Pria itu menggantungkan mantelnya di
kloset terdekat dan menjawab, “Apakah itu penting bagimu?”
Entah mengapa
saat ini segala hal yang diucapkan Yoriko kepada Tora terasa sangat penting
bagi Shou.
“Tolonglah,
Tora. Apa yang dia katakan?” Shou terus meminta sambil memelas.
“Kurasa akan
sangat lancang jika aku mengatakannya.” Tora mengangkat bahu dan bersikap
seolah ia tidak mau tahu dan tidak ingin ikut campur. “Kau ada kamar atau sofa
yang bisa kujadikan tempat untuk kutiduri?”
“Ya...” jawab
Shou pelan. “Kau bisa gunakan kamar tamu.”
Sambil
bersiul Tora berjalan menuju kamar yang dimaksud. Sementara Shou masih terpaku
di tempatnya berdiri, memikirkan apa yang dikatakan Yoriko pada Tora sampai
sahabat terdekatnya itu tidak mau membuka mulut atas sesuatu yang disampaikan.
“Hei, Shou.”
Panggil Tora dari dalam kamar tamu. “Kesini sebentar.”
Shou
menyanggupi panggilan Tora dan beranjak kesana. Ia melihat Tora sedang berdiri
di sisi tempat tidur seraya menggenggam sesuatu. “Tadi aku sedang membereskan
tempat tidur dan menemukan ini di bawah bantal. Apa ini milikmu?”
Shou
mendekati Tora untuk melihat lebih jelas benda apa yang dimaksud. Sebuah kalung
salib emas yang jelas sekali bukan milik Shou. “Tidak. Ini bukan milikku.”
“Tunggu,
rasanya aku pernah melihat ini...” Tora berusaha mengingat. Lalu dia teringat
sosok Yoriko yang selalu memakai kalung ini dengan bangga. “Oh! Ini milik
Yoriko! Kenapa bisa ada disini?”
Shou lalu
teringat Yoriko pernah menghabiskan malam disini bersama Juri. Pasti gadis itu
melepas kalungnya sebelum ia tidur dan lupa mengambilnya lagi.
“Kalau
begitu, ini menjadi amanatmu sekarang.” Tora menyerahkan kalung itu pada Shou.
“Eh...
kenapa?” Shou tidak mengerti. Bukankah yang menemukan yang harus mengembalikan
kepada yang punya?
“Seorang
Yoriko yang religius tidak mungkin bisa lupa pada kalung kesayangannya itu.
Lagipula kau pemilik rumah ini, jadi ini tanggung jawabmu untuk
mengembalikannya.” Tora menjelaskan.
“Kalau dia
tidak pernah lupa, kenapa ia bisa meninggalkannya?” tanya Shou.
“Entahlah...
mungkin ini takdir? Jika kau ingin bersikap naif, sekaranglah saatnya Shou.”
Jawab Tora.
Shou tidak
tahu harus bereaksi apa atas ucapan Tora. Jika ini memang takdir, berarti ini
menjadi ironis ketika sebuah kalung salib menjadi pengingatnya, seolah ini
adalah petunjuk Tuhan. Namun ia mencoba untuk meyakininya. Ia melingkarkan
kalung itu di lehernya, agar ia merasa Yoriko selalu berada di dekatnya.